Langkah Pertama Menuju Keberanian

POV Ariel

Aku mematikan TV dengan gerakan pelan, membiarkan ruang santai kembali tenggelam dalam keheningan. Papa mungkin sudah beristirahat di kamarnya, meninggalkanku sendirian dengan semua pikiran yang berputar tanpa henti di kepala. Aku melangkah keluar, menuju kamarku, tapi langkahku terasa berat, tidak seperti biasanya. Ada kebimbangan di setiap ayunan kaki, seolah-olah aku sedang berjalan di atas jalan yang penuh dengan rintangan tak terlihat.

Sherly. Namanya terus terlintas, seperti suara samar yang memenuhi benakku. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana caraku memperbaiki semuanya? Jika aku benar-benar ingin keluar dari dinding besar yang selama ini melindungiku, aku harus bersiap menunjukkan diriku apa adanya. Tapi itu tidak mudah.

Aku menghela napas panjang ketika membuka pintu kamar, mencoba menghalau beban berat yang terasa menghimpit dadaku. Tapi beban itu tetap ada, seperti bayangan yang tidak mau pergi. Pandanganku tertuju pada ponsel yang tergeletak di atas meja. Entah sejak kapan aku mengabaikannya. Sepertinya sejak aku pulang kerja tadi.

Aku mengambil ponsel itu, memeriksa layar yang penuh dengan notifikasi pesan. Tapi tidak ada satu pun dari Sherly. Aku tidak tahu harus merasa lega atau kecewa. Aku memang menjaga jarak dengannya, mencoba mengatur kembali kekacauan di pikiranku. Tapi di sisi lain, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Jauh di dalam hati, aku berharap... Sherly ada di sana. Di antara notifikasi-notifikasi itu.

Aku menggelengkan kepala, mencoba menepis perasaan itu. Naif sekali.

Tapi kemudian, aku teringat ponsel satuku lagi. Ponsel yang kusimpan di dalam tas laptop, yang hanya aku gunakan sebagai Dwi. Aku mengambilnya, tangan ini bergerak seolah-olah tanpa kendali, digerakkan oleh sesuatu yang lebih kuat daripada logika. Saat layar menyala, pesan dari Sherly muncul di sana.

Aku terpaku. Pesannya sederhana, tapi cukup untuk membuat rasa hangat mengalir perlahan di dadaku.

"Hai, Dwi. Apa kabar?

Aku membaca pesan itu berulang kali, membiarkan senyuman kecil muncul di wajahku. Rasanya... melegakan. Meski aku menjaga jarak, dia tetap di sana, memikirkan aku. Atau setidaknya, memikirkan "Dwi."

Aku duduk di tepi tempat tidur, memikirkan balasan yang tepat. Haruskah aku menjawab dengan santai? Atau ada sesuatu yang lebih baik untuk kukatakan? Setelah beberapa saat, aku mengetik balasan sederhana.

"Aku baik-baik saja, Sherly. Bagaimana kabarmu di sana? Kuharap semuanya berjalan lancar."

Aku menekan tombol kirim, lalu menatap layar yang kembali sunyi setelah pesan terkirim. Untuk pertama kalinya hari ini, aku merasa sedikit lebih ringan. Setidaknya, di balik semua kekacauan ini, masih ada sesuatu—atau seseorang—yang memberiku alasan untuk terus melangkah.

***

POV Sherly

Ponselku tiba-tiba berbunyi, bergetar di meja kecil di samping tempat tidur. Mataku yang setengah terpejam perlahan membuka, mencoba fokus pada layar yang menyala. Nama "Dwi" terpampang jelas di sana. Aku membelalakkan mata sejenak, jantungku berdegup lebih kencang, seperti lonjakan kecil kegembiraan yang datang begitu saja.

Senyumku muncul, refleks, tanpa bisa kutahan. Dengan cepat aku meraih ponsel itu dan membuka pesannya. Tanganku langsung mengetik balasan sambil berusaha menahan antusiasme yang meluap. "Kabarku baik, Dwi. Bagaimana harimu? Ada hal menarik hari ini?" tanyaku.

Tak butuh waktu lama, balasannya muncul. "Hari ini seperti roller coaster, membuatku bingung saat ini."

Aku mengernyit. Apa maksudnya? Ada sesuatu yang membuatnya bingung? Aku mencoba memancing lebih jauh. "Kenapa, Dwi? Ada apa?"

Pesannya kembali muncul setelah beberapa detik. "Aku merasa sudah melakukan kesalahan dan harus memperbaikinya. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya."

Kesalahan? Apa itu? Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini tentang pekerjaan di kantor? Apa mungkin ada masalah besar yang melibatkan Pak Ariel—eh, maksudku Dwi? "Kesalahan apa, Dwi? Tentang pekerjaan?" tanyaku, mencoba memastikan.

Balasannya membuatku terdiam sejenak. "Bukan tentang pekerjaan. Ini tentang seseorang yang sangat berarti bagiku."

Seseorang yang berarti? Aku bisa merasakan detak jantungku melambat sejenak, lalu melonjak lebih cepat. Seseorang... siapa? Jangan-jangan...

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diriku yang mulai gelisah. Rasa penasaran yang tak tertahankan membuatku bertanya lagi. "Seseorang yang berarti, Dwi? Maksudnya siapa?"

Pesannya kali ini datang lebih lambat, seolah dia sedang berpikir panjang sebelum menjawab. Ketika akhirnya aku membaca jawabannya, rasanya seperti ada sesuatu yang berat menekan dadaku. "Dia perempuan yang sangat cantik, manis, lembut, cerdas, dan punya daya tarik yang kuat. Siapapun yang melihatnya pasti langsung tertarik padanya."

Mataku membeku di layar, mengulang membaca kata-kata itu, mencoba memahami. Sosok perempuan itu... jelas bukan aku. Kecantikan yang dia deskripsikan, kecerdasan, daya tarik yang kuat—itu semua seperti gambaran Ibu Kirana.

Aku menelan ludah, mencoba menepis rasa kecewa yang mulai menjalari hatiku. Tapi kata-kata itu terus terngiang-ngiang di kepalaku. Tidak mungkin dia sedang membicarakanku. Dia pasti sedang membicarakan Ibu Kirana, sosok yang sempurna, yang selalu terlihat berwibawa dan dekat dengannya.

Pesan-pesan kami berakhir singkat setelah itu, ketika Dwi mengatakan bahwa dia butuh istirahat. Aku membalas dengan kalimat biasa, berusaha menyembunyikan perasaanku. Tapi begitu obrolan kami selesai, aku hanya bisa duduk terdiam.

Kepalaku penuh. Bayangan Ibu Kirana, dengan senyumnya yang tenang dan percaya diri, terus menghantui pikiranku. Aku tidak bisa menghindari pikiran itu: apakah aku hanya salah memahami semuanya?

Kata-kata Cindy kembali terngiang di benakku. "Tapi kalau dia tidak pernah mengakuinya... berarti dia hanya menganggap lu rekan kerja."

Pikiranku berputar-putar. Semua momen yang kami lalui—percakapan, tatapan, perhatian kecil—semua itu... apa hanya aku yang merasa istimewa? Apa hanya aku yang berharap lebih?

Hatiku ingin menyangkal. Ingin percaya bahwa ada sesuatu di antara kami. Tapi bayangan Ibu Kirana berdiri di sana, dengan semua kesempurnaannya, membuatku tersadar bahwa mungkin aku hanya berangan-angan.

Aku menghela napas panjang, menatap kosong ke layar ponselku. Rasa percaya diri yang sebelumnya muncul perlahan memudar, meninggalkan keraguan yang menggantung di udara.

***

POV Ariel

Aku menatap layar ponselku yang menampilkan balasan terakhir dari Sherly. Kalimat sederhana darinya—penutup obrolan malam ini—seolah bergema di pikiranku. Dengan perlahan, aku melepas kacamata yang terasa mulai menekan di sisi hidungku dan meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur. Aku berbaring, mencoba memejamkan mata, tapi pikiranku menolak untuk tenang.

Bayangan Sherly terus muncul, mengisi setiap sudut pikiranku. Aku bertanya-tanya, bagaimana caranya aku bisa mendekatinya? Bukan sebagai Ariel, manajer keuangan yang hanya sekadar menggunakan otoritas untuk menjalin interaksi, tapi sebagai diriku yang sesungguhnya—pribadi yang ingin dia kenal di luar peran profesionalku.

Namun, semakin aku mencoba mencari jawaban, semakin ruwet pikiranku. Aku tidak pernah berada di situasi seperti ini sebelumnya. Hubungan paling jauh yang pernah kumiliki hanyalah ketertarikan remaja terhadap teman sekolah atau kuliah dulu—sekadar rasa suka yang tak berani kusampaikan. Tapi apa yang kurasakan untuk Sherly... ini jauh lebih kompleks. Begitu mendalam. Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku harus bersikap besok saat berjumpa dengannya.

Aku membuka mataku, menatap lampu tidur yang memancarkan cahaya redup, agak kabur tanpa kacamata. Dalam keheningan ini, satu kata sederhana tiba-tiba muncul di benakku, meski aku tahu betul kata itu adalah yang paling kuhindari selama ini: jujur.

Ya, aku harus jujur pada Sherly. Tanpa dinding-dinding besar yang selalu kubangun untuk melindungi diriku. Tanpa permainan identitas, tanpa jarak profesional. Aku harus menunjukkan apa yang sebenarnya kurasakan.

Tapi meski aku tahu itu jawabannya, hatiku terasa berat. Ada risiko yang begitu besar. Bagaimana jika Sherly tidak merasakan hal yang sama? Bagaimana jika semua ini malah menghancurkan hubungan kami yang sudah ada? Pikiranku mulai mengukur, menganalisis, mencari alasan untuk mundur, tapi semua analisis itu berujung pada satu hal: aku tidak bisa terus seperti ini.

Aku menarik napas panjang, mencoba menghalau rasa sesak yang entah kenapa memenuhi udara di kamar ini. Perlahan, aku memantapkan hati. Jika aku sungguh ingin Sherly mengenal siapa aku, maka aku harus mengambil langkah ini, apa pun risikonya.

Aku tidak bisa lagi bersembunyi. Tidak ada alasan untuk kembali ke dalam dinding besar yang selama ini kujadikan perlindungan.

Dengan keputusan itu, meski tubuhku terasa lelah, mataku perlahan terpejam. Tidak sepenuhnya damai, tapi cukup untuk membuatku percaya bahwa aku telah menemukan arah yang harus kutempuh.

***