Logika Cindy

POV Sherly

Kami duduk berdua di bawah pohon besar itu. Daun-daun yang bergoyang pelan di atas kepala kami menciptakan bayangan bergerak di tanah. Angin sore yang lembut berusaha menenangkan gejolak di dalam hatiku, tapi aku tahu ia tidak akan berhasil.

Cindy menatapku, diam beberapa saat sebelum akhirnya bertanya, "Sher, gimana perasaan lu sekarang?"

Aku menoleh padanya sejenak, lalu menghela napas panjang dengan kasar, seperti mencoba membuang beban berat yang kurasakan. Tapi itu percuma. Beban itu tetap ada, menempel erat di pikiranku.

"Gua nggak tahu, Cin," jawabku akhirnya. Suaraku terdengar serak. "Gua... nggak tahu harus berbuat apa. Rasanya seperti kehilangan arah."

Cindy mengangguk pelan, ekspresinya penuh perhatian. Aku tahu dia sedang mencerna kata-kataku, mencoba menemukan cara untuk merespons. Dia selalu begitu—tidak pernah terburu-buru menjawab, selalu berhati-hati agar tidak menyakitiku.

"Sher..." Cindy memulai lagi dengan hati-hati. "Lu masih yakin kalau Pak Ariel itu Dwi?"

Tanpa pikir panjang, aku mengangguk. "Iya, gua yakin," jawabku cepat. Suaraku terdengar sedikit tegang, lebih keras dari yang kumaksudkan.

Cindy menatapku, lalu mengangguk lagi. Wajahnya menunjukkan pemahaman, meskipun aku tahu dia tidak sepenuhnya tahu alasan di balik keyakinanku.

"Kalau gitu," katanya dengan nada lembut, "coba bayangkan lu ada di posisi Dwi. Lu ketemu seseorang secara nggak sengaja di rumah sakit, dalam kondisi yang nggak ideal. Kalau lu jadi dia, apakah lu akan langsung cerita siapa diri lu dengan terbuka?"

Pertanyaan Cindy seperti tamparan yang menyadarkanku dari lamunan panjang. Aku terdiam, merenungkan kata-katanya.

Bayangan masa lalu itu muncul lagi di pikiranku. Seorang laki-laki dengan wajah lelah, terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dia tidak bisa bicara jelas karena masker oksigen, lebih banyak mendengarkan cerita-ceritaku yang melompat-lompat, mungkin karena aku terlalu gugup. Aku bahkan sampai meminta nomor ponselnya pada keluarganya, dan setelah itu aku mengirimkan pesan setiap hari, tanpa henti. Seolah-olah aku mengenalnya dengan baik.

Riak kecil di permukaan waduk menarik perhatianku, memantulkan sinar matahari yang mulai redup. Benar, pikirku. Situasi itu pasti aneh bagi Dwi. Wajar saja kalau dia merespons seadanya tanpa memberitahu siapa dirinya sebenarnya.

Tapi perasaan di dalam diriku, yang selama ini mendominasi pikiranku, kembali menguasai. Aku menoleh ke Cindy, suaraku terdengar lebih emosional. "Tapi kenapa, Cin? Kenapa pas ketemu gua lagi dia nggak bilang itu dia? Kenapa dia malah menciptakan sosok baru, Pak Ariel, dan menjaga jarak?"

Cindy terdiam sejenak, tampak berpikir sebelum akhirnya menjawab. "Mungkin... karena sosok yang sebenarnya adalah Pak Ariel, Sher. Dwi itu hanya bagian dari dirinya yang lu temui di waktu yang berbeda—sosok yang rapuh, yang mungkin dia sendiri nggak mau terlalu dikenang."

Aku mengerutkan kening, mencoba mencerna kalimatnya. Mereka satu orang, tapi berbeda kondisi? Pikiran itu berputar-putar di kepalaku, menabrak keyakinanku yang sudah kubangun begitu lama.

"Tapi kenapa dia memberi jarak pada gua di awal, Cin?" tanyaku lagi, masih mencari celah untuk membantah pemikiran Cindy.

Cindy tersenyum kecil, kali ini lebih lembut. "Karena kalau dia mau menunjukkan sosok Pak Ariel, dia harus membuat lu mengenalnya dari awal lagi. Kalau nggak, lu mungkin hanya akan melihatnya sebagai Dwi yang lu temui dulu, bukan sebagai dirinya yang sekarang."

Aku tersentak. Kata-kata Cindy seperti kunci yang membuka pintu yang selama ini tertutup rapat. Tapi aku masih enggan menerima semuanya begitu saja.

"Bagaimana dengan kebohongannya soal umur dan pekerjaannya, Cin? Itu keterlaluan, kan?" tanyaku, mencoba mencari celah lain.

Cindy mengangguk setuju. "Iya, itu salah. Tapi coba pikir lagi. Bukankah lu yang bilang kalau lu melihat angka 20 di gelang pasien Dwi waktu itu?"

Aku tertegun. Seketika itu juga aku sadar—aku yang melihat angka itu, tapi aku juga yang salah mengira. "Astaga!" seruku, setengah berbisik. "Tulisan di gelang itu manual, bukan dicetak sistem. Angkanya nggak jelas. Mungkin gua salah lihat antara 30 dan 20."

Cindy melanjutkan dengan tenang, "Dan mungkin saja dia merasa nyaman karena lu nyaman. Lu merasa dia seumuran, jadi dia ikut menyesuaikan. Kalau dia bilang yang sebenarnya, lu mungkin nggak akan seakrab itu dengannya."

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Analisis Cindy terlalu tajam untuk kubantah. Aku hanya duduk diam, memandangi ikan-ikan yang muncul ke permukaan, memakan remah-remah roti yang dilemparkan anak kecil yang lewat.

Angin sore kembali berhembus, menyentuh wajahku dengan lembut. Perasaan yang selama ini membanjiri pikiranku perlahan mulai surut, digantikan oleh logika yang perlahan mengakar. Aku tidak sepenuhnya puas, tapi setidaknya sekarang aku mulai melihat segala sesuatunya dari sudut pandang yang berbeda.

***

Langit yang memerah mulai tergantikan dengan bayangan malam ketika mobil melaju perlahan memasuki kompleks perumahanku. Sepanjang perjalanan, kami hanya berbicara sesekali, tapi pikiranku terus melayang-layang pada pertanyaan-pertanyaan yang entah mengapa sulit kuhentikan. Di sisiku, Cindy tetap seperti biasanya—tenang, mengemudi dengan penuh perhatian, namun kehadirannya terasa seperti jangkar yang menahanku tetap berpijak.

Ketika Cindy menawarkan apakah aku ingin dia kembali menginap malam ini, hatiku menghangat. Dia tahu aku masih rentan, walaupun aku sudah mencoba bersikap biasa saja. Tapi aku tahu waktu Cindy tidak banyak. Skripsinya masih dalam tahap perbaikan, dan batas waktu untuk seminar hasil semakin dekat. Aku tidak ingin mengorbankan waktu berharganya lagi.

"Enggak usah, gua udah lumayan baik sekarang," kataku sambil tersenyum kecil.

Cindy melirikku sekilas, matanya menyelidik seolah mencari jejak kebohongan di wajahku. Aku tahu dia selalu bisa membaca suasana hatiku, tapi kali ini aku benar-benar ingin dia percaya. Akhirnya, dia tersenyum, senyuman yang hangat dan menenangkan.

Namun, tepat ketika mobil berbelok ke jalan utama kompleks rumahku, mulutku tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan yang selama ini menggantung di benakku.

"Cindy... menurut lu, apakah Pak Ariel akan mengakui dirinya Dwi suatu saat nanti?"

Aku bisa merasakan tatapan Cindy melirikku sejenak, kemudian kembali ke jalan di depannya. Dia menarik napas pelan sebelum menjawab, suaranya terdengar tenang namun penuh keyakinan.

"Itu tergantung seperti apa hubungan kalian nantinya," katanya. "Kalau dia akhirnya mengakui dia adalah Dwi, berarti dia memang menaruh hati pada lu dan serius dengan lu. Tapi kalau dia tidak pernah mengakuinya..." Cindy terdiam sejenak, seolah memberi ruang untuk kata-katanya mengendap dalam pikiranku. "...berarti dia hanya menganggap lu rekan kerja."

Hatiku seakan bergetar mendengar jawaban itu. Dua kemungkinan yang seakan memberiku harga mati. Tidak ada area abu-abu di antara keduanya, tidak ada tempat untuk penyangkalan atau harapan setengah-setengah. Apakah semua ini akan berakhir menjadi sesuatu yang berarti? Atau hanya akan menjadi kenangan yang tersimpan dalam kotak memori tanpa pernah mendapatkan jawaban?

"Kalau gua memintanya untuk mengakui semua ini, karena gua sudah tahu?" tanyaku lagi, hampir memohon.

Cindy menggelengkan kepalanya, kali ini sedikit lebih tegas. "Itu berarti lu menekan Pak Ariel sebelum waktunya. Apa pun jawaban yang dia berikan nanti, itu bisa saja bukan yang sebenarnya ingin dia tunjukkan pada lu. Lu akan kehilangan kesempatan karena terburu-buru."

Jawabannya terdengar masuk akal, tapi juga seperti tamparan halus. Aku terdiam. Tatapanku beralih ke luar jendela, memandang jalanan yang sepi dan lampu-lampu jalan yang mulai menyala. Kata-kata Cindy terus berputar di kepalaku.

Apakah aku benar-benar siap menerima kemungkinan itu? Jika aku memaksanya sekarang, mungkin aku hanya akan mendapatkan jawaban yang tidak tulus. Tapi, kalau aku membiarkannya terlalu lama, apakah aku akan selamanya menunggu tanpa kepastian?

Bayangan Dwi di masa lalu dan Pak Ariel di masa kini bercampur aduk dalam pikiranku. Dua sosok yang tampaknya begitu berbeda, tapi entah bagaimana aku tahu mereka adalah satu. Apakah dia masih Dwi yang dulu, yang aku temui di ruangan rumah sakit itu? Atau apakah dia sudah sepenuhnya berubah menjadi pak Ariel yang menjaga jarak, penuh rahasia?

Aku tidak tahu lagi mana yang lebih menyakitkan—kenangan akan seseorang yang pernah kurasa dekat, atau ketidakpastian akan siapa dia sebenarnya sekarang. Yang aku tahu hanyalah, pertanyaan ini tidak akan selesai malam ini. Aku harus menunggu, meskipun itu terasa seperti beban yang berat.

Cindy tidak berkata apa-apa lagi setelah itu, dan aku pun hanya menatap jalanan. Jauh di dalam pikiranku, kenangan dan harapan berbaur menjadi sesuatu yang tidak bisa kupahami sepenuhnya. Yang tersisa hanyalah keheningan, diiringi suara roda mobil yang melaju perlahan ke rumahku.

***

Cindy mematikan mesin mobil saat kami berhenti di depan rumahku. Langit senja yang mulai memudar menjadi gelap memberikan suasana yang tenang. Aku membuka pintu mobil dan melangkah keluar, tapi Cindy tetap duduk di kursinya, menatapku yang berdiri di samping pintu.

"Sher, sebelum gua pulang, ada satu hal lagi," kata Cindy sambil menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, bibirnya melengkung dalam senyuman tipis.

Aku menoleh, alisku terangkat seolah bertanya, "Apa lagi?"

"Gua rasa lu harus berhenti menonton drama Korea yang berakhir dengan cinta segitiga atau pria misterius," ujar Cindy dengan nada menggoda, "Lu sudah cukup drama di dunia nyata. Nanti malah kebawa mimpi."

Aku mengerutkan kening, tapi tak lama kemudian aku terkekeh kecil. "Serius, Cin? Gua hampir frustasi di sini, dan lu malah bercanda soal drama?"

"Justru itu. Lu butuh jeda dari semua ini. Kalau nggak, nanti lu bisa mulai berpikir Pak Ariel sebenarnya agen rahasia atau alien," balas Cindy, matanya bersinar nakal.

Aku menggeleng, tapi senyumku mulai merekah lebih lebar. "Gua beneran nggak tahu gimana caranya lu bisa membuat semua ini terasa lebih ringan."

"Itu bagian dari profesi masa depan gua," jawab Cindy, suaranya kini terdengar lebih serius. "Belajar di jurusan Ilmu Pemerintahan mengajarkan gua untuk melihat masalah secara struktural, menganalisis, dan berbicara dengan logika. Kadang gua bahkan terlalu logis, sampai lupa kalau nggak semua masalah butuh solusi instan. Tapi gua bersyukur bisa menerapkannya untuk lu."

Aku menatap Cindy sejenak, ada rasa terima kasih yang tak terucap di mataku. "Jadi semua ini karena lu biasa 'debat' di kelas, ya?"

"Bukan cuma di kelas," Cindy menyeringai. "Tapi di organisasi, rapat mahasiswa, bahkan diskusi panjang soal siapa yang bayar kopi di kantin. Semua itu latihan mental buat momen seperti ini."

Aku tertawa kecil, suasana yang sebelumnya berat mulai mencair. "Gua jadi merasa punya konsultan pribadi."

"Gratis pula," tambah Cindy sambil mengedipkan mata. Ia membuka pintu mobilnya, melangkah keluar untuk berdiri di sampingku. "Gua serius, Sher. Kalau butuh gua lagi, nggak usah ragu untuk bilang. Tapi ingat, gua nggak bisa bikin laporan skripsi gua selesai sendiri kalau tiap malam gua harus dengar lu merengek soal pak Ariel."

Aku memukul ringan lengan Cindy, tapi tawa kami pecah bersamaan. Setelah beberapa saat, Cindy kembali ke mobilnya, tetapi tidak sebelum memberikan satu senyuman penuh keyakinan. "Lu akan baik-baik saja, Sher. Gua tahu itu."

Aku mengangguk pelan, hatiku terasa lebih ringan. Aku berdiri di tepi jalan, menatap mobil Cindy yang perlahan menjauh, lampu belakangnya semakin redup di kejauhan. Aku menghembuskan napas panjang, mencoba meredakan gejolak di dadaku. Tapi pikiranku menolak untuk diam. Kata-kata Cindy tadi terus berputar seperti gema di lorong yang panjang, terutama tentang dua pilihan itu: apakah dia akan mengaku sebagai Dwi suatu saat nanti, atau tidak pernah sama sekali.

Jika dia mengaku, apakah itu berarti dia serius denganku? Tapi jika tidak... Aku menggigit bibir, tak berani membayangkan kemungkinan yang lebih dingin itu.

Aku menunduk, memandang ujung sepatuku yang menyentuh jalan. "Apa yang akan aku lakukan jika dia tidak pernah mengakuinya?" gumamku pelan, nyaris tak terdengar di tengah suara angin sore. Jawabannya muncul di sudut hatiku: aku harus menerima.

Aku harus siap menghadapi kenyataan, meski itu bukan yang aku inginkan. Pak Ariel—atau Dwi, siapa pun dia—adalah seseorang dengan sisi yang lebih rapuh dari yang pernah aku bayangkan. Mungkin, dia menyembunyikan dirinya bukan karena tidak peduli, tetapi karena ada sesuatu yang lebih besar yang tidak ingin dia tunjukkan.

Aku menarik napas dalam, merasakan udara dingin memenuhi paru-paruku. Aku tahu aku harus berani. Berani menghadapi apa pun yang menantiku di ujung perjalanan ini, apakah itu sebuah hubungan yang lebih dalam atau hanya sekadar kenangan yang harus aku lupakan.

Dengan langkah perlahan, aku berjalan masuk ke gang rumahku, membiarkan pikiran itu terurai sedikit demi sedikit. Aku tahu, menerima sisi rapuh seseorang bukanlah hal yang mudah, tapi jika itu berarti aku bisa memahami pak Ariel lebih baik, aku ingin mencoba.

Langit sudah mulai gelap, tapi hatiku terasa lebih terang. Mungkin ini awalnya: keberanian untuk menerima segala kemungkinan, tanpa menuntut jawaban yang belum waktunya.

***