POV Sherly
Aku melangkah masuk ke rumah, mencoba mengalihkan perasaanku dengan rutinitas sederhana. Setelah mandi, aku mengenakan pakaian santai dan menuju ke ruang makan, di mana ibu sudah menyiapkan makan malam. Aroma tumis kangkung dan sup ayam menguar lembut, tapi selera makanku terasa jauh.
Aku duduk di hadapan ibu, memaksakan senyum dan bertingkah seolah semuanya baik-baik saja.
"Kamu sudah lebih baik sekarang?" tanya ibu sambil meletakkan sendok.
Aku tersenyum kecil, mencoba terdengar ceria. "Iya, Bu. Sudah kok."
Tapi tatapan ibu tajam, menembus senyumku yang kosong.
"Sherly, ibu ini tahu kamu. Kalau kamu bilang baik-baik saja, tapi matamu bilang sebaliknya, ibu jadi bingung. Apa kamu benar-benar baik, atau cuma pura-pura?"
Aku tidak menjawab. Aku hanya menunduk, menusuk-nusuk nasi di piringku dengan garpu.
Ibu menghela napas panjang. "Setelah kepergian Ega dan ayahmu, kamu tahu kan, kamu satu-satunya alasan ibu terus maju. Harapan ibu sederhana, Nak. Ibu cuma ingin kamu bahagia. Tapi kalau ibu lihat kamu seperti ini... hati ibu ikut sakit, Sher."
Kata-kata ibu menggema dalam pikiranku. Bahagia? Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku benar-benar merasa seperti itu.
Aku menunduk lebih dalam. Pura-pura ceria tak lagi berguna. Aku lelah.
"Sherly, apa yang sebenarnya terjadi? Ceritakan ke ibu, Nak. Jangan biarkan ibu menebak-nebak sendirian," suara ibu melembut, menyentuh sudut hatiku yang terluka.
Aku mengangkat wajah, menatap ibu yang kini tampak lebih menua daripada yang kuingat. Garis-garis halus di wajahnya menjadi saksi betapa banyak hal yang sudah ia lalui. Tapi matanya... mata itu tetap penuh cinta, meski diselimuti kekosongan yang sulit dijelaskan.
Air mataku menggenang, tapi aku menahannya. Aku tahu aku tak bisa terus-menerus menjauhkan ibu dari kehidupanku. Ia berhak tahu. Ia adalah ibuku. Apa pun yang terjadi, hubungan kami tak akan pernah putus.
Menguatkan diri, aku menarik napas dalam. "Bu, aku ingin cerita."
Aku menunduk sejenak, menggigit bibir bawahku yang sedikit pecah-pecah, lalu menghela napas panjang. Di atas meja makan, sendok di tangan ibu berhenti setengah jalan, melayang di udara, seolah menunggu kelanjutan cerita. Bunyi detik jam dinding di ruang tamu terdengar jelas, menyusup di antara keheningan kami.
"Ibu tahu, kan, kalau Sherly pernah cerita soal Dwi, cowok yang Sherly temui di rumah sakit dulu?" suaraku terdengar serak, seperti menahan sesuatu yang lebih berat dari sekadar kata-kata.
Ibu menurunkan sendoknya perlahan, lalu meletakkannya di sisi piring dengan bunyi lembut. Ia menatapku dengan sorot mata penuh tanya, alisnya sedikit berkerut, namun tetap menunggu dengan sabar. Lampu kuning di atas meja makan memantulkan bayangan samar di wajah ibu, memperlihatkan garis-garis halus yang semakin jelas di dekat matanya.
"Dia... dia Pak Ariel, Bu. Dwi dan Pak Ariel itu orang yang sama." Aku akhirnya berkata, suaraku nyaris seperti bisikan.
Mata ibu membesar, napasnya terdengar tertahan. Ia tidak langsung menjawab, tetapi tangannya bergerak gelisah, merapikan ujung serbet di samping tangannya. Udara di ruang makan terasa lebih berat, seolah mengandung ketegangan yang tak kasat mata.
Ketika aku akhirnya selesai bercerita, ibu hanya diam, pandangannya terarah pada piring di depannya. "Pak Ariel..." gumamnya pelan, seolah mencicipi nama itu di lidahnya. Lalu ia menatapku, matanya yang tadi tampak kaget sekarang penuh dengan kehangatan.
"Dia pemuda yang luar biasa kuat, ya." Ibu akhirnya bicara, suaranya lembut tapi tegas.
Aku mengerutkan kening, memandangi ibu dengan bingung. "Kuat? Tapi, Bu... dia menyembunyikan semuanya dariku. Dia berbohong tentang siapa dirinya," suaraku terdengar serak, hampir berbisik.
Ibu tidak langsung menjawab. Dia menggeser piringnya sedikit, membiarkan tangan kirinya menopang dagu. Matanya menerawang, menatap meja makan seolah ada kenangan lama yang muncul di sana.
"Kamu tahu, Sherly," ibu mulai, suaranya lembut tetapi terisi dengan emosi yang dalam. "Dulu, saat ayahmu sakit parah, ibu pernah melihat bagaimana dia mencoba menyembunyikan rasa sakitnya dari kita semua. Dia tidak ingin kita khawatir. Dia berusaha menjadi orang yang kuat, bukan karena dia tidak percaya pada kita, tetapi karena dia tidak ingin menjadi beban."
Aku terdiam, memperhatikan wajah ibu yang tampak lelah tetapi penuh ketegasan.
"Pak Ariel mungkin seperti itu," lanjut ibu, kali ini menatapku langsung. "Dia tahu apa yang dia hadapi. Dia tahu kelemahannya, tapi dia juga tahu tanggung jawabnya. Orang seperti itu, Sherly, tidak banyak. Dia mungkin membuat kesalahan, tetapi itu tidak menghapus kekuatan yang dia miliki untuk terus berdiri."
Ibu tersenyum kecil, meskipun matanya masih memancarkan kesedihan. "Kamu tahu, Nak, terkadang kita terlalu fokus pada rasa kecewa kita hingga lupa melihat perjuangan orang lain. Ibu melihat, dari cara dia memperlakukan kamu, dia orang yang penuh perhatian. Dia tidak sempurna, tapi dia pantas dihargai."
Aku menelan ludah, mencoba mencerna kata-kata ibu. Ada sesuatu yang menusuk hatiku, seperti cermin yang memantulkan semua sisi yang selama ini aku hindari untuk lihat.
Aku masih diam, tidak mengerti. Bagaimana ibu bisa memuji pak Ariel sementara aku justru merasa terkhianati oleh semua rahasianya?
"Ibu, kenapa itu yang ibu soroti? Bukannya..." Aku menggantungkan kalimatku, tak tahu bagaimana melanjutkannya tanpa terdengar terlalu emosional.
"Bukannya apa?" tanya ibu balik, dengan nada lembut tapi tegas.
"Ya, bukannya... bagaimana aku merasa dia menipu aku? Tentang identitasnya... tentang segalanya?"
Ibu tersenyum tipis, matanya penuh kebijaksanaan yang entah dari mana datangnya. "Nak, menurut ibu, semua yang dia lakukan pasti ada alasannya. Tapi, daripada memikirkan kebohongannya, kenapa kamu tidak coba melihat sisi lain? Dia sudah melakukan banyak hal baik untuk kamu dan keluarga kita. Ibu malah ingin kamu lebih menjaga dia sekarang. Kondisinya tidak mudah, Sher."
Aku menatap ibu, tidak percaya.
"Pak Ariel itu, menurut ibu, bukan cuma atasanmu. Dia sudah seperti keluarga. Dan sekarang kamu tahu kondisinya, ibu harap kamu lebih baik lagi ke dia. Jaga perasaannya, bantu dia. Jangan sampai dia kelelahan atau tertekan. Kalau kamu bisa melakukan itu, ibu rasa kamu sudah melakukan hal yang benar."
Aku memandangi ibu yang duduk di seberang, matanya penuh kelembutan dan kesedihan yang entah bagaimana terasa menenangkan. Kata-kata ibu terus terngiang-ngiang di benakku: "Dia tidak sempurna, tapi dia pantas dihargai."
Aku menarik napas panjang, menunduk menatap piringku yang masih berisi separuh nasi. Apa yang dikatakan ibu ada benarnya. Pak Ariel memang selalu memperlakukanku dengan baik, bahkan ketika aku bersikap dingin dan berjarak. Aku ingat bagaimana pak Ariel diam-diam memastikan semuanya berjalan lancar untukku, dari hal kecil seperti memeriksa hasil kerjaku hingga mengantarku pulang dengan sopir pribadi saat larut malam. Tapi... kenapa? Kenapa aku tetap merasa dikhianati?
Apa aku terlalu keras padanya? pikirku, jemariku tanpa sadar mengusap tepi gelas di depanku. Logikaku mengatakan bahwa ibu benar: pak Ariel tidak sempurna, tetapi usahanya untuk tetap berdiri meski dengan semua beban di pundaknya adalah hal yang luar biasa. Namun, hatiku belum bisa sepenuhnya menerima.
Ada sesuatu yang mengganjal, seperti duri kecil yang menancap di tempat tersembunyi. Aku bukan hanya kecewa karena pak Ariel menyembunyikan identitasnya, tetapi juga karena aku merasa kecil, seolah-olah diriku tidak cukup penting untuk mengetahui kebenaran itu dari awal.
Aku mendongak, menatap ibu yang kini sibuk merapikan meja. "Mungkin ibu benar," gumamku pelan, hampir seperti berbicara pada diriku sendiri. "Tapi, Bu, kalau beliau benar-benar baik, kenapa beliau harus menyembunyikan siapa dirinya?"
Ibu berhenti sejenak, memandangku dengan tatapan lembut namun tajam. "Mungkin karena dia ingin melindungimu, Nak. Kadang orang berpikir mereka menjaga orang lain dengan cara itu, meskipun hasilnya justru sebaliknya."
Kata-kata ibu bagai kilat yang menyambar kesadaranku. Aku sadar, di balik semua kebingunganku, ada bagian dari diriku yang takut menerima bahwa pak Ariel memiliki alasan kuat untuk menyembunyikan semuanya. Bagian dari diriku yang takut mengakui bahwa aku telah salah menilai.
Aku menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. Aku tahu aku harus mencari cara untuk menyelaraskan semua ini, tapi bagaimana? Logikaku mulai menerima penjelasan ibu, tetapi emosiku masih enggan menyerah.
"Mungkin... waktu akan menjawabnya," pikirku, sambil kembali berusaha menyembunyikan kegundahanku di depan ibu.
Setelah ibu kembali ke dapur untuk membereskan meja makan, aku tetap duduk di kursi. Mataku tertuju pada bingkai foto keluarga yang tergantung di dinding ruang makan. Foto itu diambil belasan tahun lalu, saat ayah dan bang Ega masih ada. Wajah-wajah di dalamnya tampak bahagia, tanpa beban.
Aku berdiri dan mendekat ke foto itu. Jariku menyentuh kaca bingkai, membelai gambar wajah ayah yang tersenyum lebar. Di sebelahnya, bang Ega dengan senyum jahil khasnya. Ada rasa perih yang merambat di dadaku, bercampur dengan rasa hangat dari kenangan manis itu.
Pikiranku kembali ke percakapan tadi. Kata-kata ibunya masih terngiang: "Pak Ariel itu orang yang sangat baik. Kamu harus lebih menjaga perasaannya." Sederhana, tapi entah kenapa berat untuk diterima. Ibu benar, tentu saja, seperti biasanya. Tapi menerima kenyataan itu berarti harus mulai merelakan sebagian dari kemarahan dan kekecewaanku—dan aku belum yakin siap melakukannya.
Aku menghela napas panjang, membiarkan udara dingin dari kipas angin menyentuh wajahku yang terasa panas. "Mungkin aku yang terlalu keras pada semuanya," gumamku pelan, lebih kepada diriku sendiri.
Namun, ada bagian lain dalam diriku yang berbisik: Bagaimana dengan kebohongan itu? Bagaimana dengan rasa sakit yang dia sembunyikan darimu? Logika dan emosiku seperti saling bertentangan, membuat kepalaku berat.
Aku menatap foto itu sekali lagi sebelum melangkah ke kamarku. Di tengah kekacauan pikiranku, satu hal yang jelas: aku harus menghadapi ini semua, dengan hati dan pikiranku. Karena meski lelah, aku tahu kebenaran tak bisa dihindari.
***