POV Sherly
Pagi itu terasa sedikit aneh. Biasanya, aku baru saja selesai berdandan saat suara klakson mobil Pak Ariel terdengar dari depan rumahku. Tapi pagi ini, aku sudah duduk di teras selama lima menit, menatap jalan dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, aku merasa gelisah. Mobil Pak Ariel tidak pernah terlambat sebelumnya. Di sisi lain, aku mencoba menenangkan diri, meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi tetap saja, rasa khawatir itu perlahan menyelinap, memenuhi pikiranku dengan kemungkinan-kemungkinan buruk.
Ketika akhirnya mobil itu muncul di tikungan, hatiku terasa jauh lebih ringan. Aku segera berdiri, merapikan rokku, dan berjalan mendekat. Kaca mobil perlahan turun, memperlihatkan wajah Pak Ariel yang tampak cerah dan... ceria? Sesuatu dalam dirinya terasa berbeda pagi ini. Sapaan ringannya terasa hangat, begitu santai, seperti tak ada beban sama sekali. Aku sedikit tertegun, mencoba membaca apa yang sebenarnya terjadi padanya. Tapi sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, aku membuka pintu mobil dan masuk.
Pak Ariel yang duduk di belakang tersenyum padaku, dan senyuman itu…. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Senyumannya terasa lebih manis dari biasanya, lebih jujur, lebih tulus. Aku tahu aku menatap terlalu lama, dan itu membuatku gugup. Rasanya seperti ada sesuatu yang menggelitik dadaku, membuatku salah tingkah. Dengan tergesa, aku mencoba membalas senyuman itu meski aku tidak yakin seperti apa rupanya. Mungkin terlalu canggung, atau terlalu aneh. Aku hanya berharap dia tidak menyadarinya.
Saat aku masih berusaha menenangkan diri, aku melihat dari sudut mataku bahwa Pak Ariel sibuk dengan ponselnya. Sedikit lega, aku mengalihkan pandangan dan mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengontrol debaran jantungku yang tidak karuan. Tapi tiba-tiba, suaranya memecah keheningan di mobil itu.
"Sherly, coba lihat ini."
Aku menoleh, sedikit bingung, sebelum menyadari bahwa dia menyodorkan ponselnya ke arahku. Di layar itu, aku melihat aplikasi bioskop dengan jadwal tayang film. Mataku berpindah dari layar ponsel ke wajahnya, mencari jawaban. Dan dia memberikannya dengan kalimat yang sama sekali tidak kuduga.
"Besok kita libur kerja. Mau nonton bareng?" katanya dengan nada percaya diri yang santai, seolah itu adalah hal paling wajar di dunia.
Aku menelan ludah. Apa? Nonton? Bersama? Dengan Pak Ariel? Jantungku tiba-tiba terasa seperti lonceng yang berdentang keras di dadaku. Aku menatapnya, mencoba memastikan bahwa aku tidak salah dengar. Tidak mungkin ini hanya basa-basi, kan? Tapi matanya… matanya terlihat serius. Bukan sekadar ajakan biasa. Itu terlihat seperti sesuatu yang lebih.
Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Aku butuh waktu untuk memahami semua ini. Kenapa dia tiba-tiba mengajakku nonton? Dan kenapa aku? Kenapa bukan orang lain? Tapi sebelum aku bisa memutuskan harus berkata apa, dia kembali berbicara, wajahnya tetap santai tapi penuh harap.
"Jadi, bagaimana? Kamu mau?"
Aku menatap matanya, mencoba membaca kebenaran di sana. Mata hazel itu… kali ini terlihat begitu jujur, begitu tulus. Biasanya, mata itu terasa seperti menyimpan banyak rahasia, tapi pagi ini semuanya tampak begitu terbuka. Aku mengumpulkan keberanianku untuk bertanya, meski hatiku berdebar hebat.
"Kenapa saya, Pak? Kenapa bukan orang lain?" tanyaku akhirnya, suara sedikit bergetar.
Dia tampak terkejut sesaat. Tangannya bergerak membuang pandangan ke luar jendela, seolah mencari jawaban yang tepat. Aku bisa melihat dia berpikir keras, mungkin karena tidak menduga pertanyaanku. Waktu berjalan begitu lambat. Satu menit terasa seperti satu jam.
Ketika dia akhirnya kembali menatapku, senyum malu-malu tersungging di wajahnya.
"Karena saya ingin pergi denganmu, bukan dengan orang lain," jawabnya pelan.
Aku terdiam, terpaku. Jawaban itu… terlalu sederhana, tapi juga terlalu dalam. Jantungku kembali berdetak kencang, dan aku tidak tahu harus berkata apa. Aku membuang muka, mencoba mengalihkan perasaan yang semakin sulit kukontrol. Tapi dia tidak memberiku waktu untuk mencerna semuanya. Dengan suara yang lembut namun tegas, dia kembali bertanya.
"Jadi, kamu mau atau tidak?"
Aku meremas jari-jariku, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. Rasanya seperti oksigen di mobil ini tiba-tiba berkurang. Dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, aku bertanya balik.
"Film apa yang akan kita tonton?"
Wajahnya berubah cerah. Dia segera membuka ponselnya lagi dan mulai membacakan judul-judul film yang ada. Aku hanya mendengarkan setengah hati. Perasaanku sudah terlalu berantakan untuk benar-benar memahami apa yang dia katakan. Ketika dia memintaku memilih, aku hanya menjawab dengan satu kata singkat.
"Terserah."
Dia akhirnya memilih sebuah film komedi romantis, dan aku hanya mengangguk setuju tanpa menatapnya. Aku sibuk berpura-pura melihat sesuatu di ponselku, padahal pikiranku melayang ke mana-mana. Rasanya seperti pagi ini berubah menjadi sesuatu yang berbeda, sesuatu yang begitu cerah dan penuh warna. Perasaanku bercampur aduk antara gugup, bahagia, dan… sesuatu yang lebih dari itu.
Aku tahu, setelah ini, semuanya tidak akan lagi sama.
***
Kami telah sampai di parkiran kantor. Langkah kakiku terasa ringan saat keluar dari mobil. Masih ada sisa debar yang menggantung di dadaku setelah percakapan kami tadi. Tapi semua itu berubah saat aku melihat mobil Ibu Kirana yang parkir tepat di samping mobil Pak Ariel.
Aku yang baru saja menyadari kehadiran Ibu Kirana mendadak menghentikan langkahku. Mataku membesar, dan napasku tertahan sesaat. Aku merasakan detak jantungku yang tiba-tiba berpacu, tanganku mengepal tanpa sadar di sisi tubuhku. Pikiran-pikiran "negatif" langsung menyeruak, memenuhi kepalaku seperti gelombang pasang yang tak terbendung. Aku melangkah keluar dari mobil Pak Ariel, tumit sepatuku menyentuh permukaan aspal yang masih basah oleh embun pagi. Udara segar menusuk kulit, tetapi bagiku terasa seperti menggigit, memantulkan kegelisahan yang sejak tadi menguasai hatiku. Langit cerah, tanpa awan, seolah-olah dunia luar ingin menghapus semua tanda kekhawatiranku. Namun, hal itu hanya membuat kontras dengan pikiranku yang penuh kekacauan.
Kenapa harus sekarang? Kenapa harus dia? Aku baru saja menikmati momen kecil yang membahagiakan, dan kini sepertinya kebahagiaan itu akan direnggut begitu saja.
Pandanganku langsung tertumbuk pada mobil hitam berkilauan yang baru saja berhenti di samping kami. Pintu terbuka, dan sosok Ibu Kirana melangkah keluar dengan percaya diri. Sepatu hak tingginya berdentang ringan, suara yang terasa lebih nyaring dari biasanya di telingaku. Rambut panjang Ibu Kirana yang digerai terlihat berkilau tertimpa cahaya pagi, memberikan kesan sempurna yang membuatku semakin tak nyaman.
Ibu Kirana yang baru keluar dari mobil menoleh sejenak ke arah Pak Ariel dan memberikan senyuman ramah yang tulus, lalu berjalan mendekat sambil menyapa dengan suara tenang, "Good morning, Pak Ariel." Suara Ibu Kirana menggema dengan nada percaya diri, campuran aksen bahasa Inggris dan Indonesia yang sangat khas. Pak Ariel membalasnya dengan senyuman ramah. Aku hanya bisa memperhatikan dengan saksama, berusaha mencari tanda apa pun. Apakah ada sesuatu di balik cara Pak Ariel membalas senyuman itu? Apakah aku melewatkan sesuatu? Tapi tidak. Setidaknya sejauh ini, tidak ada yang aneh.
Angin pagi yang lembut meniupkan aroma bunga melati dari taman kecil di dekat parkiran. Tetapi aku hampir tidak memperhatikan itu, fokusku terpaku pada cara Ibu Kirana melangkah dengan percaya diri mendekati Pak Ariel. Tanganku tanpa sadar mencengkeram tali tasku lebih erat, mencari pegangan di tengah pikiranku yang bergolak.
Ketika mereka berdiri bersama, Ibu Kirana menoleh, tersenyum, dan dengan nada yang hampir bercanda berkata, "Nice to be back at the main office. Too many meetings at the branch office—it's exhausting."
Pak Ariel mengangguk sopan, membalas dengan suara ramah, "Selamat datang kembali, Bu Kirana. Semoga hari ini lebih tenang."
Namun, langkah berikutnya membuatku terkejut. Ibu Kirana mendekat, berbicara lebih personal dengan bahasa tubuhnya yang terlihat begitu nyaman. Ibu Kirana menyarankan dengan nada ringan, "Kalau begitu, let's go inside together, Pak Ariel. Saya juga ada beberapa things yang ingin saya discuss dengan Anda nanti." Gesturnya tetap santai, hanya mengarahkan langkah tanpa menunggu reaksi berlebihan. Pak Ariel mengangguk dan mengimbangi langkahnya dengan tenang. Kami berjalan perlahan menuju gedung kantor. Jalanan dari parkiran ke pintu utama dikelilingi tanaman hias yang ditata rapi, memberikan suasana damai. Namun, bagiku, setiap langkah terasa berat, seolah aspal di bawah kakiku berubah menjadi pasir hisap. Perasaan tak menentu menghantui setiap gerakanku, terutama ketika mendengar suara tawa ringan dari Ibu Kirana yang berbicara dengan Pak Ariel. Aku hanya bisa mengikuti mereka di belakang, merasa seperti bayangan tak terlihat. Di lorong yang bersih dan dingin oleh pendingin udara, langkah kaki mereka menggema dengan ritme yang hampir seragam. Aku mendapati diriku mengutuk betapa sempurnanya momen ini terlihat dari luar, sementara pikiranku masih bergulat dengan rasa resah. Jemariku memainkan tali tas di bahuku, menariknya berulang kali untuk meredam rasa kesal yang mendidih di dalam dada. Sesekali, aku menggigit bibir bawah, berharap amarahku tak terlihat dari luar.
Dalam perjalanan menuju ruangan, Ibu Kirana melanjutkan percakapan dengan nada yang ringan namun terfokus. "Yesterday, saya sempat bertemu dengan tim dari cabang selatan. Mereka punya beberapa interesting ideas untuk pengembangan keuangan proyek kita. Later, I'd love to hear your thoughts." Pak Ariel mendengarkan sambil memberikan tanggapan ringkas, menjaga percakapan tetap profesional.
Hatiku terasa seperti diremas, setiap kata mereka terdengar seperti jarum menusuk ke dalam. Aku tahu tidak ada yang salah, tapi kenapa aku harus merasa begini?
Namun, begitu kami tiba di depan pintu ruangan Pak Ariel, kelegaan kecil mulai mengendap di hatiku. Di depan pintu ruangan pak Ariel, Ibu Kirana berhenti sejenak dan berkata, "Alright, Pak Ariel, saya akan kembali ke ruangan saya dulu. Kalau Anda ada waktu luang, maybe we can discuss this nanti siang." Ia mengulaskan senyuman sopan sebelum melanjutkan langkahnya tanpa kesan mendominasi. Ibu Kirana melambai singkat sebelum berpisah, melanjutkan langkahnya ke ruangan lain. Aku menahan senyum yang hampir muncul, merasa seperti baru saja memenangkan pertarungan kecil.
Di dalam ruangan, aroma khas kayu furniture memenuhi udara. Aku duduk di mejaku, mencoba mengalihkan perhatian ke layar komputerku. Tetapi suara Pak Ariel tiba-tiba memecah keheningan.
"Menurut saya, Ibu Kirana itu wanita yang menarik."
Kalimat itu langsung menghantam perasaanku, membuatku terdiam sejenak.
Aku menunduk, berusaha menyembunyikan gejolak di hatiku. Perasaan kecewa dan malu bercampur, seperti ombak besar yang sulit aku redam. "Jadi, memang benar," pikirku, bayangan percakapan semalam dengan Dwi seakan membenarkan kekhawatiranku. Aku menguatkan diri untuk tersenyum, meskipun senyuman itu terasa seperti beban yang harus kupaksakan.
Namun, saat Pak Ariel melanjutkan kalimatnya, duniaku serasa berhenti sejenak.
"Menurut saya, Ibu Kirana adalah wanita yang menarik. Saya berpikir ingin mengenalkannya kepada teman dekat saya di SMA yang sekarang mengelola bisnis startup."
Jantungku berdegup cepat. Seolah ada udara segar yang tiba-tiba masuk ke paru-paruku setelah sekian lama sesak. "Apa?" pikirku, menatap Pak Ariel dengan pandangan bingung. Aku mencoba menelan ludah, tetapi tenggorokanku terasa kering.
Kakiku yang tadi sempat gemetar kini terasa lebih kokoh. Dadaku yang tadinya sesak kini terasa ringan, seperti balon yang perlahan terlepas ke udara. Aku mendengar suaraku sendiri, nyaris tanpa sadar:
"Oh, ide yang bagus, Pak. Saya yakin itu akan menarik."
Senyuman tipis yang muncul di wajahku kali ini terasa berbeda—jujur, lega, tanpa tekanan. Aku menunduk sejenak, mengatur napas, sebelum kembali menatap layar komputer. Namun, bayangan percakapan barusan terus berputar di pikiranku, menghangatkan hatiku seperti sinar matahari yang muncul setelah badai.
Saat Pak Ariel kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri, aku menyadari sesuatu. Momen ini bukan hanya tentang lega karena dugaanku salah. Lebih dari itu, aku merasakan kebahagiaan kecil yang tak bisa kujelaskan sepenuhnya.
Di layar komputerku, aku menangkap pantulan samar senyumanku sendiri, tetapi cukup untuk menyadari bahwa pagi ini adalah salah satu pagi yang akan selalu aku ingat.
***