POV Ariel
Aku keluar dari lift dengan langkah yang nyaris tanpa tenaga. Kata-kata Juan terus terngiang di telingaku, menghantam pikiranku tanpa ampun. "Saya mencintainya. Dan saya tidak akan menyerah untuk membuatnya memilih saya."
Kalimat itu menggema seperti bel peringatan. Mengapa dia mengatakan itu kepadaku? Apa yang dia tahu? Apa yang dia pikirkan tentang hubungan antara aku dan Sherly?
Perasaan itu selalu datang tiba-tiba, tak pernah kurencanakan. Saat melihat Sherly dan Juan bersama, ada sesuatu di dalam diriku yang bergolak. Aku tahu itu cemburu—perasaan yang jarang sekali kurasakan, karena aku selalu percaya diri dengan siapa diriku dan apa yang kumiliki. Tapi cemburu ini berbeda. Bukan cemburu yang membakar sepanjang waktu, melainkan situasional. Ia muncul hanya ketika Juan ada terlalu dekat dengan Sherly.
Aku tidak pernah merasa Juan adalah ancaman nyata, tapi caranya memperlakukan Sherly sering membuatku tak nyaman. Seperti saat kami berpapasan di koridor itu. Juan menyapaku dengan nada yang... entah bagaimana terasa kurang sopan. Aku tahu mungkin aku hanya terlalu sensitif saat itu, tapi tetap saja, ada sesuatu yang membuatku berpikir, "Kalimat itu tidak pantas, cara dia menyampaikannya terasa kurang ajar."
Meski begitu, pikiran itu tidak bertahan lama. Hanya dalam hitungan detik, mataku menangkap sesuatu yang berbeda. Juan terlihat kacau—pandangan matanya lelah, bahunya sedikit turun, seperti menanggung beban yang tak terlihat. Saat itu, amarahku mereda, dan yang muncul justru rasa iba.
Aku tahu bagaimana rasanya memikul beban berat tanpa bisa membaginya dengan siapa pun. Sebagai seseorang yang selalu berusaha menjaga semuanya terkendali, aku bisa melihat tanda-tanda itu dengan jelas pada Juan. Dan meskipun sikapnya sering membuatku kesal, ada bagian dalam diriku yang memahami—dan mungkin, memaafkannya.
Sherly mungkin tidak menyadari apa yang sedang terjadi di antara kami. Dan itu lebih baik. Dia tidak perlu tahu bahwa di balik sikap dinginku terhadap Juan, ada percikan kecil rasa iba yang tak terhindarkan. Empati ini bukan untuk membenarkan apa pun, hanya cara kecilku untuk tetap menjadi manusia.
Ketika aku mendekati mejaku, langkahku terhenti. Meja Sherly kosong.
"Bu Risti," panggilku, mencoba terdengar tenang meskipun dadaku mulai terasa berat, "Sherly ke mana?"
"Oh, Sherly tadi keluar, Pak. Katanya menemui Juan."
Kalimat itu seperti beban yang langsung menghantam dadaku. Aku terpaku. Seketika pikiranku berputar, menyusun potongan-potongan kejadian pagi ini, kata-kata Juan, ekspresi Juan. Mereka bertemu. Mereka membahas hubungan mereka.
Dada kiriku terasa sesak.
Aku hanya mengangguk kecil kepada Bu Risti dan berbalik menuju mejaku tanpa sepatah kata lagi. Rasanya seperti berjalan di atas kaki yang kehilangan tenaga, gontai, hampir mati rasa. Duduk di kursi pun terasa seperti perjuangan berat.
Tanganku secara refleks memegangi dada kiriku, remasan jari-jariku mencengkeram kain kemejaku. Rasa sakit itu tiba-tiba menyerang—tajam, menusuk, seolah ada beban besar yang menghimpitku. Aku memejamkan mata erat-erat, mencoba mengatur napas, tetapi setiap tarikan terasa pendek dan terputus-putus.
Aku harus mengambil obatku. Aku membuka mata dengan susah payah, mencari pouch hitam yang biasa kubawa. Tanganku gemetar saat meraihnya, mencengkeram erat, dan segera menemukan obat itu di dalamnya. Tanganku yang bergetar nyaris menjatuhkan gelas air di atas meja, tapi aku berhasil.
Saat obat itu kutelan, aku bersandar di kursi, berharap rasa sakit ini segera berkurang. Detik demi detik berlalu seperti selamanya, tapi akhirnya rasa berat di dadaku mulai mereda, perlahan-lahan. Napasku yang pendek-pendek mulai stabil, meskipun kelelahan masih menggantung berat di tubuhku.
Aku menatap telapak tanganku—basah oleh keringat. Aku mengusapnya sembarangan ke celana, lalu mengeringkan wajahku dengan tisu. Mataku memejam lagi, mencoba mencari ketenangan, tetapi yang kutemukan hanya satu kenyataan pahit: aku telah membuat jarak yang begitu besar antara aku dan Sherly.
Selama ini, aku pikir tembok yang kubangun itu adalah perlindungan—untuknya, untukku, untuk hubungan yang seharusnya tidak pernah terjadi. Tapi aku salah. Tembok itu hanya membuatku kehilangan apa yang selama ini coba kupendam. Tembok itu tidak melindungiku. Tidak melindunginya.
Dan sekarang, aku harus menerima kenyataan bahwa Sherly mungkin memilih Juan. Itu seharusnya hal yang benar, bukan? Tapi mengapa rasanya seperti ini? Mengapa aku merasa seperti semua udara telah hilang dari paru-paruku?
Aku mengambil napas panjang, memaksakan diri untuk bangkit dari kursi. Aku merapikan diriku, memasang kembali kacamataku, dan memastikan bahwa tidak ada jejak kekacauan di wajahku. Sherly tidak perlu tahu tentang ini. Tidak sekarang.
Tapi jauh di dalam hati, aku tahu. Ini bukan tentang Juan. Bukan tentang apa yang mereka bicarakan. Ini tentang aku, tentang rasa yang selama ini kupendam. Dan aku terlalu pengecut untuk mengakuinya.
Aku masih ingat dengan sangat jelas hari itu—hari pertama Sherly datang ke kantor sebagai trainee. Aku tahu dia akan bergabung karena perekrutannya memang ada andilku di sana. Ketika nama Sherly muncul dalam daftar kandidat, aku merasa lega sekaligus ragu. Kini, saat tahu dia benar-benar akan hadir, dadaku terasa sesak. Antusiasme, kecemasan, dan rasa takut bercampur menjadi satu, membuat napasku terasa berat setiap kali aku memikirkannya.
Ketika Sherly akhirnya berdiri di dalam ruanganku, menunggu kedatanganku, aku sudah tahu apa yang harus kulakukan. Sikap dingin dan nada sedikit keras yang kubangun adalah cara terbaik untuk menjaga jarak. Aku tidak bisa membiarkan hatiku goyah dan rencana yang kurancang dengan hati-hati hancur begitu saja.
"Sherly ini..." gumamku dalam hati saat itu, memandangnya sekilas dari balik layar laptopku. "Gadis yang dulu aku kenal. Gadis yang tanpa sadar telah menjadi alasan aku bertahan di masa-masa sulitku dulu."
Tapi aku tahu, perasaan itu tidak boleh berkembang lebih jauh. Aku sudah memutuskan sejak lama, bahkan sebelum dia melangkahkan kakinya ke kantor ini. Hubungan ini tidak boleh dimulai. Tidak sekarang. Tidak selamanya.
Aku ingat bagaimana aku memperkenalkan diri dengan singkat, sengaja menjaga nada suaraku tetap dingin dan formal. Aku bahkan memberinya tugas yang sebenarnya tidak mendesak, hanya untuk memastikan bahwa percakapan kami tetap sebatas profesional. Aku tahu tindakanku terdengar kasar, tapi itu adalah cara termudah untuk membangun tembok.
Namun, di dalam hati, rasa bersalah terus menghantuiku. Sherly terlihat gugup, tangannya sedikit gemetar saat menerima dokumen yang kuberikan. Aku ingin sekali memberinya senyuman kecil atau sekadar berkata, "Santai saja, kamu bisa melakukannya." Tapi aku tahu, jika aku melakukannya, semuanya akan runtuh.
"Aku tidak bisa membiarkan dia masuk ke dalam hidupku," gumamku malam itu, setelah semuanya selesai dan Sherly sudah lebih dulu pulang. Aku berdiri di depan kaca ruanganku, melihat bayangan diriku yang tampak lelah dan penuh kebimbangan. "Karena aku tahu, aku hanya akan menyeretnya ke jalan yang penuh ketidakpastian. Hidupku ini... aku bukan seseorang yang bisa menjanjikan kebahagiaan untuknya."
Bayangannya masih tertinggal dalam pikiranku. Tapi aku tahu, aku tidak punya pilihan lain. Tembok ini harus tetap berdiri, bagaimanapun sulitnya.
***
POV Sherly
Langkahku menuju ruangan terasa seperti berjalan di atas awan berat yang menggantung. Aku mencoba menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki pintu, memastikan wajahku setidaknya tampak normal—tidak terlalu kusut, tidak terlalu kacau. Bu Risti menoleh sebentar dari mejanya ketika aku melintas, dan aku menyapanya dengan nada ceria yang kupaksakan.
"Halo, Bu Risti. Lagi sibuk, ya?" tanyaku, berharap suaraku cukup meyakinkan.
"Lumayan, Sherly. Kamu sendiri gimana? Kelihatan capek," jawabnya.
Aku hanya tersenyum kecil, tidak tahu harus menjawab apa. Aku bahkan tidak yakin apa yang sedang kurasakan.
Saat melewati ruangan Pak Ariel, aku melirik sekilas. Ia sudah kembali, duduk di kursinya dengan fokus pada layar laptopnya seperti biasa. Sejenak aku ragu, tapi akhirnya memutuskan untuk menyapa.
"Sore, Pak Ariel," ucapku, mencoba terdengar ringan.
Dia hanya mengangguk kecil sambil tetap memandangi monitornya. Tidak ada senyuman, tidak ada kehangatan seperti biasanya—hanya jawaban singkat yang membuat dadaku sedikit mencelos. Tapi aku tidak bisa membiarkan hal itu terlihat, jadi aku terus melangkah menuju mejaku. Aku berusaha keras tampak baik-baik saja, walaupun rasanya jantungku berdebar tak menentu.
Beberapa menit kemudian, suara Pak Ariel memecah keheningan.
"Sore ini kamu pulang dengan Pak Agus saja," katanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya. "Saya masih ada pekerjaan, jadi tidak bisa pulang bareng."
Kalimat itu membuatku terdiam sesaat. Ada sesuatu yang aneh dalam caranya bicara. Tidak seperti biasanya. Refleks, aku menawarkan diri.
"Kalau Bapak masih ada kerjaan, saya bisa bantu. Kita bisa lembur sama-sama."
Aku masih menatap Pak Ariel, menunggu jawaban dari tawaranku untuk membantu lembur. Mataku berusaha mencari sesuatu di wajahnya, tanda sekecil apa pun yang bisa memberi petunjuk tentang apa yang sebenarnya dipikirkan.
Namun, Pak Ariel tetap diam, jarinya yang tadinya lincah mengetik di keyboard tiba-tiba terhenti. Dia menarik napas pelan, hampir tidak terdengar, tapi cukup dalam untuk membuat bahunya sedikit naik dan turun. Tangan kanannya mengepal perlahan di atas meja, sebelum akhirnya bergerak mengambil mouse dan menggeser layar di laptopnya.
"Tidak perlu, kamu pulang saja dulu," katanya, nada suaranya datar, tapi ada jeda singkat di antara kalimatnya, seakan ada sesuatu yang ditahannya. Matanya tetap tertuju pada monitor di depannya, namun aku bisa melihat dari sudut pandangku—sekilas saja—rahangnya yang mengencang.
Aku menggigit bibir. Ada dorongan kuat untuk tetap memaksa, tapi sesuatu dalam nadanya membuatku mundur. Ia bahkan tidak menoleh saat bicara. Aku merasa seperti sedang berbicara dengan bayangan. Aku merasa seperti ada tembok besar yang sengaja Pak Ariel pasang di antara kami. Tapi apa yang kulihat tadi, gestur kecil yang begitu singkat, cukup membuatku yakin: tembok itu tidak benar-benar kokoh.
"Baik, Pak," jawabku akhirnya dengan suara kecil.
Sebelum meninggalkan ruangan, aku berpamitan, meski tahu sahutannya akan sekadar formalitas. Benar saja, ia hanya bergumam kecil tanpa sedikit pun menoleh. Hatiku terasa semakin berat, tapi aku tidak ingin berlama-lama di sana.
Langkahku terasa berat saat meninggalkan ruangan itu. Suara sepatu yang beradu dengan lantai koridor menjadi satu-satunya bunyi yang menemani pikiranku yang kusut. Udara dingin menyelinap melalui celah-celah gedung, namun hatiku justru terasa lebih dingin daripada itu.
Kenapa sikap Pak Ariel begitu penting bagiku? Aku terus bertanya-tanya, mencoba mencari jawabannya di antara keheningan yang mencekam pikiranku. Mungkin aku tahu, tapi aku terlalu takut untuk mengakui jawabannya secara langsung.
Bukan hanya karena dia atasanku. Bukan hanya karena profesionalisme. Tapi karena aku tahu dia adalah Dwi—pria yang selama ini ada di pikiranku, pria yang tanpa sadar telah mengisi ruang kosong di hatiku sejak hari pertama aku bertemu dengannya di rumah sakit itu.
Sejak mengetahui kebenaran itu, semuanya terasa berbeda. Tidak lagi hanya kekaguman pada sosoknya sebagai pemimpin. Aku ingin menjadi lebih dari sekadar orang yang bekerja di bawah perintahnya. Aku ingin menjadi seseorang yang berarti baginya. Seseorang yang bisa dia andalkan, yang selalu ada saat dia merasa lelah, terluka, atau hancur.
Tapi sepertinya dia tidak memberiku ruang untuk itu. Sikap dinginnya, cara dia menghindari tatapanku, semua itu seperti dinding besar yang sengaja dia bangun. Dan aku… aku terlalu takut untuk menghancurkannya.
Angin sore menerpa wajahku saat aku melangkah keluar gedung. Rasanya seperti diingatkan bahwa aku hanya seorang gadis kecil yang berdiri di tepi jurang, melihat seseorang yang sangat aku sayangi berdiri di sisi lain. Aku ingin menjangkaunya, tapi jurang itu terlalu lebar. Dan aku takut, melangkah terlalu jauh justru akan membuatku jatuh ke dalam kegelapan yang tak berujung.
Aku hanya bisa berharap, suatu saat nanti dia akan menyadari, bahwa aku ada di sini. Bahwa aku ingin menjadi bagian dari hidupnya, bukan untuk mengganggu, tapi untuk menjaga. Karena perasaan ini… entah bagaimana, telah tumbuh begitu dalam, melampaui logika, melampaui kata-kata.
Kenapa sikap Pak Ariel bisa berubah seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa aku terlewatkan sesuatu yang penting?
***