POV Sherly
Setelah makan malam bersama Ibu, aku segera masuk ke kamar dengan alasan ingin beristirahat. Ibu, yang tidak terlalu curiga, hanya mengangguk dan menyuruhku tidur lebih cepat. Tapi, aku tahu aku tidak benar-benar ingin tidur. Di balik pintu kamar yang tertutup, pikiranku justru semakin berantakan.
Aku duduk di kursi, di depan meja kerja yang dulu adalah meja belajarku saat SMK. Ponsel di tanganku terasa berat, padahal benda itu ringan. Aku membuka daftar kontak dan menggulir hingga menemukan nama Juan. Ada dorongan untuk menekan ikon telepon, tapi jempolku terhenti di udara. Rasanya tidak adil jika aku memberikan jawaban lewat telepon. Kami bekerja di perusahaan yang sama, dan apapun keputusanku akan berdampak pada hubungan kami—baik secara pribadi maupun profesional.
Aku menarik napas panjang, mengusap wajahku dengan satu tangan, lalu berdiri. Aku beralih ke ranjang, merapikan bantal dan selimut sebelum berbaring. Udara malam ini dingin, menusuk hingga ke tulang. Aku menarik selimut hingga ke dagu, mencoba mencari kehangatan, tetapi tetap tidak bisa merasa nyaman.
Ponselku masih ada di genggaman, dan kali ini aku membuka aplikasi chat. Aku menggulir layar, mencari nama "Dwi." Saat riwayat chat kami terbuka, aku melihat balasan terakhir darinya, yang membahas huruf "p" yang aku kirimkan. Dwi—atau lebih tepatnya Pak Ariel—membalas dengan mengatakan bahwa kabarnya baik, lalu bertanya kenapa aku tiba-tiba mengirim "ping" seperti itu. Aku hanya menjawab bahwa saat itu aku ingin mengobrol dengannya, meskipun aku tahu dia sibuk.
Aku membaca ulang balasan-balasannya, mencoba mencari petunjuk. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang istimewa. Chat terakhir kami hanyalah basa-basi biasa. Tapi, sore tadi di kantor, sikap Pak Ariel berbeda. Perubahannya begitu tiba-tiba. Tidak ada peringatan, tidak ada tanda-tanda sebelumnya. Dan itu membuatku tidak tenang.
Aku mulai mengetik pesan.
"Hai, Dwi. Apa kabar?"
Aku membaca ulang kata-kata itu berkali-kali. Sederhana, tapi cukup untuk membuka percakapan. Setelah memastikan aku tidak salah mengetik, aku menekan tombol kirim.
Pesan terkirim.
Lima menit berlalu. Tidak ada tanda dia membaca. Tidak ada balasan.
Aku menggigit bibir, memutar-mutar ponsel di tanganku. Semakin lama aku menunggu, semakin tidak menentu rasanya hatiku. Sebenarnya aku ingin bertanya langsung kenapa Pak Ariel bersikap seperti itu, tapi aku tahu aku tidak bisa. Jadi, aku berharap Dwi, identitas rahasianya, bisa memberiku jawaban.
Masih tidak ada balasan. Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Pikiran-pikiran buruk mulai merayap. Apa mungkin dia tahu aku menyadari sesuatu? Atau dia sengaja mengabaikan pesanku? Atau mungkin dia benar-benar sibuk?
Aku membuka mata, menatap layar yang masih sunyi dari notifikasi baru. "Pak Ariel, kamu sebenarnya kenapa?" gumamku pelan.
***
POV Ariel
Di ruang santai keluarga, cahaya lampu temaram memantul lembut di permukaan meja kaca. Sebuah film aksi lama diputar di layar TV, tetapi suara dialognya terdengar samar, tenggelam oleh bunyi klik-klik pelan dari remote control di tanganku. Aku menekan tombol ganti channel tanpa niat benar-benar menonton. Jari-jariku bergerak tanpa arah, seolah itu satu-satunya cara menjaga pikiranku agar tidak tenggelam lebih jauh ke dalam kerumitan yang melilitku. Rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Mama sedang di rumah Kak Liese.
Aku tahu Papa ada di rumah. Derap langkah beratnya mendekat dari ruang makan menuju ruang santai terasa familier, seperti ritme yang mengingatkanku pada masa kecilku. Ketika akhirnya ia muncul, wajahnya yang lelah terlihat lebih lunak dari biasanya. Setelan jasnya masih lengkap, tapi dasinya sudah dilonggarkan, membuatnya tampak seperti pria yang hanya ingin segera beristirahat setelah seharian bekerja.
Papa duduk di sofa sebelahku, menghempaskan tubuhnya dengan gerakan yang penuh kepastian. Aroma lotion aftershave-nya yang khas bercampur samar dengan wangi kopi yang baru saja diminumnya. "Lihat apa?" tanyanya, suaranya berat tapi santai.
Aku menoleh, memberi senyum kecil. "Nggak tahu. Ganti-ganti channel aja." Suaraku terdengar serak, hampir seperti bisikan.
Papa hanya mengangguk kecil, lalu menyandarkan punggungnya. Dari sudut mataku, aku melihat dia memandangku lebih lama dari yang seharusnya. Aku tahu, dia pasti memperhatikan ekspresi wajahku—salah satu dari sedikit orang yang bisa membaca kegelisahanku meskipun aku berusaha menutupinya.
"Papa kangen Mama hari ini. Seharian enggak ketemu rasanya seperti berbulan-bulan," katanya sambil menghela napas panjang.
Aku tertawa kecil, lebih kepada formalitas. "Papa lebay banget. Enggak ada Mama di rumah, kok malah gombal." Aku berusaha melontarkan candaan, tapi ada jeda canggung di antara kalimatku yang pasti terdengar aneh di telinga Papa.
Papa tersenyum tipis, tapi matanya tetap mengamatiku. Dia berbicara dengan nada ringan, tapi aku tahu—aku selalu tahu—di balik kata-katanya, ada keinginan untuk menggali sesuatu yang lebih dalam. "Siapa yang gombal? Papa ngomong serius. Kalau kita sudah terikat sama seseorang yang kita cintai, rasa itu makin dalam. Kadang malah bikin kita kehilangan fokus, kayak kamu sekarang."
Aku langsung tahu arah pembicaraan ini. Papa memang sedang menggoda, tapi ada maksud lain di balik ucapannya. Aku mencoba berlagak santai, kembali memandang layar TV tanpa menjawab.
Papa melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih serius. "Dulu, waktu Papa mau nikahin Mama, banyak rintangannya. Orang tua Mama di Jerman, beda budaya, beda agama. Keluarga Papa sendiri juga lama banget ngasih restu. Tapi, dengan keyakinan dan saling mendukung, akhirnya semua bisa dilewati."
Aku mendengar cerita itu dengan seksama, meskipun pikiranku mulai melayang. Aku tahu setiap hubungan membutuhkan perjuangan. Tapi aku... aku bukan seperti Papa. Aku tidak punya keberanian itu. Semua yang kulakukan selalu kembali pada satu hal: aku merasa tidak layak.
"Hmm." Aku menggumam pelan, mencoba tidak menanggapi lebih jauh. Fokusku kembali ke layar TV yang berubah ke channel lain, meski aku tidak benar-benar melihatnya.
"Ada apa, Ariel?" tanyanya lebih serius kali ini, suaranya rendah tapi hangat. Aku tahu dia sudah membaca sesuatu dalam diriku, tapi aku masih enggan mengakuinya.
"Enggak ada apa-apa, Pa." Aku mencoba terdengar santai, tapi suaraku tidak sekuat yang aku harapkan.
Dia menghela napas panjang lagi, matanya tak lepas dari wajahku. "Papa nggak pernah lihat kamu segelisah ini, kecuali ada sesuatu yang benar-benar penting. Kalau kamu nggak mau cerita, Papa nggak akan paksa. Tapi, Papa di sini kalau kamu butuh."
Aku menggeleng pelan, menekan perasaan yang mulai mengganjal di dadaku. Aku ingin mengalihkan pembicaraan, tapi akhirnya suara itu keluar, pelan dan nyaris berbisik. "Pa, apa artinya perjuangan... kalau hasil akhirnya cuma nyakitin orang yang kita sayang?"
Kata-kataku menggantung di udara. Aku menunduk, mencoba menghindari tatapannya. Tapi keheningan Papa membuatku merasa harus melanjutkan.
"Kadang aku ngerasa... mungkin lebih baik nggak usah mulai apa-apa kalau ujungnya cuma bikin dia menderita." Suaraku serak, semakin sulit untuk menahan semua yang ada di dalam hati.
Papa tetap diam, tapi aku bisa merasakan kehadirannya yang tenang di sampingku. Ketika akhirnya ia berbicara, suaranya lembut tapi tegas. "Nak, perjuangan dan hasil itu dua hal yang berbeda. Perjuangan adalah milik kita. Kita bisa memilih, jadi pejuang atau melepaskannya sebagai pengecut. Sedangkan hasil, itu urusan Tuhan. Kita enggak punya kendali di sana."
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Papa. Dia melanjutkan, "Papa sudah memilih untuk jadi pejuang. Sekarang giliranmu, Ariel. Pria sejati enggak dinilai dari seberapa kuat fisiknya, tapi dari seberapa keras dia berusaha."
Papa menepuk pundakku pelan sebelum berdiri dan meninggalkanku sendirian di ruang santai. Aku tetap di sana, menatap layar TV yang terus menyala tanpa kusadari apa yang sedang diputar. Kata-kata Papa menggema di pikiranku, menghantam dinding besar yang selama ini kubangun untuk melindungi diriku sendiri.
Apa aku benar-benar pengecut? Dan... apa aku punya keberanian untuk mencoba?
Aku tidak menjawab. Mataku tetap tertuju pada layar TV, tapi pikiranku berkecamuk. Kata-katanya seperti menelanjangi semua alasan yang selama ini aku gunakan untuk melindungi diriku. Aku merasa semakin sulit untuk menyangkal kebenaran yang ia ucapkan.
Ketika pintu ruang santai tertutup perlahan di belakang Papa, aku tetap duduk di sofa, membiarkan kesunyian meresap di sekitarku. Pandanganku tertuju pada cangkir teh di atas meja, isinya sudah dingin, tapi aku tidak peduli. Kata-kata Papa terus bergema di kepalaku, memenuhi setiap sudut pikiran yang sebelumnya sudah kacau.
"Perjuangan adalah pilihan."
Aku menarik napas panjang, mencoba meredakan desakan di dadaku. Pilihan. Kata itu terdengar sederhana, tapi untukku, ia seperti jurang yang tak pernah bisa kulewati. Selama ini, aku hidup di dalam dinding yang kubangun sendiri—dinding besar yang melindungiku dari rasa sakit dan ketidakpastian. Tapi aku juga sadar, dinding yang sama membuatku terkunci dalam ketakutan yang tidak pernah hilang.
Bayangan Sherly muncul dalam benakku. Senyumnya yang hangat, caranya menatapku seolah-olah dia bisa melihat melewati semua lapisan diriku yang aku coba sembunyikan. Aku tahu, apa yang ada di antara kami sudah terlalu jauh untuk diabaikan. Perasaanku sudah berkembang begitu dalam, meskipun aku berusaha menyangkalnya.
Jika aku terus bertahan di balik dinding ini, aku tahu apa yang akan terjadi. Aku akan kehilangan dia. Dan aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.
Aku memandangi kedua tanganku, yang saat ini terasa dingin. Tangan ini pernah memegang tangannya, mengalirkan kehangatan yang membuatku ingin percaya bahwa aku bisa merasakan sesuatu yang nyata lagi. Tapi, jika aku menyerah sekarang, aku hanya akan menyakitinya. Sherly tidak pantas menerima itu. Dia sudah cukup menderita dengan luka-luka yang ia bawa sendiri.
Ketakutan itu masih ada—tentang masa depan, tentang kegagalan, dan tentang ketidakpastian yang terus membayangiku. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang mulai tumbuh, kecil dan rapuh, tapi nyata: keinginan untuk berjuang.
"Kalau aku tetap diam, aku akan kehilangan segalanya," pikirku.
Aku menghela napas sekali lagi, kali ini lebih dalam. Keputusan ini tidak mudah, aku tahu. Tidak ada jaminan bahwa aku akan berhasil, bahwa aku akan mendapatkan akhir yang bahagia. Tapi aku tidak bisa berhenti sekarang. Aku sudah melangkah sejauh ini, dan Sherly ada di sana, berdiri di sisiku.
"Aku akan menjadi pejuang," aku membatin dengan mantap. Meskipun dinding itu masih ada, aku akan mulai meruntuhkannya, satu per satu, hingga aku bisa keluar dan menghadapi apa pun yang menantiku di luar sana.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa sedikit lebih ringan. Ini adalah awal, langkah pertama menuju sesuatu yang aku harap bisa menjadi lebih baik.
***