POV Sherly
Aku turun dari mobil hitam itu dengan tubuh yang terasa berat. Tatapan Ibu yang khawatir menyambutku begitu aku melangkahkan kaki ke halaman rumah. Beliau tergesa menghampiri, wajahnya menyiratkan pertanyaan yang tak terucap. Aku hanya bisa menggeleng pelan, memberi isyarat bahwa aku tidak ingin menjelaskan apa-apa. Tidak sekarang.
"Terima kasih, Pak Agus," suara Ibu terdengar lirih namun penuh penghargaan sebelum beliau memapahku masuk ke dalam rumah. Aku mengikutinya dengan langkah pelan. Seluruh tubuhku seolah tak punya tenaga, bahkan untuk sekadar menjaga pandangan agar tidak kosong.
Sampai di kamar, Ibu membaringkanku perlahan, menyelimuti tubuhku yang terasa dingin meski ruangan ini tidak ber-AC. Beliau meminta aku beristirahat, tapi aku tahu Ibu terlalu mengenalku untuk percaya bahwa tidur akan menjadi jawabannya.
"Ibu ambilkan makan siang dulu, ya," katanya lembut sebelum pergi ke dapur.
Aku hanya mengangguk pelan. Aku tahu beliau khawatir, tapi aku tidak punya kekuatan untuk bicara. Tidak sekarang.
Ibu kembali dengan sepiring nasi dan lauk yang disiapkan khusus untukku. Beliau menemaniku makan di kamar, tanpa banyak kata, hanya sesekali memintaku untuk menghabiskan makanan itu. Aku menurut, meski rasanya tidak ada yang bisa benar-benar aku nikmati. Setelah piring kosong, aku duduk di tepi tempat tidur, mencoba melawan rasa pening yang terus menguasai kepalaku.
"Istirahatlah," Ibu mengusap pundakku pelan sebelum keluar dari kamar.
Aku berbaring lagi, memandang langit-langit kamar yang putih pucat. Namun, pikiran yang kacau terus bergulung di kepalaku, membuat mataku yang sembab tidak mau terpejam. Aku tahu Ibu pasti memperhatikan semua ini, tapi beliau memilih untuk memberi ruang. Itu caranya mencintaiku—dengan menghormati pilihan dan kebutuhanku.
Tak lama kemudian, suara ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunanku. Aku mendengar suara Ibu berbicara dengan seseorang, lalu langkah kaki mendekat.
"Sherly?"
Aku tahu suara itu. Cindy. Aku menoleh perlahan dan mendapati sosok sahabatku berdiri di ambang pintu. Dia datang. Meski aku tahu dia pasti sibuk dengan urusannya di kampus, dia tetap datang untukku.
"Cindy..."
Aku berusaha bangkit meski kepala terasa berat. Sebelum aku sempat berkata apa-apa, Cindy sudah mendekat dan memelukku erat. Pelukan itu—hangat dan penuh pengertian—menjadi tempatku meluruhkan sedikit beban di dada. Aku membalas pelukannya, dan tanpa sadar air mata kembali mengalir, meski aku mencoba menahannya.
"Gua di sini," Cindy berbisik lembut sambil mengelus punggungku.
Aku ingin bicara, tapi kata-kata terasa sulit keluar. Yang bisa kulakukan hanya membiarkan isakan kecil lolos dari bibirku, menyampaikan apa yang tidak bisa terucap.
Beberapa menit berlalu. Aku akhirnya melepas pelukan itu dengan enggan. Aku menatap Cindy, yang balas menatapku dengan pandangan penuh perhatian.
"Hati gua... pikiran gua... semuanya kacau, Cin," suaraku nyaris tak terdengar.
Cindy tidak langsung menjawab. Dia mengamati wajahku, mungkin mencoba memahami betapa kusutnya aku saat ini. Setelah terdiam beberapa saat, dia akhirnya berbicara.
"Ayo kita keluar," ajaknya dengan senyum hangat.
Aku mengerutkan kening, sedikit heran dengan saran itu.
"Ke taman kota," lanjut Cindy. "Tempat kita dulu suka duduk di bawah pohon rindang, ingat? Mungkin suasana di sana bisa bikin lu merasa lebih baik."
Aku menghela napas panjang, menimbang tawarannya. Meninggalkan kamar ini terdengar melelahkan, tapi aku tahu Cindy tidak akan memaksaku jika aku menolak.
Lalu aku melihat senyumannya—senyum tulus yang selalu membuatku merasa ada harapan meski hanya sebutir kecil.
"Baiklah," jawabku pelan sambil mengangguk.
Cindy tersenyum lebih lebar, seolah lega karena aku mau menurutinya. Aku pun bangkit perlahan, mencoba mengabaikan pusing di kepalaku. Mungkin benar, keluar dari kamar ini dan kembali ke tempat itu bisa membuatku sedikit bernapas lebih lega. Jika ada satu orang yang aku percaya bisa membantuku melalui ini, itu Cindy.
***
Mobil melaju perlahan di jalan yang mulai lengang, angin sore sesekali masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Cindy duduk di sampingku, sesekali melirik ke arahku dengan senyuman kecil yang penuh perhatian. Aku tahu dia ingin memastikan aku baik-baik saja, meskipun aku belum mengatakan apa-apa sejak kami meninggalkan rumah.
"Kita hampir sampai," ucap Cindy lembut, suaranya seperti pelukan hangat yang meredakan kepenatan. Aku hanya mengangguk, mencoba memaksa bibirku melengkungkan senyuman.
Taman kota itu tak banyak berubah sejak terakhir kali kami ke sana. Langit masih biru terang, meskipun matahari mulai condong ke barat. Waduk buatan di tengah taman itu berkilauan diterpa sinar matahari yang memantul di permukaan airnya. Pohon-pohon besar yang berdiri kokoh di sepanjang tepian waduk memberikan keteduhan yang menenangkan. Angin bertiup lembut, menyentuh wajahku seolah ingin menghapus jejak kesedihan yang melekat di sana.
Ada beberapa kursi panjang di bawah pohon-pohon itu, sebagian diduduki oleh pasangan tua yang berbincang pelan, atau keluarga kecil yang tertawa riang bersama anak-anak mereka. Di tepi waduk, anak-anak kecil bersemangat melemparkan potongan roti ke dalam air, mengundang ikan-ikan kecil bermunculan ke permukaan.
Kami memilih tempat di bawah pohon yang rindang, tidak jauh dari kursi favorit kami sewaktu kecil. Aku menghirup udara segar dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di hatiku. Tempat ini, meskipun sederhana, selalu punya cara untuk membuatku merasa seperti pulang.
Kenangan Masa Kecil yang Berkesan
Taman ini adalah saksi bisu dari banyak cerita kami, tetapi ada satu kenangan yang selalu melekat di benakku. Aku masih ingat hari itu dengan begitu jelas.
Aku hanya seorang anak SD yang belum mengerti mengapa dunia bisa begitu kejam. Tuduhan mencuri uang teman sekelas menghantamku seperti badai yang tak terduga. Hanya karena aku terlihat berada di kelas saat jam istirahat, mereka menudingku sebagai pelakunya. Tidak ada yang mau mendengarkan aku.
Aku diinterogasi di ruang guru, dan saat itu aku merasa seperti dunia berhenti berputar. Aku menangis, tidak tahu bagaimana membela diri. Namun, Cindy—sahabatku yang selalu berani—muncul seperti cahaya di tengah kegelapan. Dia berbicara lantang, berusaha meyakinkan guru bahwa aku bukan pelakunya.
"Aku tahu Sherly! Dia tidak akan melakukan hal seperti itu!" Cindy bersikeras, suaranya bergetar tetapi penuh keyakinan.
Ketika usahanya tampak sia-sia, aku melihatnya menoleh ke arahku. Matanya yang bulat itu penuh dengan dorongan. Untuk pertama kalinya, aku merasa ada seseorang yang percaya padaku sepenuhnya.
Dan saat itulah, aku memberanikan diri untuk berbicara. Dengan suara yang goyah, aku berkata, "Kalau Ibu tidak percaya, silakan periksa tas saya."
Keberanianku kecil, tapi Cindy membuatnya terasa cukup besar untuk mengubah keadaan.
Setelah itu, kami kembali ke taman ini, duduk di tempat ini, di bawah pohon yang sama. Aku menangis, mengeluarkan semua rasa sakit yang kurasakan. Cindy menghiburku, mengingatkanku bahwa aku tidak sendiri, bahwa aku berhak membela diri.
Renungan di Saat Ini
Melihat taman ini lagi, ingatan itu muncul seperti aliran air yang mengalir deras. Aku menghirup napas dalam-dalam, mencoba menahan haru yang mulai menyelinap. Keberanian Cindy waktu itu menjadi titik balik dalam hidupku. Dia mengajarkanku bahwa ketidakadilan tidak akan pernah berubah jika tidak ada yang melawannya.
Bagiku, kehilangan Bang Ega adalah kehilangan pelindung yang pertama. Ketika ayah meninggalkan kami, aku merasa dunia ini begitu dingin, dan aku tak punya tempat berlindung. Tapi Cindy selalu ada. Dia tidak hanya seorang sahabat, dia adalah penopangku, orang yang membuatku percaya bahwa aku tidak sendirian.
Aku melirik Cindy yang duduk di sampingku, matanya masih sama seperti dulu—penuh kehangatan dan keyakinan. Dia tersenyum padaku, dan aku hanya bisa membalas dengan senyum kecil yang penuh rasa syukur.
Aku menarik napas lagi, kali ini lebih ringan. Tempat ini, kenangan ini, dan Cindy—mereka adalah pengingat bahwa aku pernah kuat, aku pernah melawan, dan aku bisa melakukannya lagi. Aku tidak sendirian.
***