Saat Kata Harus Terucap

POV Juan

Sore ini, aku akan melakukannya. Aku sudah tidak bisa lagi menunda. Jika terus menunggu, Sherly pasti sudah kembali berada di sisi Pak Ariel—seperti biasanya. Rasanya seperti memegang pasir yang terus merembes di antara jari-jari, semakin lama semakin habis. Aku tahu, jika aku tidak mencoba sekarang, aku tidak akan pernah punya kesempatan lagi.

Pandanganku jatuh pada jaket hitam yang tergantung di kursi kerjaku. Jaket itu… aku masih ingat bagaimana aku melepasnya untuk Sherly pada hari pertama kami bertemu. Ia baru saja menumpahkan mie di baju dan hijabnya. Saat itu, ia tampak begitu gugup, berusaha membersihkan noda dengan tisu, hingga aku reflek menawarkan jaket itu untuk menutupi noda di bajunya.

Aku tidak pernah menganggap momen itu sebagai hal besar—sampai hari ini. Kini, setiap kali aku melihat jaket itu, aku teringat wajah Sherly yang tersenyum padaku saat berkata, "Terima kasih, Juan." Sederhana, tapi ada sesuatu yang membuat dadaku terasa hangat setiap kali mengingatnya.

Aku menyentuh jaket itu, membayangkan kembali pertemuan pertama kami. Apa yang membuatku yakin saat itu bukanlah hanya karena Sherly tampak cantik dan sederhana, tapi karena ia terasa… nyata. Tidak ada kepalsuan, tidak ada basa-basi berlebihan. Itu adalah Sherly yang membuatku ingin mengenalnya lebih jauh.

Aku sudah memikirkan tempatnya. Taman kecil di lantai paling atas kantor, rooftop yang jarang dikunjungi orang. Ada rumor bahwa tempat itu hanya untuk para petinggi perusahaan, tapi aku tahu itu tidak benar. Aku pernah ke sana beberapa kali, hanya untuk mencari udara segar saat pikiranku terasa terlalu penuh. Tempat itu sepi, tapi tetap terasa hangat dengan cahaya sore yang memantul di kaca-kaca gedung di sekitarnya.

Sherly suka tempat-tempat seperti itu, aku yakin. Tenang, sederhana, tapi tetap indah. Aku membayangkan ia berdiri di sana, dikelilingi angin sore, rambutnya yang tertutup kerudung melambai lembut, dan sorot matanya yang selalu terlihat teduh. Sore ini, aku ingin melihatnya di sana, mendengar suaranya, dan akhirnya mengatakan apa yang sudah lama kupendam.

Aku melatih kalimat yang ingin kusampaikan, meskipun lidahku terasa kelu hanya dengan memikirkannya. Aku tahu ini akan sulit, tapi aku juga tahu aku tidak bisa terus begini—hidup dalam bayang-bayang ketakutan.

"Sherly, aku ingin bicara. Ada sesuatu yang harus kamu tahu. Aku menyukaimu. Lebih dari sekadar teman. Aku ingin kita mencoba sesuatu yang lebih."

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku sendiri. Tangan kananku masih menyentuh jaket itu, seolah mencari keberanian yang tersisa. Jaket itu mungkin hanya benda biasa, tapi bagiku, itu adalah pengingat tentang awal semuanya. Tentang momen kecil yang mengubah cara pandangku pada Sherly.

Aku menggenggam tangan kananku yang terasa sedikit berkeringat. Jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya, seperti melawan logika yang terus mencoba meredam keberanianku. Aku tahu aku hanya seorang staf IT biasa, sedangkan Pak Ariel… dia segalanya yang bisa Sherly impikan. Tapi aku juga tahu, aku harus mencoba.

Ketika jam menunjukkan pukul empat sore, aku akan mengajaknya ke sana, ke taman kecil itu. Aku akan melawan semua ketakutan dan keraguan yang menghantui pikiranku. Entah bagaimana pun reaksinya, aku harus tahu jawabannya. Karena aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ini, berharap tanpa kejelasan.

Sore ini, aku akan mengatakannya.

***

POV Sherly

Sore itu, suasana ruangan terasa lebih sunyi dari biasanya. Pak Ariel baru saja keluar, katanya dipanggil oleh direktur keuangan. Aku masih fokus menuntaskan laporan bulanan yang tadi pagi dikejar tenggatnya, saat ponselku tiba-tiba berdering. Nama Juan muncul di layar.

"Juan?" gumamku pelan, lebih pada diriku sendiri. Tumben sekali dia menelepon. Biasanya, dia langsung muncul di ruangan jika ada keperluan mendesak.

Tanpa pikir panjang, aku menggeser layar dan mengangkatnya.

"Halo, Juan?"

"Sher, bisakah kamu keluar sebentar? Aku perlu bicara," suara Juan terdengar serius, dengan nada yang… aneh. Tidak seperti biasanya.

Aku tertegun sejenak. "Sekarang? Di sini saja, atau…?"

"Keluar dari ruanganmu, aku tunggu di luar. Ada yang penting," jawabnya tegas, dengan penekanan pada kata terakhir.

Rasa aneh langsung menggelitik pikiranku. Penting? Sejak kapan Juan bicara seperti ini? Biasanya, semua hal penting hanya soal jaringan internet yang bermasalah atau komputer yang perlu diperbaiki.

Aku melirik meja Pak Ariel yang kosong, seolah-olah meminta izin secara refleks, walau aku tahu dia tidak ada di sana untuk menyahut. Kemudian, pandanganku beralih ke Ibu Risti yang sedang asyik membaca buku agendanya.

"Bu, saya keluar sebentar, ya. Juan butuh sesuatu," kataku.

"Oh, silakan," jawab Ibu Risti tanpa mengalihkan pandangan dari agendanya.

Ketika aku keluar dari ruangan, Juan sudah berdiri di sana, menungguku. Senyumnya merekah seperti biasa, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang… tidak biasa. Senyumnya terasa sedikit kaku, bahkan canggung, seolah-olah ada beban yang sedang ia coba sembunyikan.

Aku memperhatikan gerak-geriknya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, tapi jari-jarinya tampak bergerak gelisah, seperti sedang memainkan sesuatu yang tidak terlihat. Sesekali, matanya melirik ke arah kanan dan kiri, seperti memastikan bahwa tidak ada yang memperhatikan kami.

"Juan, ada apa?" tanyaku, mencoba memecahkan keheningan yang aneh ini.

Dia menarik napas panjang, terlalu panjang untuk seseorang yang biasanya begitu santai. "Sini," katanya akhirnya, sambil menganggukkan kepala ke arah lift. "Ikut aku ke rooftop. Ada yang harus aku bicarakan."

Aku mengernyit, merasa ada yang tidak beres. "Kenapa harus di rooftop? Kenapa nggak di sini saja?"

Juan terdiam sejenak, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan berat. "Karena... aku nggak tahu kapan aku punya keberanian lagi untuk ini. Dan aku juga nggak tahu kapan aku bisa bicara sama kamu tanpa ada orang lain di sekitar. Aku perlu waktu ini, sekarang."

Nada suaranya terdengar yakin, tapi bahasa tubuhnya justru berkata lain. Dia terus menggeser berat badannya dari satu kaki ke kaki lainnya, seolah-olah berdiri diam adalah tugas yang terlalu berat baginya saat ini. Pandangannya bahkan sempat teralihkan ke lantai sejenak, sebelum kembali menatapku dengan sorot mata yang tampak sedikit… gelisah.

Pernyataannya membuatku terpaku. Ada ketegasan dalam suaranya, tapi juga ketakutan yang sulit disembunyikan. Matanya bertemu dengan mataku, seolah meminta pengertian tanpa harus mengucapkan lebih banyak kata.

Aku mencoba mencerna apa yang baru saja ia katakan. Biasanya, Juan adalah orang yang spontan, tidak terlalu banyak berpikir sebelum bertindak. Tapi kali ini, ada perasaan mendesak dalam cara dia bicara, seolah-olah jika dia tidak melakukan ini sekarang, dia mungkin akan kehilangan kesempatan selamanya.

"Baiklah," jawabku akhirnya, mencoba untuk menenangkan kegelisahan yang kurasakan dari dirinya. "Tapi jangan lama, ya. Aku masih harus menyelesaikan laporan."

Dia mengangguk cepat, tampak lega sekaligus semakin tegang. "Terima kasih. Aku janji nggak akan lama," katanya, sambil memimpin langkah ke arah lift.

Saat aku melangkah di belakangnya menuju lift, pikiranku terus berusaha mengartikan perubahan sikap Juan. Biasanya dia penuh canda dan tak pernah terlihat sungguh-sungguh soal apapun, tapi kali ini... berbeda.

Di dalam lift, aku meliriknya sekilas. Dia berdiri dengan tangan di saku celana, pandangannya lurus ke depan. Tak ada senyum lebar atau komentar santai yang biasa dia lontarkan. Bahkan napasnya terdengar sedikit lebih cepat dari biasanya.

"Juan, kamu kenapa?" tanyaku akhirnya, mencoba mengusir kegelisahan yang mulai menjalari pikiranku.

Dia tak langsung menjawab. Ada jeda yang terlalu lama hingga aku mulai merasa pertanyaanku tak akan terjawab. Tapi tiba-tiba dia mendesah pelan, lalu mengangguk kecil, seakan berbicara pada dirinya sendiri.

"Aku sudah ingin bicara ini sejak lama," katanya akhirnya, suaranya rendah dan terdengar berat. "Tapi... aku terlalu pengecut."

Aku terkejut mendengar pengakuannya, tapi aku memilih diam, memberi ruang agar dia bisa melanjutkan.

"Entahlah," Juan menggelengkan kepala pelan. "Aku pikir aku akan kehilangan kesempatan kalau terus menunda. Jadi, ya... aku mencoba sekarang."

Perasaanku bercampur aduk. Apa maksudnya? Mengapa dia merasa perlu berbicara denganku, dan apa yang membuatnya begitu gugup?

Lift berbunyi saat kami sampai di lantai atas. Juan melangkah keluar lebih dulu, lalu berbalik dan menatapku. Kali ini, senyum tipisnya tampak lebih tulus, tapi di balik itu aku melihat sesuatu yang tidak biasa—ketegangan yang tersimpan rapi.

"Ayo, kita ke sana," katanya sambil menunjuk pintu menuju rooftop.

Aku mengikuti langkahnya dengan ragu, merasa bahwa percakapan ini lebih dari sekadar obrolan santai. Ada sesuatu yang ingin dia katakan, sesuatu yang sudah lama dia pendam.

***