POV Juan
Angin semilir di rooftop itu biasanya menenangkan, tapi sore ini, hembusannya terasa seperti ombak yang menggulung pikiranku. Aku duduk di salah satu meja kayu di bawah payung besar, namun bayangannya tidak cukup untuk meneduhkan rasa gelisah yang bergejolak di dadaku. Sherly duduk di seberang, menatapku lurus dengan ekspresi yang sulit ditebak. Dia menunggu, sementara aku... aku mencoba mencari kata-kata yang sudah kuhafal berkali-kali sejak pagi, tapi tetap saja terasa berantakan di ujung lidahku.
Mataku melirik pemandangan di luar. Gedung-gedung tinggi berdiri kokoh, memantulkan warna keemasan matahari yang mulai tenggelam. Mereka tampak begitu tak tergoyahkan, kontras dengan pikiranku yang seperti kapal di tengah badai. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, sebelum akhirnya memaksa diriku menatap matanya.
Aku menatap Sherly, dan seluruh dunia terasa berputar. Suara di sekitar kami menghilang, seolah hanya ada kami berdua di ruang hampa. Jantungku berdegup keras, setiap detakannya terdengar begitu jelas di telingaku, begitu menggetarkan. Aku tahu ini saat yang krusial. Saat di mana semuanya bisa berakhir dengan kehancuran atau… mungkin ada harapan.
"Aku… merasa…" Suaraku terhenti, bibirku bergetar. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ini bukan kalimat yang mudah. Aku tahu itu. "Sherly, perasaan ini… bukan rasa yang biasa."
Sherly tetap diam, tatapannya terpaku padaku, namun matanya tampak sedikit bingung. Apa dia mendengarkan? Apa dia mengerti? Aku berharap ia mengerti, berharap ia bisa merasakan sekuat ini. Tapi kenapa matanya malah mulai melunak? Apa dia ingin mengatakan sesuatu? Atau... tidak ada harapan sama sekali?
Harusnya aku tidak bilang ini. Kenapa sekarang? Kenapa dia tidak bicara? Jangan berhenti, Juan. Kau sudah sampai sejauh ini. Jangan biarkan semuanya sia-sia.
Aku menelan ludah, napasku terasa sesak. Rasa cemas menyeruak, menguasai setiap sisi tubuhku. Aku ingin berteriak, tapi suaraku terasa tertahan. Kenapa ini terasa seperti beban yang terlalu berat? Aku mengangkat kepalaku lagi, berusaha bertemu mata Sherly, dan berkata dengan suara yang mulai bergetar.
"Aku… mencintaimu."
Kata-kata itu keluar lebih keras dari yang aku duga. Aku ingin menariknya kembali, tapi itu sudah terlambat. Semua yang ada di dalam diriku, semua ketakutan dan harapan, keluar begitu saja. Aku merasakan udara di sekitarku semakin berat. Sherly tidak mengatakan apa-apa. Tidak ada respons. Hanya hening, dan itu lebih menusuk dari apapun yang bisa ku bayangkan.
Dia tidak berkata apa-apa. Mungkin itu berarti tidak ada harapan. Mungkin aku sudah membuat kesalahan besar. Tapi mengapa aku merasa begitu kosong? Kenapa rasanya seperti aku baru saja merobek sesuatu yang tak bisa diperbaiki lagi?
Sherly memalingkan wajahnya, menatap langit. Langit yang semakin redup, seolah menyembunyikan segala rasa cemas yang mulai melanda diriku. Ini tidak baik. Ini salah. Aku tahu dia tidak akan merasa sama. Kenapa aku bahkan berharap?
Mataku mulai terasa panas, tapi aku menahannya. Aku tidak bisa kalah di sini. Tidak boleh. Aku harus tahu jawabannya. Aku harus mendengarnya. "Sherly…" suaraku hampir hilang. Aku mencoba lagi. "Sherly, jawab aku…"
Dia tidak menoleh. Hanya diam, seolah jauh di dalam pikirannya. Aku merasa seperti dinding yang tinggi menjulang antara kami, tak ada cara untuk memecahkannya.
"Aku… aku minta maaf jika kata-kataku menyinggung perasaanmu," kataku dengan suara yang semakin rapuh. "Aku tidak—"
"Tinggalkan aku, Juan!" Suaranya terdengar bergetar, memotong kalimatku. Ada desakan yang terasa dalam kata-katanya, seperti angin yang berhembus kencang, tak memberi ruang untuk apa pun selain kesunyian yang tiba-tiba menghantam.
Sherly berbalik dan berjalan menuju tepi rooftop, langkahnya cepat, seperti ingin menjauh dariku, dari semua yang baru saja aku ungkapkan. Aku hanya bisa menatapnya, hati berdebar semakin kencang. Kenapa dia pergi? Apa yang aku lakukan salah? Semua pertanyaan itu menghantui pikiranku, tapi aku tak bisa bergerak.
Aku berjalan mendekatinya, beberapa langkah di belakang. "Sherly… tunggu," kataku, suara terputus-putus. "Aku… hanya ingin tahu, apakah… apakah ini bisa dimengerti? Apa yang aku katakan… apakah bisa—"
Sherly tidak menjawab, hanya berdiri di sana, memandangi langit yang semakin gelap. Aku bisa melihat bahunya yang terangkat, seperti dia berusaha menahan sesuatu yang begitu berat. Aku tahu dia mendengarkan, tapi kenapa dia tidak mengatakan apa-apa?
"Sherly…" Aku memanggilnya lagi, lebih lembut kali ini, berharap dia akan berbalik. Aku ingin mendengar jawabannya, apapun itu. Aku tidak bisa berdiri dalam kebingungannya, dalam rasa hampa ini.
Sherly berbalik sedikit, suaranya parau saat dia akhirnya berbicara. "Juan," katanya pelan, "Tinggalkan aku."
Suara itu menusuk hatiku. Tidak ada kata-kata lain yang keluar dari bibirnya. Hanya permintaan itu, yang membuat seluruh dunia terasa gelap.
Aku terdiam, merasa seolah semuanya runtuh begitu saja. "Sherly, aku hanya ingin kamu tahu… apa yang aku rasakan. Aku tak bisa memendamnya lebih lama lagi. Tolong… tolong jangan seperti ini."
Tapi Sherly tetap berdiri di sana, tak bergerak, menatap langit dengan wajah yang tak bisa ku baca. Aku merasa begitu kecil di hadapannya. "Tinggalkan aku, Juan," suaranya kali ini lebih keras, ada ketegasan yang bahkan membuatku merasa takut.
Suaranya, meski bergetar, terasa tegas. Seperti palu yang menghantam keras pintu keberanian terakhirku. Tidak ada ruang untuk kembali, tidak ada celah untuk berharap.
Aku terdiam lagi, tapi kali ini karena tidak tahu harus berkata apa. Pikiranku kosong, dadaku terasa sesak. Aku tidak bergerak, berharap dia akan mengatakan sesuatu lagi. Memberikan penjelasan. Apa saja. Tapi dia hanya diam, tetap memandangi langit.
Beberapa menit berlalu, dan aku sadar aku tidak akan mendapatkan apa-apa. Dia tidak perlu berkata apa-apa. Punggungnya yang kaku dan sikapnya yang membisu sudah cukup menjelaskan bahwa aku tidak diinginkan di dunia ini... setidaknya bukan di dunianya. Aku meninggalkan rooftop itu dengan langkah berat. Di belakangku, ada seseorang yang mungkin tidak akan pernah kumiliki, dan di depanku, hanya ada kekosongan yang tak mampu kuisi sendiri. Hati ini kacau, seperti dihantam ribuan gelombang yang tidak memberiku ruang untuk bernapas.
Aku kalah. Bahkan sebelum aku benar-benar bisa bertarung.
Aku berjalan mundur, langkahku terasa semakin berat, seperti beban dunia ada di pundakku. Setiap langkah terasa lebih lambat dari sebelumnya, setiap jejak kakiku di atas dek kayu itu mengingatkanku pada betapa jauh aku sudah berusaha, betapa besar perasaan yang telah aku ungkapkan. Namun, di sini aku berdiri, kosong. Semua yang ada di sekitar ku seakan tak pernah benar-benar ada.
Langit yang sebelumnya cerah kini telah sepenuhnya redup, seakan juga ikut merasakan kesedihanku. Awan-awan gelap semakin menggulung, menutupi matahari yang tinggal meninggalkan jejak terakhirnya. Aku berhenti sejenak, menatap langit yang gelap itu. Mungkin, langit tahu lebih banyak daripada aku. Mungkin langit sudah lama mengerti bahwa ini memang tak akan pernah menjadi milikku.
Kenapa aku merasa seolah baru saja kehilangan sesuatu yang tak pernah aku miliki?
Pikiran itu datang tanpa diundang. Aku menunduk, tak bisa memandang apa pun lagi selain langkah-langkahku yang terasa semakin berat. Sherly—gadis yang selama ini membuat jantungku berdebar, yang aku pikir akan menjadi masa depanku—sekarang sudah begitu jauh dari jangkauanku.
Aku tahu dia tidak salah. Aku tahu bahwa dalam setiap perasaan yang dia sembunyikan, ada luka yang tak bisa dia buka begitu saja. Tapi kenapa aku merasa begitu sepi? Bukankah aku sudah melakukan apa yang seharusnya? Kenapa cinta yang aku rasakan justru membuat semuanya terasa lebih kosong?
Langkahku semakin terhenti, aku berbalik untuk sekali lagi menatap ke arah rooftop, ke arah Sherly yang masih berdiri di sana, seakan menunggu aku menghilang. Tapi dia tak bergerak. Di sanalah dia, tetap di tempatnya, sementara aku—aku yang baru saja menyatakan segala perasaan ini—terus melangkah pergi.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mencerna semua ini. Di dalam dada, ada rasa kesal, ada rasa hampa, ada juga perasaan yang tak bisa ku jelaskan—sesuatu yang lebih pedih daripada kecewa.
Tapi saat aku melangkah turun, saat aku menjauh dari rooftop itu, sebuah kesadaran baru mulai muncul. Aku akan selalu ingat ini. Ini adalah titik yang akan membentukku, titik yang akan membuatku belajar lebih banyak tentang diriku dan tentang bagaimana hidup berjalan.
Aku tak pernah tahu seberapa banyak hal yang bisa kuterima. Tak pernah tahu seberapa besar keberanian yang bisa kumiliki, dan sekarang aku sadar—aku belum cukup berani. Keberanianku baru separuh jalan. Aku merasa hancur, tapi aku tahu aku harus berdiri dan melanjutkan langkahku. Aku tidak bisa berhenti.
Dan mungkin, suatu hari nanti, aku akan mengerti kenapa semua ini harus terjadi. Kenapa harus ada jarak yang begitu besar antara aku dan Sherly.
Aku berjalan menjauh, langkahku semakin kecil, sementara angin mengusir segala kepenatan dari tubuhku, seolah juga ingin melepaskan segala yang tak bisa lagi dipertahankan.
***