Di Ujung Keheningan

POV Sherly

Restoran itu terletak di sudut jalan yang tidak terlalu ramai, tempat yang cukup populer di kalangan pekerja kantoran untuk makan siang. Begitu pintu kaca yang sederhana terbuka, aroma makanan yang baru dimasak menyambut kami. Di dalam, suasana terasa hangat dan nyaman, dengan meja-meja kayu berwarna terang yang tidak terlalu besar, ditemani kursi-kursi berbahan kain yang nyaman. Lantai keramik berwarna abu-abu memberikan kesan sederhana namun bersih.

Pencahayaannya lembut, dengan lampu-lampu kecil yang menggantung dari langit-langit, cukup terang untuk membuat kami bisa melihat menu dengan jelas tanpa membuat suasana terasa terlalu terang. Musik latar yang terdengar hanya lagu-lagu ringan, tidak terlalu keras, cukup untuk menciptakan suasana tenang tanpa mengganggu percakapan. Tidak ada meja terlalu dekat satu sama lain, memberi kami sedikit ruang lebih untuk berbicara tanpa merasa terjebak dalam keramaian.

Restoran ini mengusung menu makanan yang praktis dan lezat—seperti nasi goreng seafood yang cukup populer, mie ayam dengan kuah yang gurih, dan sandwich isi daging panggang yang menjadi favorit para pelanggan setia. Pelayan-pelayan muda dengan seragam kasual bergerak sigap, menawarkan menu hari ini dengan senyum ramah yang membuat suasana terasa lebih santai.

Saat kami duduk, aku merasakan suasana yang lebih rileks dibandingkan dengan suasana formal di kantor. Tentu saja, ini bukan tempat yang mewah atau romantis, tapi lebih ke tempat sederhana yang nyaman untuk makan siang dan berbincang tanpa gangguan. Sebuah tempat yang mengundang percakapan ringan di tengah kesibukan kerja.

Aku melirik angka yang tertera di meja kami—nomor 2. Angka itu terasa seolah mewakili kami berdua, sepasang individu yang sedang terhubung dalam suasana aneh antara kehangatan dan kecanggungan.

Setelah memesan makanan, aku mencoba meredam gemuruh di dalam hatiku. Namun, setiap kali aku menatap pak Ariel, perasaanku seperti tak bisa diam. Aku mengamati pak Ariel yang tengah melepas kacamatanya, gerakannya lambat dan hati-hati, seolah ia sedang memijat pelipisnya dengan perlahan untuk meredakan ketegangan. Ada sesuatu dalam diri pak Ariel yang selalu membuatku khawatir, meskipun aku berusaha untuk tidak terlalu menunjukkan perasaan itu. Namun, kali ini, kekhawatiranku akhirnya memuncak. Aku tak bisa menahannya lagi. "Bapak baik-baik saja? Bapak terlihat pucat dan lelah," tanyaku, suaraku lebih lembut dari biasanya, namun tak bisa menyembunyikan kecemasanku.

Pak Ariel mendongak, matanya terkejut sejenak mendengar pertanyaanku. Ia segera mengenakan kembali kacamatanya, tersenyum tipis, seakan mencoba menenangkan aku. "Hanya mata yang tegang karena pakai kacamata terlalu lama. Tidak perlu khawatir. Ini sudah biasa," ujarnya, nada suaranya terdengar datar, seperti yang biasa dia lakukan saat menanggapi kekhawatiranku.

Aku ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi pak Ariel seolah bisa membaca pikiranku. Ia menghentikan kata-kataku dengan pandangannya—lembut, namun tegas. "Sherly," katanya, suaranya rendah, hampir seperti bisikan, "apapun yang ada pada diri saya—pucat, lelah, alergi—semuanya adalah bagian dari diri ini. Saya sudah terbiasa, dan kamu juga tidak perlu mencemaskannya."

Kata-katanya seperti sebuah pengingat yang membuatku terdiam. Aku menggigit bibirku, merasakan rasa bersalah yang tiba-tiba datang begitu saja. Aku tahu ia benar. Ia sudah terbiasa dengan semua itu, dan mungkin aku yang berlebihan. Namun, sebelum aku bisa mengatakan apapun, pak Ariel mengulurkan tangannya, mengambil gelas air yang terletak di depannya. Saat tangannya sedikit gemetar—aku tak tahu apakah itu karena kelelahan atau karena hal lain—ia berhenti sejenak, matanya bertemu mataku.

"Kalau saya terlihat lelah, mungkin karena... saya terlalu sering berpikir," tambahnya, kemudian ia mengangkat gelas itu dengan gerakan yang lebih tenang, seiring senyum yang semakin menghangat di wajahnya. "Tapi, terima kasih sudah peduli. Itu hal yang... tidak sering saya dapatkan."

Kata-katanya keluar hampir seperti gumaman, namun cukup jelas bagiku. Dadaku terasa hangat mendengarnya, meskipun aku tahu aku harus mulai berhenti terlalu mencemaskan kondisi pak Ariel. Itu bukanlah hal yang dia butuhkan. Tapi entah kenapa, mendengar kalimat terakhirnya membuatku merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik sikapnya yang selalu menutupi perasaan. Itu bukan hanya sekadar percakapan biasa. Ada lapisan makna yang tersirat di dalamnya, dan aku merasa sedikit lebih dekat dengan kenyataan yang selama ini kupendam dalam hati.

Aku menundukkan kepala, meresapi kata-kata pak Ariel yang tadi menggetarkan hatiku. "Jujur, saya nggak nyaman kalau harus selalu diingatkan tentang hal-hal seperti itu." Suara pak Ariel terdengar lebih berat dari biasanya, seperti ada beban yang tak ingin dia bagikan. Aku tahu, pak Ariel bukan orang yang suka menunjukkan kelemahan. Aku mengangkat wajahku, berusaha untuk menenangkan hatiku yang masih berdegup kencang, dan memaksakan senyuman.

Tapi senyum itu, meskipun terlihat seperti kebiasaan, kali ini terasa berbeda. Senyumku kali ini bukan hanya untuk menutupi kecemasanku, tapi juga untuk memberi tahu pak Ariel bahwa aku mulai memahami dia lebih dalam. Aku bukan lagi hanya sekadar wanita yang merasa iba padanya. Aku ingin menjadi bagian dari kekuatannya, bukan kelemahannya.

Aku mengingat kembali momen-momen kami sebelumnya, saat aku menyadari betapa besar usaha yang pak Ariel lakukan untuk tetap terlihat tegar. Saat dia harus menahan rasa sakit atau kelelahan, dan tetap bertahan meski tubuhnya jelas menunjukkan tanda-tanda yang tidak bisa diabaikan. Aku ingat betul bagaimana dia selalu menutupi cemasnya dengan senyum tipis, menyembunyikan segalanya dalam diam.

Dulu, aku sering merasa khawatir, bahkan merasa kasihan. Tapi sekarang, setelah mendengar kata-katanya tadi, aku sadar bahwa rasa kasihan itu justru tidak membantu. Pak Ariel tidak membutuhkan itu. Dia hanya butuh seseorang yang percaya padanya, yang ada di sampingnya tanpa memperlakukan dia seperti orang yang rapuh.

"Pak Ariel," aku memulai, dan kali ini suaraku terasa lebih yakin, lebih lembut. "Maaf kalau tadi saya terlalu cemas. Saya hanya... saya hanya ingin Bapak tahu kalau saya peduli. Tapi saya janji, saya akan lebih hati-hati dalam menunjukkan perhatian."

Dia menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat aku merasa lega. Pak Ariel mengangguk pelan. " Terima kasih sudah peduli," jawabnya, dan kali ini suaranya terdengar lebih santai, seperti beban yang sedikit berkurang.

POV Ariel

Aku memperhatikan Sherly yang duduk di hadapanku, pandangan gadis itu penuh perhatian meskipun sedikit canggung. Ia terlihat begitu peduli, sesuatu yang tak bisa kuhindari meskipun aku ingin sekali mengalihkan pembicaraan dari pertanyaannya tentang kondisiku—tentang tubuhku yang pucat dan lelah.

Dia terlalu peduli.

Tangan kananku menggenggam gelas air yang kini terasa lebih berat dari biasanya, jemariku mengetuk permukaan kaca dengan irama pelan. Perhatian Sherly selalu datang tanpa diminta, dan itu membuatku merasa sesuatu yang sulit untuk kujelaskan. Sebuah rasa hangat yang mengganggu pertahananku, membuatku merasa lebih rentan daripada yang seharusnya.

Namun, aku tahu lebih baik untuk menjaga jarak. Perhatian seperti itu, kalau dibiarkan, hanya akan membawa lebih banyak kekacauan—bukan hanya untukku, tetapi juga untuk Sherly. Aku menggigit sisi dalam pipiku, menahan dorongan untuk menjawab dengan jujur tentang keadaanku yang semakin sulit.

" Kalau saya terlihat lelah, mungkin karena... saya terlalu sering berpikir," kataku akhirnya, menyembunyikan emosiku di balik senyuman tipis. Itu kebohongan kecil yang sering kupakai—sebuah perisai untuk menutupi betapa rapuhnya aku sebenarnya.

Tapi saat pandangan kami bertemu, aku menangkap sesuatu dalam tatapannya. Ada ketulusan di sana, bukan sekadar rasa iba atau kewajiban. Sherly benar-benar peduli. Aku menelan ludah perlahan, mencoba menenangkan detak jantungku yang semakin tidak terkontrol.

Aku tidak bisa membiarkannya terlalu dekat. Pikiran itu berulang dalam benakku, seperti pengingat bahwa ada batas yang harus aku jaga. Sherly tidak perlu tahu segalanya tentang diriku—tentang bagaimana tubuhku kadang menyerah pada kelelahan yang tak tertahankan, atau bagaimana pikiranku terus dihantui oleh ketidakpastian masa depan.

"Terima kasih sudah peduli," ujarku pelan, suaraku hampir tenggelam dalam keramaian restoran. Aku tahu kalimat itu lebih bermakna dari yang ingin aku akui.

Sherly tersenyum dengan ragu, dan aku menahan napas sejenak. Senyum itu, yang tampaknya hanya senyuman biasa, sebenarnya cukup untuk menyalakan sesuatu yang hilang dalam diriku—sebuah cahaya kecil yang tidak seharusnya ada di tengah gelapnya kenyataan ini.

Aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela, berusaha untuk fokus pada apapun selain Sherly. Aku harus menjaga jarak. Bukan untukku, tetapi untuknya. Dia pantas mendapatkan lebih dari apa yang bisa aku berikan.

POV Sherly

Aku menatapnya, dan dalam hati aku berjanji—aku tidak akan berhenti peduli, tapi aku juga tidak akan membuatnya merasa tersudutkan dengan kepedulianku. Aku akan jadi orang yang bisa mendukungnya dengan cara yang benar. Bukan dengan rasa kasihan, tapi dengan kepercayaan dan kekuatan.

Mungkin ini awal baru untuk kita berdua. Sebuah langkah kecil menuju saling memahami, tanpa perlu banyak kata.

Sebelum suasana menjadi canggung, aku segera mengalihkan pembicaraan. "Restoran ini bagus, Pak Ariel. Kenapa Bapak pilih tempat ini?"

Pak Ariel tampak lega melihatku tersenyum. Dia mengangguk, matanya kembali lembut seperti biasa. "Iya, ini salah satu restoran favorit keluarga saya," katanya.

Aku mendengarkan ceritanya dengan penuh perhatian, mencoba menangkap setiap kata yang diucapkannya. Ada semacam kenyamanan dalam mendengar dia berbicara tentang keluarganya, tentang momen-momen sederhana yang berarti baginya.

Dalam hati, aku membuat janji kecil untuk diriku sendiri. Mulai saat ini, aku akan berusaha menjadi seseorang yang membuatnya bahagia. Seseorang yang, setidaknya untuk sesaat, bisa membuatnya lupa dengan beban yang dia pikul.

Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, aku merasa ringan. Mungkin ini awal yang tepat.

Saat kami duduk di meja bernomor "2", aku tak terlalu memikirkannya. Angka itu terasa sekadar penanda, tidak lebih dari sekadar nomor yang diletakkan di sudut meja. Namun, semakin lama aku duduk di sana, semakin aku merasakan ada makna tersembunyi di baliknya. Meja itu hanya ada dua kursi, seolah mewakili kami berdua—dua individu dengan dunia yang berbeda, tetapi sekarang terhubung dalam satu ruang, duduk berdampingan, meskipun terasa ada jarak yang tak terlihat.

Waktu terus bergulir, dan aku merasa semakin dalam dengan percakapan yang kami jalani. Setiap kata yang keluar dari mulut pak Ariel membuatku semakin ingin memahami dia, semakin ingin mendekat, tetapi aku juga tahu ada batasan yang tak bisa dilampaui begitu saja. Aku tidak bisa memaksakan perasaan yang mungkin tidak bisa dia terima. Namun, di meja ini, di ruang yang sama, ada kenyamanan yang perlahan menghapus kecanggungan yang sempat ada di awal. Meja ini, meskipun hanya terdiri dari dua kursi, mengingatkan aku bahwa ada ruang di antara kami yang masih perlu dijaga.

Ketika kami menyelesaikan makan siang dan aku bangun untuk pergi, mataku kembali tertuju pada nomor meja "2" itu. Ada perasaan yang aneh, perasaan yang belum bisa kusebutkan dengan jelas. Mungkin, kami memang dua individu yang sangat berbeda—dengan jalan hidup, perasaan, dan harapan yang kadang tak sejalan. Tapi siang ini, dalam sekejap, kami duduk bersama di meja yang sama, berbagi satu ruang, berbicara dengan cara yang bahkan aku tak pernah bayangkan sebelumnya.

Dan untuk pertama kalinya, aku mulai merasakan bahwa meskipun kami hanya dua orang yang datang dari dunia yang berbeda, kami sedang membangun sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan—sesuatu yang mungkin akan terus ada, meski masa depan kami masih penuh dengan ketidakpastian.

Aku meninggalkan restoran itu dengan langkah yang lebih ringan, meskipun hatiku masih diliputi banyak perasaan yang belum sepenuhnya kuketahui. Nomor meja "2" itu tetap terukir dalam pikiranku, menjadi simbol yang lebih dari sekadar angka: dua orang yang duduk bersama, belajar tentang satu sama lain, dan mungkin, dalam perjalanan waktu, akan menemukan makna dalam kebersamaan mereka.

***