POV Sherly
Aku berdiri di depan pagar kecil rumah, menghirup udara pagi yang dingin namun menenangkan. Langit biru muda perlahan memerah di ufuk timur, menandai awal hari yang baru. Suara ayam berkokok terdengar samar dari kejauhan, bercampur dengan bunyi sayup sapu lidi yang diseret di depan rumah tetangga. Bau khas pagi, campuran embun dan aroma masakan dari dapur ibu, menyelinap ke hidungku.
Di depan, mobil Pak Ariel sudah terparkir rapi, mengkilap di bawah sinar matahari pagi yang mulai menanjak. Aku bisa mendengar samar suara mesin yang masih menyala, ritmenya lembut, hampir seperti bisikan.
Pagi itu terasa berbeda. Bukan karena udara yang lebih dingin dari biasanya atau keramaian pagi yang sedikit sunyi, tapi karena hatiku. Sesuatu di dalamnya seakan telah berubah, dan aku tahu apa penyebabnya.
Saat langkahku mendekati mobil Pak Ariel, rasa yang dulu pernah ada—debaran kecil, rasa kagum, atau entah apa yang menyerupai itu—telah berganti. Kini yang tersisa adalah rasa sakit, iba, dan sayang yang bercampur menjadi satu, seperti simpul kusut yang sulit diurai.
Kaca mobil depan terbuka, dan di sana dia, dengan senyuman khasnya yang selalu berwibawa. Senyuman yang seharusnya bisa membuat siapa saja merasa tenang. Tapi bagiku, senyuman itu kini terasa seperti sebuah tameng. Di baliknya, aku melihat hal yang lebih dalam, lebih nyata. Wajahnya. Pucat. Sekilas, terlalu pucat untuk seseorang yang seharusnya sehat.
Langkahku melambat, dan mataku terpaku pada sepasang mata hazel yang memandang ke arahku. Mata itu... seolah-olah menarikku kembali ke tiga tahun yang lalu. Aku ingat tatapan itu. Mata yang penuh dengan beban, rasa sakit yang tak pernah terucap. Ya Tuhan... ini mata yang sama, milik Dwi. Bukan hanya warna, tapi juga kesedihan yang ia sembunyikan di sana.
Dia menyapaku lagi, kali ini lebih jelas, membawaku kembali ke kenyataan. Aku berusaha membalas senyuman itu, tapi yang muncul di wajahku adalah senyuman getir. Aku tahu, dia pasti menyadari ada yang berbeda dariku pagi ini. Aku tidak pandai menyembunyikan perasaan.
Saat aku membuka pintu mobil dan duduk di kursi belakang. Suara mesin mobil yang stabil dan ritmis mengisi keheningan di antara kami. Aku duduk di kursi belakang, tubuhku bersandar, tetapi pikiranku melayang jauh. Sesekali, guncangan ringan terasa saat mobil melewati jalan yang tidak rata. Aroma lembut penyegar udara mobil—campuran wangi mint dan kayu manis—tercium samar, menenangkan tapi terasa asing bagiku hari itu. Udara di dalam mobil terasa sedikit berat bagiku, bukan karena kekurangan oksigen, melainkan karena perasaan tak nyaman yang perlahan merayapi diriku. Aku mencoba memecah keheningan dengan membenahi posisi dudukku, tetapi itu tidak cukup untuk menghalau pikiran-pikiranku.
Aku menangkap sekilas gerakan kepala pak Ariel yang sedikit menoleh ke arahku. Senyum khas pak Ariel tetap tergambar di wajahnya, tetapi aku menyadari sesuatu yang berbeda—kerutan halus di antara alisnya muncul sejenak, hampir seperti tanda tanya yang tak diucapkan.
"Kamu sudah merasa lebih baik?" tanya pak Ariel akhirnya, suaranya terdengar ringan seperti biasa, tapi aku merasa ada nada kehati-hatian di sana, seperti seseorang yang mencoba menyelami suasana hati lawan bicaranya tanpa terlalu memaksa.
Aku mengangguk kecil sambil tersenyum tipis, meski aku tak mampu menatap langsung ke mata pak Ariel. Dari cermin tengah, aku melihat pak Ariel melirik sekilas ke belakang, tatapan hazelnya tampak penuh perhatian, sebelum kembali memusatkan pandangannya ke jalan di depannya.
"Kalau masih kurang sehat, kamu bisa izin lagi," pak Ariel menambahkan, nadanya tulus, sementara tangannya bergerak ke arah dasbor, meraih botol air mineral yang tergeletak di sana. Gerakannya terlihat biasa saja, namun aku merasa ada ketenangan yang terpaksa ia bangun, seolah mengalihkan perhatian dari sesuatu yang lebih dalam. Pandanganku terpaku pada punggungnya. Pak Ariel duduk di sebelah Pak Agus, berbicara sesekali dengan nada tenang yang sudah sangat kukenal. Tapi aku tidak fokus pada kata-katanya.
Aku hanya bertanya dalam hati, "Seberapa lama kamu akan terus seperti ini, Pak Ariel?"
Dia begitu sempurna menutupi semuanya, seolah dunia ini hanya melihat sisi luar dirinya—pribadi yang tegas, berwibawa, dan tanpa cela. Tapi aku tahu, ada retakan yang tak terlihat, yang dia sembunyikan dari dunia.
Aku menggigit bibir, mencoba menahan rasa sesak yang tiba-tiba menyerang dadaku. Aku benci bagaimana dia masih bisa tersenyum seperti itu, meskipun aku tahu senyuman itu adalah caranya bertahan. Aku benci bagaimana dia memilih memikul semuanya sendirian.
Aku duduk diam, memandang punggung Pak Ariel dari kursi belakang. Ada sesuatu yang mencengkeram hatiku setiap kali melihat sosok itu sekarang. Dulu, senyumnya selalu menjadi penyemangat—hangat, tulus, dan seolah mampu menghapus segala rasa cemas. Tapi kini? Rasanya berbeda.
Bukan karena senyumnya berubah, aku meyakinkan diriku, tapi karena aku tahu apa yang tersembunyi di balik senyuman itu.
Pagi tadi, ketika beliau menyunggingkan senyuman khasnya, aku ingin membalasnya seperti biasa. Tapi senyumku terasa berat, getir. Ada sesuatu yang menahan hatiku untuk tidak sepenuhnya lepas. Di mataku, wajah beliau terlihat begitu pucat—sepucat Dwi.
Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Deretan pohon dan rumah-rumah kecil berlalu satu per satu, tapi pikiranku terus kembali ke pria di depanku. Bagaimana bisa seseorang yang menanggung begitu banyak beban masih bisa terlihat setenang itu?
Aku benci melihatnya tersenyum seperti itu. Senyum yang dulu memberikan rasa aman kini malah mematahkan hatiku. "Apa gunanya berpura-pura kuat kalau hanya menyakiti diri sendiri?" tanyaku dalam hati.
Punggungnya tetap tegak, sedikit condong ke depan saat berbicara dengan Pak Agus. Mungkin ia sedang memberikan arahan, seperti biasa. Tapi aku bisa melihat tanda-tanda kecil yang lain. Bahunya sedikit lebih tegang dari biasanya, dan senyumnya... meskipun masih terlihat wibawa, aku tahu itu tidak sepenuhnya tulus.
Sebagian diriku ingin memarahinya. Memintanya untuk berhenti berpura-pura, berhenti menyembunyikan semua rasa sakit di balik wajah tenang itu. Tapi aku tahu, dia melakukannya bukan karena lemah.
Aku menundukkan kepala, memejamkan mata sejenak. "Dan itulah yang membuatku membencinya," bisikku pelan, hampir tak terdengar. "Benci karena dia terlalu baik. Terlalu baik hingga aku tidak tahu harus menyayangi atau menjauh."
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikiranku. Perasaan ini begitu rumit. Sebagian dari diriku ingin melindunginya, ingin mengatakan bahwa aku ada di sini, apa pun yang terjadi. Tapi di sisi lain, aku merasa marah—marah karena dia membuatku peduli begitu dalam hingga hatiku terasa berat.
POV Ariel
Suara ketukan keyboard dan dering telepon yang tiada henti menjadi latar belakang pagi ini. Kamis, hari yang biasanya paling sibuk di kantor, karena tenggat laporan mingguan selalu jatuh keesokan harinya. Karyawan berlalu-lalang di lorong, beberapa dengan dokumen menumpuk di tangan mereka, yang lain tergesa-gesa menuju ruang rapat dengan ekspresi serius. Sesekali terdengar suara tawa kecil dari sudut pantry, di mana dua staf pemasaran tampak berbicara sambil membawa cangkir kopi. Di meja Sherly, sebaliknya, suasana terlihat berbeda. Ia duduk tegak, memandangi layar komputernya dengan ekspresi kosong, jari-jarinya berhenti mengetik. Ponselnya tergeletak di samping keyboard, bergetar dengan notifikasi yang tidak ia sentuh.
Aku mengernyit. Ada yang tidak biasa dengan Sherly hari ini. Biasanya, ia adalah sosok yang paling tenang meskipun tekanan kerja meningkat. Tapi pagi ini, gerak-geriknya terasa salah—terburu-buru, tapi tidak terarah. Beberapa kali, ia tampak ragu saat menjawab pertanyaan sederhana dari staf lain. Bahkan saat aku bertanya tentang progres laporan, jawabannya singkat, seperti sedang terganggu oleh sesuatu.
Aku mengamati dari balik meja. Ada sesuatu yang salah. Apakah ia merasa tidak nyaman berada di dekatku? Atau… apa aku melakukan sesuatu yang membuatnya menjauh? Pikiran itu membuat dadaku terasa berat, seperti ada yang menghimpit tanpa alasan jelas.
Kemudian ponselnya berdering. Dia mengangkat telepon itu dengan suara pelan, tapi aku cukup peka untuk mengenali nada bicaranya. Juan. Hatiku langsung berdegup lebih kencang. Tentu saja. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tidak berpikir macam-macam, tapi pikiranku justru semakin liar. Apakah sikap aneh Sherly belakangan ini ada hubungannya dengan dia?
Ketika Sherly meminta izin untuk menemui Juan karena Pak Dani membutuhkan informasi tentang anggaran, aku hanya mengangguk. Aku berusaha terlihat tenang, seperti tidak ada yang menggangguku. Tapi kenyataannya… hatiku mendidih.
Juan lagi. Selalu Juan.
"Silakan," kataku, berusaha terdengar profesional, tapi suara itu terasa lebih dingin dari biasanya.
Aku melihatnya meninggalkan ruangan. Langkahnya cepat, seolah ingin segera menyelesaikan urusannya. Tapi aku tidak bisa menahan diriku. Ada dorongan aneh dalam diriku untuk mengikutinya. Aku berdiri, mengambil dokumen kosong yang entah apa isinya, hanya untuk membuat diriku terlihat seperti punya tujuan.
Aku menjaga jarak. Cukup jauh agar dia tidak sadar, tapi cukup dekat untuk memastikan aku tahu ke mana dia pergi. Ketika langkahnya berbelok menuju divisi IT, aku menghentikan langkahku.
Rasionalitasku berkata untuk kembali. Tapi sesuatu dalam diriku menolak mendengar. Aku tidak bisa membiarkan mereka—Sherly dan Juan—berada di ruangan yang sama tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi. Aku menggenggam dokumen itu lebih erat, seperti itu bisa menenangkan kegelisahanku. Lalu, sebelum aku menyadarinya, aku sudah melangkah masuk ke ruangan itu.
Sherly menoleh begitu melihatku. Matanya melebar sedikit, refleks yang langsung kukenali sebagai keterkejutan. Aku berpura-pura tidak peduli.
Juan dan Pak Dani segera menyapaku dengan nada hormat. Biasanya aku menikmati momen ini—dimana kharismaku terasa mendominasi ruangan—tapi kali ini, aku hanya ingin menyelesaikan apa yang kutuju tanpa menarik perhatian lebih dari yang diperlukan.
"Juan, saya butuh data tentang anak magang yang akan direkomendasikan untuk tes di pabrik," kataku langsung. Nada suaraku terdengar lugas, mungkin sedikit terlalu tegas, tapi aku tidak peduli.
Juan mengangguk cepat, "Baik, Pak. Akan saya siapkan."
Sherly masih berdiri di sana, diam. Aku melirik ke arahnya. Matanya memandangku, ada pertanyaan di sana—pertanyaan yang tidak ia ucapkan tapi jelas terasa. Kenapa sekarang?
Aku memalingkan pandangan, tidak ingin terlihat seperti aku sedang memperhatikan dia lebih dari seharusnya. Tapi dalam hati, aku tahu. Aku tahu persis kenapa aku melakukan ini.
Aku tidak suka Juan ada di dekat Sherly.
Aku tidak suka membayangkan mereka berbicara, berbagi cerita, atau bahkan hanya berbagi satu ruangan. Itu membuat darahku mendidih, membuatku merasa seperti kehilangan kendali.
Dan meskipun aku tahu ini tindakan bodoh—datang ke sini dengan alasan yang tidak terlalu mendesak—aku tetap melakukannya.
Karena aku tidak tahu cara lain untuk memastikan mereka tidak terlalu dekat.
Karena aku tidak tahu bagaimana mengakui pada diriku sendiri bahwa semua ini bukan tentang Juan, atau tentang Sherly, tapi tentang aku.
Aku cemburu. Tapi aku tidak mau mengakuinya.
Tidak, bahkan pada diriku sendiri.
POV Sherly
Aku merasakan keberadaannya bahkan sebelum dia melangkah masuk ke ruangan ini. Entah kenapa, setiap kali Pak Ariel ada di dekatku, suasananya berubah. Ada semacam tekanan yang sulit dijelaskan, dan kali ini terasa lebih berat dari biasanya. Ketika aku menoleh dan melihatnya berdiri di sana dengan ekspresi dingin, jantungku berdegup lebih cepat. Tatapannya hanya sesaat mengarah padaku sebelum beralih ke Juan. Tapi aku tahu, aku tahu dia memperhatikanku lebih dari yang dia biarkan terlihat.
Nada suaranya ketika berbicara dengan Juan terdengar tegas, tapi juga dingin—tidak seperti biasanya. Biasanya, ia menjaga kesopanan, bahkan pada orang-orang yang membuat kesalahan. Tapi kali ini, suaranya seperti menyimpan sesuatu. Ketegangan, mungkin. Atau kemarahan yang tak diucapkan. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya-tanya, apa aku yang jadi penyebabnya? Atau… apakah ini karena Juan?
Ketika dia melirik ke arahku sebelum mengalihkan pandangannya, aku merasa ada sesuatu yang tak terucap dalam tatapan itu. Sebuah perasaan yang berusaha ia sembunyikan tapi terlalu jelas untuk diabaikan. Aku merasakan darahku berdesir, bukan karena takut, tapi karena sebuah dugaan yang selama ini aku hindari mulai terasa nyata. Apa benar ini tentang Juan? Atau lebih tepatnya, tentang aku?
Semakin aku memikirkannya, semakin aku yakin. Sikapnya belakangan ini… bagaimana ia selalu memperhatikanku lebih lama dari yang perlu, bagaimana suaranya berubah setiap kali Juan terlibat, bagaimana ia tiba-tiba muncul di ruangan IT ini tanpa alasan yang jelas. Semua itu mulai membentuk sebuah pola.
Dan aku tahu. Aku tahu dia cemburu.
Dugaanku selama ini, yang sering kutepis karena rasanya tidak mungkin, kini terasa benar adanya. Tapi bukannya merasa lega, aku malah semakin bingung. Setelah mengetahui kondisinya yang rapuh, bahwa ia menyimpan begitu banyak rasa sakit di balik wajahnya yang tenang, aku mulai melihat pak Ariel dengan cara yang berbeda. Tirai yang selama ini menutupi dirinya perlahan tersingkap, dan aku mulai melihat sisi dirinya yang lebih nyata, lebih manusiawi.
Namun, itu juga yang membuat semuanya lebih sulit. Melihat dia berdiri di sana, begitu kuat tapi juga begitu rapuh, membuatku merasa seperti terjebak di antara perasaan yang saling bertentangan. Aku ingin mendekat, ingin memahami perasaannya lebih jauh, tapi di saat yang sama, aku tidak yakin bisa menghadapi kenyataan ini. Terlalu banyak hal yang harus kuproses—tentang perasaannya, tentang kesehatannya, tentang bagaimana semua ini memengaruhiku.
Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diriku sendiri. Tatapanku bertemu dengan tatapannya lagi sebelum ia berbalik untuk pergi. Ada sesuatu dalam pandangan itu—sesuatu yang membuat hatiku terasa berat. Aku tahu aku tidak bisa mengabaikan ini lebih lama lagi. Tapi aku juga tahu, aku belum siap untuk menghadapi semuanya sekaligus.
***