POV Ariel
Aku duduk di kursi kerja, layar laptop masih menyala di depanku, tetapi pikiranku sudah menjauh dari angka-angka laporan harian. Di meja kecil di sampingku, segelas air setengah penuh tampak memantulkan cahaya lampu meja yang temaram. Aku menoleh sejenak ke jendela, melihat hujan gerimis yang samar-samar membentuk garis-garis halus di kaca. Angin malam terlihat menggoyangkan ranting pohon di kejauhan, menciptakan bayangan bergerak di tirai yang setengah tertutup.
Di dalam kamar, suara detik jam dinding terdengar jelas, seolah ingin mengingatkanku bahwa malam terus berjalan. Suasana hening ini hanya dipecah oleh suara notifikasi video call di ponselku.
Ketika aku mengangkat panggilan itu, wajah ceria Kak Liese langsung memenuhi layar. Dia duduk di sofa rumahnya yang hangat dan penuh warna, jauh berbeda dengan kamarku yang terasa sepi dan minimalis. Wajahnya yang ceria terlihat di layar, menceritakan bagaimana Bara, keponakanku yang selalu penuh kejutan, membuat ulah di sekolah. Ternyata, Bara mencoret gambar temannya, dan teman itu balas mencoret gambarnya. Hasilnya, guru mereka memberi "hukuman" yang cukup cerdas: mereka harus duduk bersama, berbagi satu set pewarna, dan menggambar ulang bersama-sama. Aku tertawa mendengar cerita itu. Bisa kubayangkan Bara dengan wajah cemberutnya saat harus berbagi, tapi pada akhirnya dia malah menikmati hukuman itu.
"Dia cerita sambil ketawa-ketawa, Riel," kata Kak Liese. "Bilangnya, 'Mama, aku sekarang teman baik sama dia.'"
Aku ikut tertawa lagi, membayangkan Bara yang polos. Kak Liese memang selalu berhasil membuat suasana jadi lebih ringan. Namun, kesenangan itu tidak bertahan lama.
Bang Leon, suami Kak Liese, lewat dan menyapa. Aku menyapanya balik. Sebagai seorang pilot, dia sering dinas ke berbagai tempat, dan aku jarang mendapat kesempatan bicara lama dengannya. Kak Liese yang "kebelet" pergi ke kamar mandi malah menyerahkan ponselnya pada Bang Leon.
"Arie, apa kabar?" tanyanya, nada suaranya selalu santai namun penuh perhatian.
"Baik, Bang. Abang sendiri gimana?"
"Baik juga. Capek aja habis flight panjang," jawabnya, sebelum tiba-tiba melemparkan pertanyaan yang tidak kusangka-sangka.
"Jadi, Riel, gimana Sherly? Udah ada perkembangan?"
Aku terdiam sesaat, tidak siap dengan arah pembicaraan ini. Senyum kikukku muncul tanpa bisa kutahan, dan refleks tanganku menggaruk kepala. Aku mencoba mengalihkan pandangan, berharap waktu akan berhenti dan aku tidak perlu menjawab.
Bang Leon tersenyum tipis, lalu melanjutkan dengan nada lebih serius.
"Ariel, kapan kamu akan mengakui kalau kamu adalah Dwi kepada Sherly?"
Mataku terpaku pada layar ponsel, menatap Bang Leon yang masih menunggu jawaban. Kata-katanya menggema di pikiranku, menyayat keheningan malam: "Kapan kamu akan mengakui kalau kamu adalah Dwi kepada Sherly?"
Seolah ada yang memukul dadaku dengan palu berat, rasa nyeri itu datang tiba-tiba, menusuk dan menghimpit, seperti rantai yang melilit ketat. Aku mencoba menarik napas panjang, tapi udara seperti menolak masuk. Nafasku terputus-putus, pendek dan terburu-buru.
Tanganku refleks bergerak ke dada kiri, menekan keras-keras, seolah itu bisa meredakan rasa sakit yang kini merambat ke bahu dan leher. Telapak tanganku mulai dingin dan basah, gemetar saat mencoba menggenggam meja untuk menopang tubuhku yang terasa lemah.
"Ariel, kamu oke?" tanya Bang Leon, suaranya berubah cemas.
"Aku… aku baik-baik saja," gumamku kepada Bang Leon, yang jelas-jelas sudah panik melihat wajahku.
Tidak ingin memperburuk keadaan, aku segera memutuskan panggilan dan menjatuhkan ponsel ke meja, suaranya bergema kecil di ruangan. Dengan langkah berat, aku bangkit dari kursi, satu tangan masih mencengkeram dada, sementara tangan lainnya meraba-raba meja kecil di samping tempat tidur, mencari laci yang menyimpan obatku.
Saat menarik laci, jemariku gemetar begitu parah hingga botol kecil berisi obat itu hampir terjatuh. Aku berhasil menggenggamnya, tetapi perlu beberapa detik untuk membuka tutupnya. Keringat dingin mulai mengalir di pelipis dan punggungku, kaus yang kukenakan mulai melekat pada kulit.
Aku meneguk satu butir obat, buru-buru meneguk air hingga setengah gelas habis dalam sekali minum. Setelah itu, aku duduk di tepi ranjang, mencoba memejamkan mata untuk menenangkan diri. Napasku masih tersengal, tubuhku menggigil meski udara kamar terasa hangat. Tanganku mencengkeram erat sprei, kuku-kukuku meninggalkan jejak kusut pada kainnya.
Rasa sakit itu perlahan mulai mereda, tetapi tubuhku tetap terasa lemah. Mataku terbuka perlahan, menatap langit-langit kamar yang terlihat kabur karena pandanganku yang masih buram. Dengan sisa tenaga, aku merapikan bantal, menambah tumpukannya agar lebih tinggi, lalu berbaring perlahan, menarik selimut hingga menutupi tubuhku yang menggigil.
Aku memejamkan mata, berusaha melupakan rasa sakit yang baru saja menghimpit dada. Tapi sekeras apa pun aku mencoba, pikiranku tetap berputar pada satu hal: Sherly.
Apa yang akan terjadi jika aku mengakui segalanya?
Bayangan wajahnya muncul dalam pikiranku, senyumnya yang selalu terlihat tulus, matanya yang menyiratkan ketenangan. Aku menelan ludah, membayangkan senyum itu menghilang, berganti dengan ekspresi keterkejutan—atau lebih buruk, kekecewaan. Apakah dia akan membenciku jika tahu siapa aku sebenarnya?
Dwi Ariel Nathan. Nama itu terdengar seperti beban setiap kali aku memikirkannya. Tiga tahun aku menyembunyikan identitas ini, menutupinya rapat-rapat dengan alasan yang entah masih masuk akal atau tidak. Aku ingin melindunginya. Tapi melindunginya dari apa? Dari kebenaran yang bahkan bukan salahku?
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiran yang semakin kusut. Tapi itu tak membantu. Rasa takut terus menjalar di benakku, berbisik pelan namun menusuk: Bagaimana jika dia tidak bisa menerima? Bagaimana jika dia merasa aku hanya mempermainkannya? Bagaimana jika aku malah menghancurkan apa yang sekarang kita miliki?
Namun di sisi lain, aku tahu, aku tidak bisa terus seperti ini. Rahasia ini seperti bom waktu. Semakin lama aku menyembunyikannya, semakin besar risikonya ketika itu meledak. Tapi… apakah aku punya kekuatan untuk menghadapinya?
Aku mengusap wajahku dengan tangan yang masih sedikit gemetar. Duniaku selama ini sudah cukup berantakan—penyakit ini, tanggung jawab pekerjaan, dan sekarang… Sherly. Dia adalah satu-satunya titik terang di hidupku, tetapi aku terus-menerus bertanya pada diriku sendiri, apakah aku pantas memiliki kebahagiaan ini?
Sekali lagi aku menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Tapi bukannya merasa tenang, dadaku justru terasa semakin berat. Langit-langit kamar seperti menatapku dengan dingin, menyisakan aku sendirian dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah ada jawabannya.
Aku membuka mata perlahan, memandang ke arah meja kerja di mana ponselku tergeletak. Percakapan tadi seperti cambuk yang menyadarkanku akan kerapuhan posisiku. Mungkin Bang Leon benar. Cepat atau lambat, aku harus menghadapi kenyataan ini.
Tapi malam ini… aku terlalu lelah untuk berpikir lebih jauh.
Dalam keheningan itu, pikiranku melayang kembali ke tiga tahun lalu. Kejadian itu… semuanya terasa seperti bayangan kelam yang terus menghantui setiap langkahku.
***