Kenangan yang Membekas

FLASHBACK 3 TAHUN LALU

POV Ariel

Aku mencoba melirik jam dinding di kamar ini, tapi pandanganku buram tanpa kacamata. Detil angka-angka itu kabur, seperti bayangan yang jauh di balik kabut tebal. Tapi aku tahu ini sudah sekitar pukul sepuluh pagi. Tubuhku terasa remuk, seperti baru saja dihantam berton-ton beban yang menghancurkan setiap otot, setiap tulang.

Sejak semalam, sepulang dari sesi kemo terakhirku, rasa sakit tak berhenti menyerang. Aku bahkan tak sanggup tidur meskipun terus berbaring. Nafasku terasa berat, lemah, seolah setiap tarikan udara adalah perjuangan yang sia-sia. Selang oksigen ini masih terpasang di hidungku, membantu paru-paruku yang tak lagi mampu bekerja sendiri. Tapi tetap saja, dadaku sesak, terasa seperti dihimpit sesuatu yang tak terlihat.

Aku menoleh, buram melihat bayangan dua sosok. Itu Bang Leon dan Bara. Aku tahu mereka memakai masker, seperti aku. Sejak kemoterapi, masker ini menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharianku. Sistem imunku lemah, begitu lemah hingga aku bahkan takut pada udara di sekitarku.

Kak Liese pergi ke butik langganannya, membeli baju untuk keperluan acara di kampus tempatnya bekerja, ia membawa Amira yang sedang libur sekolah bersamanya, sedangkan papa dan mama saat ini di luar kota, untuk peresmian kantor cabang perusahaan yang baru.

Bang Leon berbicara, mencoba mengajakku bicara. Suaraku terlalu lemah untuk menjawab, tapi aku tetap memberi isyarat kecil—anggukan, gumaman pelan, apapun yang bisa meyakinkannya aku masih ada. Dia tahu aku lemah, dan meskipun aku tak sanggup merespon banyak, dia terus mencoba menjaga suasana tetap ringan.

Lalu itu terjadi.

Nafasku tiba-tiba seperti tercekik. Udara yang berusaha kutarik seperti berhenti di tengah jalan, berubah menjadi rasa sakit yang menghantam dadaku. Aku mencoba menarik napas lagi, tetapi semakin mencoba, semakin sesak rasanya. Suara parau, seperti erangan pendek, keluar dari tenggorokanku. Dadaku serasa hancur, membakar, memaksa tubuhku menyerah pada rasa sakit yang tak terkira.

Aku mendengar suara Bang Leon, memanggilku dengan cemas, panik. Aku ingin menjawab, tapi mulutku tak bergerak. Tubuhku gemetar, dingin, sedingin es. Aku tak tahu apakah karena sakit ini atau karena nyeri di dadaku yang semakin tajam. Pandanganku semakin kabur.

Aku tidak tahu kapan tepatnya tubuhku menyerah. Hanya saja, dunia perlahan-lahan menghilang. Suara Bang Leon terdengar jauh, seolah datang dari tempat yang sangat jauh. Aku merasa ringan—tidak, kosong. Aku mencoba bertahan, tapi... aku tak bisa.

POV Leon

Tiba-tiba, Ariel terbatuk pelan, lalu tubuhnya mulai bergetar. Aku langsung duduk tegak, panik. "Ariel?" panggilku, tapi dia tidak menjawab.

Aku mendekat. Nafasnya terdengar berat, tersengal-sengal, seperti ada sesuatu yang menghimpit dadanya. Matanya mulai terpejam, wajahnya semakin pucat, dan bibirnya... Tuhan, bibirnya mulai membiru.

"Ariel!" aku memanggilnya lebih keras, mengguncang lengannya, tapi tubuhnya dingin, sangat dingin.

Aku tahu aku harus bertindak cepat. Dengan dorongan adrenalin, aku berlari keluar kamar, membuka pintu mobil, dan merebahkan kursi penumpang depan. Aku memanggil bibi asisten rumah tangga tapi tidak ada jawaban, mungkin dia sedang berbelanja ke luar. Aku kembali ke kamar dengan langkah tergesa-gesa, menggendong tubuhnya yang kurus dan lemah. "Bara, dorong tabung oksigennya, Nak!" seruku.

Bara yang baru berusia empat tahun itu menatapku dengan mata bingung, tapi dia menurut. Dengan kedua tangannya yang kecil, dia mendorong tabung oksigen portabel Ariel ke arah pintu.

Kami akhirnya sampai di mobil. Aku meletakkan Ariel di kursi yang sudah kurebahkan, memastikan tabung oksigen ada di dekatnya. Nafasnya masih berat, tapi dia tetap tak sadarkan diri. Tubuhnya begitu lemah, seolah-olah dia hanya tinggal separuh jalan dari dunia ini.

Aku memasukkan Bara ke kursi belakang, mengencangkan sabuk pengamannya, lalu aku melesat keluar dari pekarangan. Kaki ini menekan pedal gas sekuat tenaga. Jalan menuju rumah sakit terasa begitu panjang, seperti tidak pernah berakhir.

"Ariel, bertahanlah... Bertahan, tolong..." gumamku, hampir seperti doa.

Ketika kami sampai di IGD, aku segera berteriak memanggil bantuan. Tim medis langsung bergerak, membawa Ariel masuk ke dalam. Aku tidak bisa ikut ke ruang perawatan; ada Bara di sini, dan aku tidak boleh meninggalkannya sendirian.

Aku hanya bisa berdiri di ruang tunggu, memeluk Bara yang tampak kebingungan, menatap setiap perawat dan dokter yang berlalu-lalang. Rasanya aku ingin berteriak, ingin tahu apa yang sedang terjadi di dalam sana.

Tak lama kemudian, salah seorang perawat mendatangiku. Dia mengatakan Ariel telah sadar, tapi kondisinya masih sangat lemah. Mereka sedang memindahkannya ke ruang perawatan. Aku ingin menemani, tapi aturan rumah sakit tidak mengizinkan anak kecil masuk. Aku hanya bisa menunggu, berharap Liese segera datang.

Dalam kepasrahan itu, aku merasa waktu berjalan begitu lambat. Hingga akhirnya, aku mendengar kabar dari perawat bahwa Ariel sudah stabil. Napasku sedikit lega, tapi hatiku tetap diliputi kecemasan. Bagaimanapun, aku tahu ini belum selesai.

POV Ariel

Ketika aku mulai sadar lagi, suara bising mesin-mesin medis memenuhi ruangan. Cahaya putih menyilaukan mataku yang masih berat. Rasa dingin menusuk kulitku, bercampur dengan detak jantung yang perlahan stabil. Perawat berbicara, tapi kata-katanya terdengar jauh, seperti bisikan yang tak sepenuhnya jelas.

Aku tahu aku belum mati, tapi aku merasa sangat lelah.

Ketika perawat pergi, meninggalkanku sendirian di ruangan ini, aku hanya menatap langit-langit putih. Mencoba memahami apa yang baru saja terjadi, mencoba meyakinkan diriku bahwa aku masih hidup.

Lalu, pintu terbuka. Suara langkah ringan mendekat. Pandangan buramku menangkap bayangan seseorang masuk ke dalam ruangan. Aku tidak mengenalnya, tapi dari langkahnya yang pelan dan hati-hati, aku tahu ini bukan anggota keluargaku. Perlahan, sosok itu mendekat. Aku hanya bisa memandang samar, mencoba menyesuaikan mata yang terasa berat dan lemah. Sebuah suara lembut menyusup melalui kebisuanku.

"Maaf, saya masuk tanpa izin," katanya dengan nada rendah, seolah takut mengganggu.

Aku menggerakkan kepala sedikit untuk memberi tanda bahwa itu tidak masalah. Namun, tubuhku terlalu lemah untuk melakukan lebih banyak. Sosok itu, seorang perempuan berhijab dengan pakaian kasual, akhirnya berdiri di samping tempat tidurku. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Sherly, dan entah kenapa, namanya langsung melekat di benakku.

Ketika dia mengulurkan tangan untuk berjabat, aku sempat ragu. Tanganku terlalu lemah untuk merespons. Tapi, tanpa ragu, dia menggenggam tanganku lebih dulu. Tangan itu hangat, menyentuh kulitku yang dingin seperti menyampaikan energi yang tidak kumiliki. Aku tidak mengerti mengapa, tapi kehadirannya—meski hanya beberapa menit—membuat rasa sakitku sedikit berkurang.

"Sherly," ulangku dalam hati, mencoba mencatat nama itu dengan jelas meski pikiranku masih berkabut.

Aku melihat dia melirik gelang pasien di tanganku, kemudian berkata bahwa namaku Dwi dan kami seumuran. Aku sempat bingung mendengar itu, tapi tidak mencoba mengoreksi. Aku terlalu lemah untuk menjelaskan apa pun. Sherly lalu mulai berbicara, suaranya seperti alunan lembut yang menemani kesunyian yang biasanya menekan dadaku. Aku tidak terlalu fokus pada kata-katanya, karena pikiranku sibuk dengan hal lain—wajahnya.

Meskipun buram, ada sesuatu yang begitu menenangkan tentang dirinya. Senyumnya tulus, dan matanya yang bersinar membawa semacam kehangatan yang sudah lama tidak kurasakan. Rasanya seperti mentari pagi yang hangat menyusup di sela-sela tirai jendela rumah, menawarkan harapan tanpa harus berkata-kata.

Aku tidak tahu sudah berapa lama dia berbicara, tapi aku tahu aku ingin dia tetap di sini. Kehadirannya seolah mencairkan kebekuan di dalam hatiku.

Tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar di lorong. Aku mengenali itu. Bang Leon masuk dengan wajah terkejut melihat Sherly. Mereka bertukar kata, tapi aku hanya mendengarkan setengahnya. Tubuhku terlalu lelah untuk mengikuti pembicaraan mereka. Namun, saat Sherly meminta nomor kontakku kepada Bang Leon, sesuatu di dalam diriku ingin sekali berkata, berikan saja.

Saat dia pamit pergi, kehangatan yang sempat memenuhi udara perlahan menghilang, menyisakan sunyi yang menusuk. Aku tidak tahu mengapa pertemuan singkat itu begitu membekas. Tatapan lembutnya, senyum tulusnya, bahkan sentuhan hangat tangannya masih terasa nyata di pikiranku. Semua itu seperti benang halus yang menjalin sesuatu dalam diriku, sesuatu yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata.

Aku mendengar suara langkah mendekat, lalu sosok Bang Leon muncul di sudut pandangku. Ia menghampiri tempat tidur dan duduk di kursi yang baru saja ditinggalkan Sherly. Ada kelegaan di wajahnya, tapi juga bayangan kelelahan yang tidak pernah ia tunjukkan secara terang-terangan.

"Liese dan Amira sudah sampai," katanya pelan, suaranya khas, tenang namun tegas. "Mereka sedang mengurus rujukan medis. Rumah sakit ini nggak punya alat lengkap buat pemeriksaan. Setelah semua selesai, kita bakal pindah."

Aku mengangguk pelan, mencoba mencerna informasinya meskipun pikiranku setengah tertinggal di momen sebelumnya. Di sana, di ruang itu, ada ruang kosong yang sebelumnya tak terasa, namun sekarang terasa lebih penuh. Ada sesuatu yang mulai menggeliat dalam dadaku, seperti nyala api yang tak terlihat, namun perlahan menghangatkan semua yang pernah terasa dingin.

"Papa sama Mama masih di jalan," lanjutnya. "Mungkin mereka langsung ke rumah sakit rujukan."

Aku ingin mengucapkan sesuatu, mungkin sekadar untuk menenangkan Bang Leon atau menunjukkan rasa terima kasihku. Tapi suaraku terjebak, hanya keluar sebagai bisikan samar yang tidak dapat dipahami. Dalam hati, rasa bersalah mulai merayap. Kondisiku ini menjadi beban bagi semua orang, terutama keluarga. Setiap perjalanan, setiap rujukan, setiap hari yang dihabiskan mereka untuk mengurusku—semua itu seperti dinding berat yang terus menekan dadaku.

Namun, sebelum rasa bersalah itu semakin dalam mencengkeram, suara Bang Leon membuyarkan lamunanku.

"Perempuan tadi siapa?" tanyanya dengan nada menggoda, tatapannya melekat padaku seperti sedang menyelidik sesuatu.

Aku mencoba mengalihkan pandangan, tapi Bang Leon tetap menunggu jawaban. Aku tahu aku tidak bisa menjawab. Selain karena masker oksigen masih melekat, tubuhku terlalu lemah untuk berbicara.

Bang Leon tersenyum tipis, matanya berbinar seolah menemukan sesuatu yang menarik. "Dia kelihatan baik... dan manis, ya," tambahnya dengan nada bercanda.

Aku hanya bisa terdiam, tapi aku tahu Bang Leon bisa membaca ekspresi samar di wajahku. Manis? Ya, aku setuju, meskipun tidak berani mengatakannya. Wajah Sherly yang buram di mataku masih meninggalkan kesan yang mendalam. Senyumnya, tatapan penuh perhatian itu, dan caranya berbicara dengan lembut tapi penuh kehangatan... semua itu seperti sebuah pintu yang membuka sesuatu di dalam diriku. Aku tak pernah tahu ada ruang kosong di dalam diriku yang bisa diisi oleh seseorang seperti dia.

Perlahan, tubuhku yang lelah dan lunglai merasa sedikit lebih ringan. Bukan karena fisikku membaik, tapi karena ada sesuatu dalam diri yang mulai menggeliat, sesuatu yang lebih halus dan tak terdefinisikan. Seperti kehadiran Sherly yang sederhana namun kuat, memberikan kenyamanan yang tidak pernah aku cari. Aku bahkan tidak menyadari kapan hatiku mulai merespon keberadaannya.

Aku tidak tahu apa itu. Tapi, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa ada seseorang yang tidak hanya melihatku sebagai pasien atau beban. Sherly hadir begitu sederhana, tanpa harapan atau tuntutan. Dia hanya ada, dan kehadirannya membuatku merasa sedikit lebih utuh.

Pikiranku berputar kembali pada momen tadi. Saat dia dengan percaya diri menggenggam tanganku yang bahkan tidak bisa kugerakkan. Saat dia tersenyum meski aku hanya bisa menjawab dengan anggukan lemah. Aku tidak mengerti mengapa pertemuan ini terasa berbeda. Begitu banyak kata yang ingin kuucapkan, namun hanya diam yang keluar.

Namun, satu hal yang pasti—di tengah rasa sakit dan lemah ini, ada sesuatu yang terasa hangat. Dan itu datang dari seseorang bernama Sherly.

***