Kata yang Tak Terucapkan

POV Sherly

Jam istirahat siang itu, kantor tetap sibuk seperti biasanya. Suara dering telepon dan dentingan keyboard membaur di udara. Aku masih tenggelam dalam layar komputer, mencoba menyelesaikan laporan yang sepertinya tak ada habisnya. Rasanya seperti aku sedang bersembunyi, padahal aku tahu betul bahwa tidak ada tempat untuk benar-benar menghilang dari tatapan pak Ariel di ruangan ini. Dan benar saja, suara beratnya memecah keheningan.

"Sherly," panggilnya, lembut tapi tegas. "Bekalnya mana hari ini?" tanyanya santai, tapi aku tahu ada kehangatan di balik nada dinginnya itu, seperti biasa.

Hatiku mencelos. Aku lupa. Aku benar-benar lupa membawa bekalnya. Tanganku langsung berhenti mengetik, dan aku memutar tubuhku dengan cepat, menatapnya dengan panik.

"M-maaf, Pak Ariel! Saya lupa bawa dari rumah!" kataku, berusaha menahan rasa bersalah yang jelas-jelas terpancar dari wajahku.

Mataku membelalak, mulutku sedikit terbuka. Sungguh, aku merasa seperti anak kecil yang baru saja ketahuan berbuat salah. Bagaimana bisa aku lupa? Hal kecil ini, yang setiap hari aku lakukan tanpa gagal, malah terlewat di hari seperti ini.

Di sudut ruangan, printer berbunyi pelan. Normalnya, suara itu tak berarti apa-apa. Tapi sekarang, rasanya seperti satu-satunya pengalihan yang sedikit mengurangi tekanan ini.

Pak Ariel hanya menatapku, dan aku tak bisa membaca ekspresinya. Tapi ada sesuatu di matanya yang membuatku merasa semakin kecil. Tanpa berpikir panjang, aku bangkit dari kursiku.

"Saya belikan makan siang, ya, Pak? Di kafetaria atau restoran terdekat—apa saja, biar saya yang urus!" ucapku cepat, berdiri dengan tergesa-gesa. Langkahku mendekat ke meja pak Ariel. Aku bahkan tak berani menatap matanya lagi. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang membuatku sulit bernapas.

Tapi Ariel malah tersenyum tipis. Senyum itu, seperti biasa, menyimpan sesuatu yang tidak terucapkan. Lalu, dengan nada santai namun terarah, dia berkata, "Tidak usah. Setelah sholat, kita makan di luar saja. Berdua."

Kalimat itu menusukku. Sebagian dari diriku ingin melompat kegirangan karena bisa menghabiskan waktu bersamanya. Tapi bagian lain, yang lebih besar, langsung mengerut, ketakutan. Aku tidak bisa. Aku belum siap untuk ini.

"Saya… saya rasa…" Aku mencoba mengumpulkan kata-kata, tapi lidahku kelu. Apa yang harus kukatakan? Ariel menatapku lagi, dan aku bisa merasakan ada sesuatu dalam tatapannya—sesuatu yang membuatku lemah.

Dia berbicara lagi sebelum aku sempat menolak. "Saya hanya ingin menepati janji," katanya, tenang.

Janji? Aku mengerutkan kening, mencoba memahami maksudnya.

"Kamu lupa?" lanjutnya. "Di panti asuhan dulu, waktu kamu berhasil menjatuhkan mangga itu. Saya bilang, kalau kamu berhasil menjatuhkannya lebih dari lima untuk saya, saya akan mentraktirmu. Sampai sekarang saya belum menepati janji itu."

Ingatan itu muncul, samar-samar tapi jelas sekaligus. Aku bahkan tidak yakin kalau aku mengingatnya sebelum dia mengatakannya. Dia mengingat hal kecil seperti itu? Jantungku berdetak lebih cepat, dan aku tidak tahu harus merasa tersanjung atau semakin gugup.

"Tapi—" Aku membuka mulutku, mencoba menyusun alasan untuk menolak, untuk menjaga jarak. Tapi pak Ariel memotongku lagi.

"Saya tidak ingin punya hutang di akhirat nanti," katanya dengan nada setengah bercanda. "Kalau saya belum mentraktir kamu sekarang, nanti saya harus cari kamu di sana hanya untuk menepati janji ini."

Kata-katanya... candaan itu... terasa seperti petir yang menyambar. Dada ini terasa sakit. Mengapa dia harus menyebut akhirat dengan nada ringan seperti itu?

Aku menatapnya. Wajahnya tenang, penuh harap, tapi entah kenapa, bagiku, ada sesuatu yang mengiris di balik ketenangan itu. Aku tidak sanggup menolak. Aku tidak sanggup membiarkan harapan di matanya itu sirna, tergantikan kekecewaan.

"Baiklah," jawabku akhirnya, meskipun hati ini terasa berat.

Pak Ariel tersenyum lagi. Senyum yang membuatku bingung antara ingin menangis atau tersenyum bersamanya. Aku tahu dia bahagia dengan jawaban itu, tapi aku juga tahu bahwa aku semakin tenggelam dalam perasaan yang belum bisa kucerna sepenuhnya.

***

Biasanya Pak Agus, akan siap menunggu di lobi. Tapi tadi Pak Ariel sempat menyebutkan kalau Pak Agus sedang keluar untuk mengantar beberapa tamu perusahaan kembali ke penginapan mereka. Itu artinya kami harus mencari transportasi lain, dan aku merasa canggung membayangkan hanya berdua dengannya di perjalanan.

Aku duduk diam di sebelah pak Ariel, mencoba fokus pada pemandangan jalanan yang berlalu di luar jendela taksi. Tapi kenyataannya, pikiranku tak berada di mana-mana. Setiap kali aku melirik ke arahnya, meski hanya sesaat, perasaan canggung yang terus membebani hatiku terasa semakin berat. Apa yang salah denganku? Mengapa aku tidak bisa bersikap seperti biasa di dekatnya?

Awalnya, perjalanan kami penuh dengan keheningan. Aku berharap itu akan terus seperti itu sampai kami tiba di restoran. Tapi tentu saja, pak Ariel tidak seperti itu. Dia mulai berbicara, mencoba mencairkan suasana. Suaranya terdengar tenang, seperti biasa, tapi ada nada tertentu di sana—nada yang membuat dadaku terasa sesak.

"Kamu senang makan siang di luar hari ini?" tanyanya.

Aku tersenyum kecil, berusaha sebaik mungkin untuk terlihat santai. "Iya, tentu saja," jawabku. Tapi senyumku terasa kaku, dan aku yakin pak Ariel bisa melihatnya. Aku tidak pandai menyembunyikan hal-hal seperti ini, terutama di depan dia.

Aku merasakan tatapannya, meski aku tak berani menoleh. Apa yang dia pikirkan? Kenapa dia begitu ingin tahu?

Dia menatapku sekilas, seperti sedang mencari sesuatu dalam ekspresiku. "Oh ya," lanjutnya tiba-tiba, nadanya agak berbeda, "Menurutmu, Juan itu orang seperti apa?"

Dunia seperti berhenti sejenak. Jantungku—aku bahkan tidak yakin apakah itu masih berdetak. Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diriku. Tapi tidak ada yang bisa mempersiapkanku untuk pertanyaan itu. Aku merasakan seluruh tubuhku menegang, seolah pertanyaan sederhana itu adalah jebakan yang tak terhindarkan.

Akhirnya, aku memberanikan diri untuk menatapnya. Mataku perlahan bertemu dengan matanya yang hazel di balik lensa kacamatanya. Di balik tatapan tenangnya, aku bisa melihat sesuatu yang lebih dalam. Rasa ingin tahu, atau mungkin... sesuatu yang lain. Kenapa dia menanyakan ini? Apa yang dia pikirkan? Apa yang dia ingin aku katakan?

Aku ingin menjawab dengan tatapanku saja. Aku ingin dia tahu bahwa pertanyaan itu bodoh. Juan? Bagaimana aku bisa memikirkan Juan ketika pikiranku dipenuhi olehnya? Tapi aku tidak bisa. Kata-kata itu tak pernah keluar.

Akhirnya, aku menunduk lagi, menatap jemariku yang tanpa sadar mengelus kukuku. "Dia cuma rekan kerja, tidak lebih," kataku, suaraku terdengar pelan tapi cukup jelas. Tidak ada yang perlu dijelaskan lebih jauh.

Pak Ariel tidak menanggapi. Dia hanya terdiam, dan aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Tapi aku merasa percakapan itu membawa beban yang lebih besar daripada yang aku sangka.

Taksi terus melaju, dan suasana di dalam terasa seperti tertahan. Aku berharap waktu bergerak lebih cepat, membawa kami ke restoran tujuan dan mengakhiri momen ini. Tapi di saat yang sama, aku merasa pak Ariel ingin menggali lebih jauh, meski dia memilih untuk tidak melakukannya.

Saat kami hampir tiba, aku mengangkat kepalaku sedikit, mencuri pandang ke arahnya. Dia terlihat tenang seperti biasa, tapi aku tahu itu tidak benar-benar seperti itu. Di balik wajahnya yang terkendali, aku bisa merasakan sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih rumit daripada yang bisa aku pahami saat ini.

Taksi berhenti dengan halus di depan restoran. Aku merapikan tas di pangkuanku, bersiap turun, ketika suara Ariel yang khas terdengar.

"Pastikan nggak ada yang ketinggalan, Sherly."

Aku menoleh ke arahnya. Nada suaranya santai, tapi kebiasaannya yang selalu hati-hati membuatku merasa ada sisi protektif dalam dirinya. Sebuah sisi yang selalu membuatku… hangat.

Namun, entah kenapa, saat itu pikiranku malah melayang ke kondisi kesehatannya. Perasaan khawatir yang biasanya kusimpan rapat-rapat tiba-tiba menyeruak. Aku seperti tak bisa menahan diri. "Pak Ariel… ada bawa obat Bapak, kan?"

Seketika suasana berubah. Pak Ariel menatapku dengan dahi berkerut, ekspresinya penuh tanda tanya. "Obat?"

Deg. Dadaku mencelos. Apa yang barusan aku katakan? Aku buru-buru menenangkan diriku, mencoba memutar otak secepat mungkin. Jangan sampai dia curiga. Jangan sampai dia tahu aku memikirkan lebih dari sekadar kesehatannya.

"Oh, maksudku… obat alergi Bapak," kataku akhirnya, mencoba terdengar santai. "Saya cuma khawatir kalau nanti makanannya ada yang nggak cocok sama Bapak."

Aku sendiri tak tahu bagaimana aku bisa berkata selancar itu. Namun, pak Ariel tampak mulai mengendurkan alisnya yang semula berkerut. Ekspresinya kembali tenang, bahkan sebuah senyum kecil muncul di bibirnya.

"Ah, itu." Pak Ariel mengangguk sambil meraih pouch hitam kecil dari sisi tempat duduknya. "Saya selalu bawa ini ke mana-mana."

Dia mengangkat pouch itu sedikit, memperlihatkannya padaku. Aku hanya menatap benda itu—sebuah pouch kecil yang sederhana, tapi penuh arti. Aku tahu di dalamnya ada lebih dari sekadar obat alergi. Ada obat-obatan lain yang selalu dia butuhkan, meskipun dia tidak pernah membicarakannya.

Melihat pouch itu, rasanya ada beban yang terangkat dari dadaku. Aku menarik napas lega, mencoba membalas senyumnya dengan senyuman yang, semoga, terlihat wajar. "Bagus kalau gitu, Pak," ujarku singkat.

Namun, saat aku turun dari taksi, pikiranku masih tertinggal di sana, bersama pak Ariel dan pouch hitamnya. Rasa lega itu bercampur dengan sesuatu yang sulit kugambarkan. Perasaan ini… apa karena aku terlalu memikirkannya? Atau ada sesuatu yang lebih dalam yang belum aku mengerti?

Yang jelas, aku tahu satu hal: aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja.

***