POV Juan
Langkahku santai saat menuju mobil di parkiran. Hanya ingin mengambil map yang tertinggal, tak lebih. Tapi, entah kenapa mataku terpaku pada sebuah taksi online yang baru saja berhenti di depan gedung. Tak ada yang aneh, hanya sebuah mobil biasa, tetapi perasaan aneh tiba-tiba muncul. Aku memperlambat langkah, mataku mengamati tanpa alasan jelas.
Dan saat pintu belakang mobil terbuka, dunia seakan berhenti sejenak. Sherly keluar, dan di belakangnya... dia. Pak Ariel.
Melihat itu seluruh tubuhku terasa panas, seperti api yang menyala-nyala. Tapi ini bukan hanya tentang rasa marah atau cemburu. Tanganku mulai berkeringat, jantungku berdebar terlalu cepat, dan ada tekanan di dadaku yang sulit dijelaskan.
Namun di balik rasa panas itu, ada kepingan kenangan yang menyeruak, seperti serpihan kecil yang tiba-tiba melesak masuk ke dalam pikiranku, memperkuat alasan mengapa aku harus segera bertindak.
Aku masih ingat pertama kali bertemu dengannya. Saat itu, Sherly sedang berusaha membersihkan sisa tumpahan mie di bajunya dengan tisu. Wajahnya sedikit memerah karena malu, tapi aku justru melihatnya sebagai sosok yang cantik dan sederhana. Tanpa berusaha keras, Sherly berhasil menarik perhatianku hanya dengan gerak-geriknya yang polos. Dari saat itu, aku tahu dia berbeda.
Obrolan kami di panti asuhan juga masih segar dalam ingatan. Kami berbicara tentang masa kecil, mimpi, dan hal-hal sederhana lainnya, tapi aku merasa ada koneksi yang sulit dijelaskan. Itu bukan sekadar percakapan biasa—itu adalah saat di mana aku merasa benar-benar dipahami, sesuatu yang jarang terjadi dalam hidupku.
Namun, dari semua momen, saat Sherly datang ke rumahku ketika aku sakit adalah yang paling berkesan. Aku masih bisa membayangkan wajahnya yang khawatir saat itu. Dia tidak mengatakan banyak, tetapi kehadirannya sudah cukup untuk membuatku merasa diperhatikan. Di dunia di mana aku sering merasa sendirian, Sherly adalah satu-satunya orang yang membuatku merasa dipahami.
Dan yang terakhir, gelang resin itu. Aku memberikannya sebagai hadiah sederhana, dan Sherly menerimanya dengan senyum yang membuatku merasa istimewa. Sampai sekarang, dia masih memakainya, dan itu memberiku harapan. Bagiku, gelang itu adalah simbol bahwa aku tetap ada di hatinya, meskipun dia mungkin tidak menyadarinya.
Aku mengepalkan tangan, menggenggam keyakinan yang hampir pupus. Semua momen itu adalah bukti bahwa aku punya tempat di hidupnya. Pak Ariel mungkin terlihat seperti sosok yang sempurna, tapi aku tahu Sherly lebih nyaman denganku. Aku harus segera bertindak sebelum semuanya terlambat.
Aku mencoba mengalihkan pandangan, tapi mataku tetap tertuju pada Sherly. Kenapa aku begini? Kenapa setiap kali mereka bersama, rasanya seperti ada sesuatu yang mencabik-cabik di dalam diri ini?
Langkahku terhenti, tubuhku seakan membeku di tempat. Udara yang biasanya terasa ringan kini seperti berubah menjadi beban yang tak terlihat. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi malah semakin terasa sulit. Nafasku pendek-pendek, seperti orang yang baru saja berlari.
Lalu aku melihatnya tersenyum pada Pak Ariel.
Senyum itu kecil, mungkin nyaris tak kentara, tapi cukup untuk membuatku merasa seperti dihantam sesuatu yang lebih berat dari rasa sesak ini. Tanganku mengepal tanpa sadar, dan aku bisa merasakan kuku-kuku jari menekan telapak tanganku.
"Dia terlihat... nyaman," pikirku, tapi aku segera mengusir pikiran itu. Tidak, Sherly tidak bahagia di dekat Pak Ariel. Aku tahu itu. Aku melihatnya setiap hari. Dia sering terlihat tertekan, bahkan canggung saat bersamanya.
Tapi kenapa sekarang hatiku mengatakan hal yang berbeda? Kenapa ada keraguan yang mendadak merayap masuk?
Aku melangkah lagi, meski rasanya seperti menyeret beban berat. Mobilku tak jauh dari tempatku berdiri, tapi jalan menuju ke sana terasa seperti tak berujung. Aku akhirnya membuka pintu dan meraih map yang kucari, tapi tanganku gemetar. Aku harus menarik napas beberapa kali sebelum berhasil memegangnya dengan baik.
Sherly dan Pak Ariel masih berdiri di depan pintu masuk gedung. Mereka terlihat... cocok. Aku benci harus mengakui itu, meskipun hanya di pikiranku sendiri. Tapi benciku lebih besar pada fakta bahwa aku membiarkan diriku merasa lemah seperti ini.
Tubuhku terasa menegang, seperti ada bara api yang menyala di dadaku. Pikiranku mulai dipenuhi bisikan-bisikan yang saling bertentangan, memicu perang kecil di kepalaku.
Dia lebih pantas untuk Sherly.
Pak Ariel adalah manajer keuangan, seseorang yang dihormati, sukses, dan punya kedudukan tinggi di perusahaan ini. Sementara aku? Hanya seorang teknisi IT yang kadang dianggap remeh. Dalam hal status, aku bahkan tidak ada di liga yang sama dengannya.
Tapi Sherly tidak bahagia dengannya!
Itu selalu jadi pembelaanku setiap kali logikaku mencoba mengalahkan emosiku. Aku melihat Sherly hampir setiap hari, bagaimana ia tampak tegang di dekat pak Ariel. Mungkin pak Ariel hanya terlalu keras, terlalu menekan. Aku yakin, Sherly lebih nyaman denganku. Aku tahu dia lebih bebas menjadi dirinya sendiri saat kami bersama.
Kamu yakin?
Suara kecil di dalam kepalaku meragukan itu. Aku mengingat senyum Sherly tadi, senyum tipisnya saat dia melirik Ariel setelah keluar dari taksi. Apa itu senyum bahagia? Atau aku hanya terlalu memikirkannya?
Aku mengepalkan tangan, mencoba menekan pikiran itu. Tidak, itu pasti bukan karena dia bahagia. Itu hanya basa-basi. Sherly tidak mungkin benar-benar merasa nyaman dengannya.
Tapi ada lagi yang tidak bisa kupungkiri. Pak Ariel bukan hanya sukses, dia juga memiliki kedekatan yang tidak kumiliki. Mereka bekerja bersama setiap hari, duduk di ruangan yang sama. Sementara aku? Aku hanya bisa berharap untuk sesekali berbicara dengannya di koridor atau saat istirahat makan siang.
Jadi, kenapa kamu masih mencoba?
Itulah pertanyaan logis terakhir yang menghantamku. Kenapa aku harus melawan seseorang seperti pak Ariel? Apa aku tidak lelah mencoba menjangkau seseorang yang mungkin sudah ada di dunia yang berbeda dariku?
Tapi kemudian, emosiku meledak lagi. Karena aku mencintainya. Karena aku tahu aku bisa membuat Sherly lebih bahagia daripada Pak Ariel! Aku menggenggam keyakinan itu sekuat tenaga, meski logikaku terus memintaku menyerah.
Dia memakai gelang itu, bukan? Aku melirik pergelangan tangan Sherly yang dihiasi gelang resin pemberianku. Itu cukup bagiku. Itu adalah bukti kecil bahwa aku masih ada dalam pikirannya, meskipun hanya sedikit.
Ada sesuatu yang berbeda pada Sherly ketika dia bersama pak Ariel.
Aku ingin menyangkalnya, ingin berpura-pura bahwa itu hanya perasaanku saja. Tapi saat melihat mereka keluar dari taksi tadi, aku tidak bisa mengabaikannya. Cara Sherly menatap pak Ariel, meski hanya sejenak, berbeda dari caranya menatapku. Ada sesuatu yang lebih dalam di sana—sesuatu yang tidak pernah kudapatkan darinya.
Sherly selalu tampak seperti gadis sederhana yang penuh kebaikan. Tapi di dekat pak Ariel, dia terlihat... lebih. Lebih percaya diri. Lebih dewasa. Seperti versi terbaik dari dirinya yang tidak pernah kutemukan saat kami bersama.
Aku ingat dulu, saat kami berbicara di panti asuhan, dia berbagi tawa tanpa beban, dan aku pikir itu adalah Sherly yang paling hidup. Tapi sekarang, aku mulai ragu. Apa mungkin Pak Ariel yang telah membuat Sherly berubah? Apa dia yang membantunya tumbuh menjadi seperti ini?
Aku tidak mau percaya. Tidak mau menerima bahwa orang seperti pak Ariel—dengan segala kesempurnaannya yang membuatku muak—benar-benar memberikan sesuatu yang tidak bisa kuberikan.
Tapi bukankah itu kenyataannya?
Sherly lebih sering tersenyum di dekat pak Ariel. Bahkan saat dia terlihat lelah atau tertekan di kantor, entah bagaimana, satu-dua kata dari pak Ariel cukup untuk membuat matanya berbinar lagi. Itu tidak pernah terjadi saat aku yang mencoba menghiburnya.
Semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa kalah. Dan aku benci merasa seperti ini—terasingkan, bahkan dari seseorang yang begitu berarti bagiku.
Namun, aku menolak menyerah. Aku tidak bisa membiarkan pak Ariel terus mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku. Sherly mungkin belum menyadari, tapi aku lebih pantas untuknya. Aku yang akan selalu ada untuknya, bukan pak Ariel dengan semua dinding emosionalnya yang tebal itu.
Aku melihat mereka berjalan ke pintu masuk gedung, Sherly tertawa pelan mendengar sesuatu yang dikatakan pak Ariel. Tertawa. Tawa yang tidak pernah dia tunjukkan ketika aku di dekatnya belakangan ini.
Dadaku terasa semakin sesak, dan otakku seperti sedang mencoba mencari jawaban untuk pertanyaan yang tidak ingin kuajukan: Apa aku sudah terlambat?
Tidak, aku menepis pikiran itu. Aku belum terlambat.
Sherly hanya belum melihatku seperti dia melihat pak Ariel. Dan aku harus memastikan itu berubah.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Mungkin aku tidak punya posisi seperti pak Ariel. Mungkin aku tidak sehebat dia. Tapi aku punya satu hal yang pak Ariel tidak punya—aku siap bertarung untuk Sherly dengan segenap hatiku.
***