POV Sherly
Aku berdiri di tepi rooftop itu, pandanganku kosong menatap langit yang semakin gelap. Angin yang tadi terasa menyejukkan kini seperti menusuk, membawa rasa dingin yang semakin mencekik dada. Semua yang baru saja terjadi masih terasa terlalu berat untuk aku tanggung. Juan… dengan pengakuan perasaannya yang tiba-tiba, begitu jujur dan tulus, itu benar-benar membuat kepalaku berputar. Aku tahu apa yang dia rasakan, tapi bagaimana mungkin aku memberikan jawaban yang tepat?
Hatiku masih penuh dengan perasaan untuk pak Ariel. Perasaan yang sudah begitu dalam dan kuat, yang belum selesai dan bahkan kini semakin berkembang. Bagaimana bisa aku mengatakan itu pada Juan? Bagaimana aku bisa memberikan jawaban yang bisa membuatnya merasa lebih baik, tanpa melukai perasaannya yang begitu rapuh? Aku tahu betul, bahwa jika aku mengatakan sesuatu yang salah, bahkan hanya kata yang sedikit terlontar tanpa pertimbangan, itu bisa berpengaruh besar pada dirinya. Juan yang sudah cukup terbebani dengan kecemasannya… Aku tidak ingin jadi orang yang menambah beban itu.
Aku mencoba menenangkan diriku, tapi rasanya semakin sulit. Suasana di sekitarku tiba-tiba terasa sangat sempit. Semakin aku berpikir, semakin banyak pertanyaan yang datang tanpa jawaban. Aku tahu perasaan untuk Juan tidak lebih dari teman. Tidak ada yang lebih. Tapi dia… dia berbeda. Ketulusan dan keberaniannya mengungkapkan perasaan, membuatku tak bisa begitu saja memberikan jawaban yang langsung. Karena saat itu, aku tahu aku belum siap. Kata-kata itu harus aku pilih dengan sangat hati-hati, agar tidak ada yang salah, agar dia bisa menerima kenyataannya dengan baik, meski aku tahu itu tidak mudah. Aku butuh waktu, waktu untuk merangkai kata-kata yang bisa memberinya penjelasan tanpa menyakitinya lebih dalam.
Kenapa ini terjadi sekarang? Kenapa aku harus terjebak dalam perasaan yang datang begitu cepat dan begitu rumit? Aku tidak ingin melukai Juan. Aku tahu dia sudah cukup banyak melalui hal yang berat, terutama dengan kecemasannya. Aku tidak ingin menjadi salah satu penyebabnya. Tapi di sisi lain, aku juga tidak bisa berbohong pada perasaanku sendiri.
Aku menoleh perlahan ke tempat di mana aku dan pak Ariel pernah duduk, di meja yang sama, di rooftop ini. Kenangan itu datang dengan begitu jelas. Pak Ariel, yang cemas saat alerginya kambuh, yang begitu perhatian meskipun tampaknya selalu berusaha menyembunyikan kelemahannya. Pak Ariel, atau Dwi, yang telah masuk ke dalam kehidupanku dengan cara yang tak terduga. Perasaanku kepadanya… itu jauh lebih dari sekadar kenangan. Itu adalah perasaan yang hidup, yang terus berkembang.
Air mataku jatuh tanpa bisa kubendung lagi. Kenangan itu, perasaan itu, terasa begitu tajam, seperti pisau yang mengiris hatiku. Mengapa perasaan ini begitu rumit? Mengapa aku merasa terjebak di antara dua dunia yang saling bertentangan? Aku ingin menenangkan diri, tapi rasanya dunia ini terlalu berat untuk dipikul sendirian.
Juan… dia berhak tahu kebenarannya, tapi bukan sekarang. Aku belum siap untuk menjawab dengan jujur. Aku tidak ingin menyakitinya, aku hanya ingin memberinya jawaban yang bisa dia terima. Tapi untuk itu, aku butuh waktu. Aku butuh waktu untuk mengumpulkan diri, untuk memastikan kata-kata yang tepat, agar aku bisa menjelaskan semuanya tanpa menghancurkan hatinya.
Tapi saat itu, aku hanya merasa rapuh. Begitu rapuh, seperti aku tak sanggup menahan semuanya. Aku ingin menangis, tapi yang lebih aku inginkan adalah ketenangan, sebuah ruang untuk berpikir. Semua kenangan dengan pak Ariel, dan perasaan yang aku coba sembunyikan untuk Juan… semuanya berputar di dalam kepalaku, saling bersaing untuk mendapatkan perhatian.
Aku menutup mataku, mencoba menenangkan diri. Tapi air mataku terus mengalir. Aku ingin menenangkan hatiku, tapi saat itu rasanya aku benar-benar sendirian. Aku tidak tahu bagaimana harus menjawab Juan, dan aku merasa seperti terjebak di antara dua dunia, dua perasaan yang tak bisa kuberikan ruang yang sama.
Aku hanya ingin waktu untuk diri sendiri. Waktu untuk memahami semuanya. Karena saat itu, aku tahu—aku tak bisa memberikan jawaban sekarang. Aku tak bisa.
***
POV Juan
Langkahku terasa berat saat keluar dari lift, tapi bukan karena lelah fisik—ini semua ada di kepalaku. Percakapan di rooftop tadi masih berputar-putar, menyiksa seperti putaran rekaman yang tak pernah selesai. Sherly... Apa sebenarnya yang ada di pikiranmu? Aku tahu aku tidak salah menyampaikan perasaanku, tapi responsmu... atau lebih tepatnya, ketidakhadiran respons itu, membuat segalanya semakin kacau.
Mataku secara tak sengaja menangkap sosok yang berjalan dari ujung koridor. Pak Ariel. Sosok itu berdiri tenang dengan map di tangannya, matanya yang hazel segera menyadari keberadaanku. Dadaku bergejolak. Ada sesuatu yang mendidih di dalam diriku. Ini dia. Ini orangnya. Pria yang selalu ada di dekat Sherly, yang entah kenapa selalu membuatku merasa seperti bayangan kecil yang tak berarti. Aku tahu dia dihormati di perusahaan ini, aku tahu dia orang penting. Tapi sekarang, aku tidak peduli.
Langkahnya mendekat, tenang dan penuh kontrol, seperti biasa. Sementara itu, aku merasa seperti bom waktu yang tinggal hitungan detik sebelum meledak. Langkahku melambat ketika aku semakin dekat, tapi tidak berhenti sepenuhnya. Hingga akhirnya, aku berdiri tepat di depannya, di tengah koridor. Dia juga berhenti, beberapa meter dariku. Matanya yang tenang bertemu dengan tatapanku yang penuh bara. Tubuhku sedikit condong ke depan, seperti gravitasi emosiku yang menarikku lebih dekat. Tangan kananku mengepal begitu erat hingga buku-buku jariku memutih. Aku tak bisa menahan diri.
Tanpa berpikir panjang, aku mengambil napas pendek, seperti upaya terakhir untuk menenangkan diriku yang hampir kehilangan kendali. Tapi itu sia-sia. Kata-kataku keluar lebih cepat dari yang kupikirkan.
"Pak," suaraku terdengar lebih kasar daripada yang kubayangkan. Aku tidak peduli lagi. "Saya tahu Anda punya pengaruh besar terhadap Sherly. Tapi saya ingin Anda tahu… saya mencintainya. Dan saya tidak akan menyerah untuk membuatnya memilih saya."
Suaraku pecah sedikit di akhir, tapi aku tak peduli. Aku berdiri tegak, menatap langsung ke matanya, berharap kata-kataku bisa menyentuh sesuatu di dalam dirinya—entah itu perasaan bersalah atau apa pun yang selama ini dia sembunyikan.
Tanganku yang mengepal refleks sedikit terangkat, lalu turun lagi, seperti aku menahan dorongan untuk membuat gerakan yang lebih agresif. Nafasku memburu, tapi aku tetap berdiri di sana, menatapnya, menunggu responsnya.
Aku melihat mata hazelnya lebih dekat sekarang. Ada sesuatu yang sulit kuterjemahkan—tenang, tapi seperti menyimpan sesuatu di bawah permukaannya. Dia tidak langsung menjawab. Matanya bergerak sedikit ke arahku, lalu ke lantai, sebelum kembali lagi. Bibirnya tertutup rapat, hanya ada gerakan kecil di sudutnya, seperti dia sedang berpikir keras. Tangannya menggenggam map cokelat yang sejak tadi ada di sisinya, tapi sekarang jari-jarinya mengetuk permukaan map itu, pelan tapi konsisten, seperti jarum jam berdetak.
Dia akhirnya berbicara. Sederhana, datar, tapi setiap kata seperti menamparku dengan dingin. "Itu bukan urusan saya, Juan. Kalau memang Sherly yang Anda perjuangkan, buktikan kepada dia, bukan kepada saya."
Tanpa menunggu jawabanku, dia mulai melangkah. Tidak terburu-buru, tidak lambat. Punggungnya tetap tegak, seolah tidak ada yang berubah. Tapi sebelum berbalik sepenuhnya, aku melihatnya berhenti sesaat, matanya melirik ke arah map yang digenggamnya, lalu ke lantai. Hanya sepersekian detik. Seperti dia memikirkan sesuatu yang tidak dia ucapkan.
Dia tidak peduli. Dia tidak terganggu.
Pikiranku memukul-mukul sisi dalam kepalaku, semakin keras seiring detik berlalu. Tangan kananku mengepal erat, kukuku nyaris menusuk telapak tanganku. Aku memalingkan wajah ke jendela besar di koridor itu, menatap kosong ke arah kota yang mulai gelap.
Aku tidak akan menyerah. Aku tidak akan kalah darimu, Pak Ariel.
Tapi bahkan saat pikiranku berteriak seperti itu, ada suara kecil yang mengganggu dari dasar hatiku—suara yang bertanya, apakah aku sebenarnya sedang berperang melawan orang yang salah?
***