POV Sherly
Pagi itu, aku memutuskan untuk berangkat ke kantor bersama Cindy. Rasanya aku belum siap untuk bertemu dengannya—Pak Ariel… atau Dwi? Aku bahkan tidak tahu harus memanggilnya siapa. Setelah mengirimkan pesan pada Pak Ariel, menjelaskan bahwa aku akan berangkat bersama Cindy, aku menerima balasannya yang singkat, "Saya mengerti. Kamu baik-baik saja, kan?"
Aku menjawab dengan singkat pula, berusaha meyakinkan bahwa aku baik-baik saja, meskipun nyatanya... aku tidak.
Di kantor, aku mencoba menyibukkan diri. Untungnya, Pak Ariel sedang menemani para direktur dalam rapat bersama calon kolega luar negeri. Ini memberiku ruang untuk mencoba fokus. Namun, di sela-sela pekerjaanku, pikiranku kembali pada teori gila itu. Teori yang membuatku tidak bisa tidur dengan tenang. Aku berusaha keras mematahkan semuanya. Semua kebetulan itu hanya... kebetulan. Harusnya begitu, kan?
Aku menghela napas panjang. Dengan tangan bergetar, aku membuka chat Dwi yang belum sempat kubalas tadi pagi. Sekuat tenaga, aku berkata pada diriku sendiri bahwa ini tidak nyata. Dwi bukan Pak Ariel. Dwi bukan...
"Tetap tenang, Sherly," bisikku, meskipun dadaku terasa seperti dihimpit batu besar. Aku membalas pesan Dwi, mencoba terdengar biasa. "Aku baik-baik saja. Bagaimana kabarmu sekarang?"
Namun, detik berikutnya, suara getaran samar terdengar dari meja sebelahku. Tas laptop Pak Ariel.
Nafasku tercekat.
Aku mencoba mengabaikannya, tapi sesuatu dalam diriku mendesakku untuk memastikan. Dengan langkah ragu, aku mendekati tas itu. Tanganku gemetar saat menyentuhnya. Sebuah ponsel hitam polos berada di dalam. Ponsel yang… aku tahu pernah kulihat sebelumnya.
Aku menggigit bibir bawahku. Jantungku berdetak begitu cepat hingga kurasa bisa kudengar. Aku mengeluarkan ponselku dan menatap layar chat dengan Dwi. Dalam hati, aku memohon. "Ini tidak mungkin," bisikku pelan. Tapi, aku harus memastikan.
Dengan tangan gemetar, aku mengetik huruf "P" pada chat Dwi. Aku mengalihkan pandanganku ke ponsel hitam itu, menahan napas, lalu menekan tombol kirim.
Satu detik. Dua detik.
Layar ponsel hitam itu menyala.
Pop-up chat muncul di atas layarnya. Sebuah pesan masuk.
Kakiku melemas.
Aku menatap layar ponselku sendiri, berharap aku salah lihat. Tapi aku tahu aku tidak salah. Napasku terasa tersendat. Aku menggenggam ujung meja untuk menopang diriku.
"Tidak... ini pasti salah," kataku pelan, berusaha mengingkari apa yang baru saja terjadi.
Aku mencoba lagi. Mengetik huruf "P" sekali lagi, dan dengan tarikan napas panjang, aku mengirimkannya.
Ponsel hitam itu kembali menyala. Getaran samar yang sama, pop-up chat yang sama.
Kali ini, sesuatu dalam diriku runtuh.
Tanganku meraih ponsel hitam itu dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Rasanya aku tidak mampu berpikir jernih. Kepalaku berdenyut hebat, mataku mulai panas. Aku mengambil ponselku sendiri, berlari keluar ruangan tanpa memedulikan Bu Risti yang menatapku heran.
Langkahku membawa aku ke kamar mandi, tempat aku bisa sendirian. Aku masuk ke salah satu bilik, mengunci pintu, dan akhirnya membiarkan air mataku jatuh.
Aku menangis tanpa suara, hanya sesegukan kecil yang terdengar di antara napas tercekatku.
Ini nyata. Semua ini nyata.
Aku tidak bisa menyangkal lagi. Dwi adalah Pak Ariel. Pak Ariel adalah Dwi.
Kenapa? Kenapa dia tidak memberitahuku sejak awal? Kenapa aku harus mengetahuinya dengan cara seperti ini?
Dadaku terasa sesak, seperti tidak ada udara yang cukup di ruangan kecil ini. Aku menggenggam dadaku, mencoba meredakan rasa sakit yang terasa begitu nyata. Tapi tidak ada yang membantu.
Air mataku terus mengalir tanpa henti. Aku tahu aku tidak bisa menerima ini. Aku tidak siap. Aku... aku tidak tahu harus bagaimana.
Di dalam ruang kecil itu, aku merasa dunia runtuh di sekelilingku.
***
Setelah hampir setengah jam berlindung di balik bilik toilet itu, tangisanku akhirnya reda. Seseguk yang tadi terasa mengguncang kini mulai berangsur hilang, meski jejaknya tetap tertinggal. Wajahku kusut, hijabku berantakan. Aku berdiri dengan lemas, keluar dari bilik itu, dan berjalan perlahan menuju wastafel.
Aku melepas peniti hijabku dengan tangan yang gemetar, lalu membasuh wajahku dengan air. Sensasi dinginnya menyentuh kulitku seperti tamparan kecil yang menyadarkanku dari mimpi buruk, tetapi nyatanya tidak. Aku menatap cermin di depanku, lipatan hijabku tak lagi rapi dan wajahku sembab memerah. Tatapan itu... seperti ada beban tak terlihat yang menekan hingga rasanya sulit bernapas.
Tanganku mencengkeram tepi wastafel, mencoba menopang tubuh yang terasa begitu lemah. Tapi lebih dari itu, aku seperti berusaha mempertahankan keseimbanganku di tengah pusaran emosi yang tak lagi bisa kukendalikan. Kepalaku tertunduk, dan di permukaan air yang perlahan menyusut di wastafel itu, aku melihat bayangan yang buram.
"Harus..." gumamku dalam hati, meski suaraku tak benar-benar keluar.
Aku harus menerima kenyataan ini. Meskipun aku belum mengerti, bahkan belum bisa menemukan alasan mengapa semuanya menjadi seperti ini.
Kembali kutatap wajahku di cermin, tetapi kali ini... bayanganku berubah. Samar-samar, wajahku seperti menjelma menjadi wajah Pak Ariel. Tidak, wajah Dwi. Atau siapapun dia sebenarnya. Aku menggeleng cepat, tetapi bayangan itu terlalu kuat. Seakan melintas di benakku semua momen bersamanya—kebaikannya, perhatian yang tak pernah kukira, bahkan pengorbanan yang tanpa pernah ia ungkapkan.
Hatiku memberontak. Bagaimana mungkin aku bisa tetap marah padanya? Bagaimana aku bisa menyalahkannya ketika logikaku justru membela dirinya? Tapi rasa sakit itu, kebohongan itu... semuanya terlalu sulit kuterima. Hati kecilku seperti menusuk dari dalam, memohon keadilan, sementara pikiranku terus memaksaku untuk memahami.
Aku membasuh wajahku lagi, mencoba menghilangkan jejak rasa yang masih menyesakkan dada. Dengan tisu, aku mengeringkan sisa air di wajahku, lalu mencoba merapikan hijabku. Kupasang senyum kecil di bibirku, meski aku tahu senyuman itu palsu, dipaksakan, nyaris memuakkan. Tapi aku tak punya pilihan lain.
Saat aku melangkah keluar dari kamar mandi, koridor terasa lebih panjang dan sunyi dari biasanya. Derap langkahku menggema samar, seolah dunia memperhatikan setiap tindakanku. Aku menunduk, mencoba fokus pada ujung koridor yang tampak seperti tujuan jauh yang tidak kunjung mendekat.
Namun langkahku tiba-tiba terhenti ketika suara lembut dan akrab memanggil namaku. "Sherly?"
Aku mengangkat kepala dengan sedikit terkejut. Kak Diah, akuntan yang sering bekerja denganku, berdiri hanya beberapa langkah di depanku. Kak Diah tersenyum seperti biasa, namun sorot matanya memancarkan kehangatan yang familiar.
"Oh… Kak Diah." Aku mengerjapkan mata, merasa sedikit kaget dengan kehadirannya. Lidahku terasa kelu untuk beberapa detik, hingga ia akhirnya bisa membalas, "Pagi, Kak Diah."
Aku mencoba tersenyum, tapi ia tahu senyumanku terasa berat, seperti topeng yang hampir retak. Kak Diah tampak memiringkan kepalanya sedikit, matanya menyisir wajahku dengan perhatian yang tidak biasa.
"Kamu baik-baik saja, Sher?" Suara kak Diah terdengar lembut, penuh perhatian.
Aku menelan ludah, lalu mengangguk cepat. "Iya… baik, Kak. Cuma… tadi buru-buru ke sini. Gak apa-apa kok." Jawabanku terasa begitu kaku bahkan bagi diriku sendiri.
Mata kak Diah menyipit sedikit, seolah membaca setiap garis di wajahku yang masih sembab dan berusaha menghindari tatapannya. "Kamu yakin?"
Aku mengangguk lagi, kali ini dengan lebih meyakinkan. Aku berusaha menyunggingkan senyuman lain, meskipun tahu itu sama palsunya seperti senyuman sebelumnya. "Iya, Kak. Aku harus balik ke ruangan sekarang, kerjaan numpuk."
Tanpa menunggu respons lebih lanjut dari kak Diah, aku melanjutkan langkahku. Aku merasa ada tatapan khawatir yang mengikutiku, seperti tangan tak terlihat yang menahan langkahku. Tapi aku tidak berhenti.
Sambil berjalan, dadaku terasa semakin berat. Aku tahu kak Diah menyadari sesuatu, tapi aku tidak punya kekuatan untuk menjelaskan atau sekadar berbasa-basi lebih lama. Semakin jauh aku melangkah, semakin terasa aku berlari menjauh dari kenyataan yang menyakitkan, walau di sudut hatiku aku sadar bahwa semua itu tetap tidak bisa aku hindari.
Langkahku terhenti sejenak di depan pintu ruangan manajer keuangan. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan sisa keberanian yang ada sebelum memasuki ruangan yang terasa semakin asing bagiku.
Ketika masuk ke ruangan, aku menyapa Bu Risti. Suaraku serak, tapi aku mencoba menyembunyikannya dengan nada yang lebih ceria. Meski matanya sempat menunjukkan rasa heran, ia hanya membalas sapaanku tanpa bertanya. Itu lebih baik. Aku tidak yakin bisa menjawab jika ada yang bertanya.
Aku kembali ke mejaku. Pak Ariel belum kembali dari rapat, dan aku menganggap itu sebagai keberuntungan kecil. Tidak mungkin aku menghadapi dia sekarang.
Kujatuhkan diriku ke kursi, lalu menarik napas panjang sebelum membuka dokumen yang tadi sempat tertunda. Aku mencoba fokus, tetapi pikiranku terus berlari ke tempat yang tak kuinginkan. Tanganku mengetik, tapi mataku kabur. Logikaku terus memerintah, memaksaku untuk bekerja, untuk bertindak seolah-olah semuanya baik-baik saja.
Hatiku berbisik lagi, meminta ruang untuk merasakan apa yang baru saja kusadari. Tapi aku tak memberinya tempat. Tidak sekarang. Tidak hari ini. Karena jika aku membiarkan diriku larut, aku tahu aku tidak akan mampu bangkit.
***
Dua jam berlalu sejak aku kembali ke meja, mencoba sibuk dengan dokumen yang sebenarnya tak satu pun kata di dalamnya berhasil masuk ke pikiranku. Ketika pintu ruangan terbuka dan suara langkah kaki yang familier terdengar, jantungku seolah melompat ke tenggorokan.
Pak Ariel masuk, menyapa Bu Risti seperti biasa, lalu menoleh ke arahku. Aku tidak berani mengangkat kepala, apalagi menatapnya. "Sherly," sapanya lembut. Suaranya terdengar segar, bertolak belakang dengan bayangan lelaki yang sering terlihat pucat dan lelah dalam ingatanku.
Aku menunduk, berpura-pura membaca dokumen di tanganku. "Iya, Pak," jawabku lirih, mencoba terdengar normal.
Langkah kakinya mendekat, berhenti di samping mejaku. "Kamu masih sakit?" tanyanya dengan nada khawatir.
Dadaku terasa sesak, dan aku tahu ini adalah kesempatan untuk menghindar, setidaknya sementara. Tapi ada rasa bersalah yang mulai muncul, menghantuiku sebelum aku bahkan memutuskan apa yang akan kukatakan.
Aku menarik napas, menimbang. Menatapnya saja terasa seperti ujian berat. Perlahan, aku mengangkat pandangan, dan mataku bertemu dengan tatapan hazel yang begitu kukenal itu. Wajahnya yang selalu aku kagumi kini terasa terlalu berat untuk kutatap lama.
"Saya… masih kurang enak badan, Pak," akhirnya aku berkata. Suaraku hampir serak, dan aku menelan ludah untuk menenangkan getaran di hatiku.
Wajahnya langsung berubah. Kekhawatiran itu begitu nyata hingga membuatku merasa kecil, seperti seseorang yang baru saja memanfaatkan niat baik orang lain untuk alasan yang tidak sepenuhnya jujur.
"Kalau begitu kamu pulang saja, Sherly," katanya cepat. "Istirahat di rumah, biar saya hubungi Pak Agus untuk mengantar kamu pulang."
Aku tidak sempat merespons. Ia sudah mengeluarkan ponselnya, menelepon seseorang, dan mengatur semuanya dengan cepat. Setengah dari diriku merasa bersalah; aku tidak benar-benar membutuhkan ini. Tapi setengah lainnya lega—aku butuh jarak.
Pak Ariel menoleh lagi padaku setelah menutup telepon. "Saya antar ke pintu utama," katanya.
Panik, aku buru-buru menggeleng. "Tidak usah, Pak. Saya bisa sendiri ke bawah. Tidak apa-apa."
Bu Risti yang duduk di seberang langsung berdiri, wajahnya cemas. "Sherly, saya antar ke bawah, ya? Biar lebih aman."
Aku menatap Bu Risti sejenak, lalu mengangguk. "Baik, Bu. Terima kasih."
Tapi ketika aku berdiri dan berjalan ke pintu bersama Bu Risti, langkah kaki lain terdengar di belakang kami. Aku menoleh sedikit, dan tentu saja, Pak Ariel juga ikut berjalan, meskipun ia menjaga jarak.
Hati kecilku merasa tertohok. Aku ingin ia berhenti menunjukkan perhatian seperti ini, karena semakin ia peduli, semakin besar rasa sakit di hatiku yang belum bisa menerima semuanya.
Di pintu utama, aku hanya sempat meliriknya sekilas sebelum memasuki mobil yang telah menunggu. Tatapan khawatir itu tetap melekat, membuatku semakin tidak tenang.
Saat mobil melaju meninggalkan gedung kantor, aku memejamkan mata dan menyandarkan kepala di kursi. Aku tahu aku belum menyelesaikan apapun, hanya melarikan diri dari perasaan yang begitu kacau. Tapi untuk saat ini, aku butuh waktu. Aku butuh udara. Dan aku hanya bisa berharap, waktu akan membantu hatiku berdamai dengan kenyataan ini.
***