POV Sherly
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Ketika mobil yang dikendarai Cindy berhenti di depan rumahnya, Aku baru sadar ke mana kami sebenarnya pergi. "Kenapa kita ke rumah lu, Cin?" tanyaku, suaranku pelan dan lelah.
Cindy tersenyum kecil sambil melepas sabuk pengamannya. "Gua mau ambil beberapa barang. Gua akan menginap di rumah lu malam ini."
Aku tertegun. "Menginap? Kenapa tiba-tiba?"
Cindy menoleh dan menatapku dengan lembut. "Karena gua khawatir dengan lu, Sher. Gua ingin memastikan lu baik-baik saja malam ini."
Aku diam sejenak, memandangi wajah sahabatku yang penuh perhatian. Setelah beberapa detik, aku tersenyum lelah. "Terima kasih, Cindy."
Saat mereka sampai di rumahku, ibu sudah menunggu di ruang tamu dengan wajah penuh kekhawatiran. "Sherly, kamu tidak apa-apa, Nak? Kamu kelihatan sangat lelah."
"Aku tidak apa-apa, Bu," jawabku, mencoba tersenyum untuk menenangkan ibu.
Ibu kemudian menatap Cindy dengan penuh rasa terima kasih. "Cindy, terima kasih banyak sudah menemani Sherly. Ibu benar-benar lega kamu ada di sini."
"Tidak perlu terima kasih, Tante. Sherly kan sahabat Icin," jawab Cindy sambil tersenyum.
Setelah makan malam singkat, aku pun diminta untuk segera beristirahat oleh ibu. Cindy menepati ucapannya, menemaniku di kamar. Kami berbaring berdampingan di ranjangku, namun suasana malam itu dipenuhi oleh keheningan yang berat.
Aku masih diam, memandang langit-langit kamarku yang berwarna putih pucat, berusaha meredakan kekacauan di kepalaku. Rasanya seperti ada ribuan suara yang berbisik, saling bertabrakan, menciptakan kebisingan yang tak tertahankan di dalam pikiranku. Cindy berbaring di sebelahku, tapi aku tahu ia tidak akan membiarkanku lolos begitu saja malam ini.
"Sher," suara lembut Cindy memecah keheningan, membuatku menoleh perlahan ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi? Gua tahu ada sesuatu yang lu sembunyikan."
Aku terdiam sejenak, menelan ludah dengan susah payah. Cindy adalah sahabatku, dan aku tahu dia hanya ingin membantuku. Tapi, bagaimana aku bisa menjelaskan ini? Semua ini terlalu rumit, terlalu gila. Namun, aku juga tahu, dia tidak akan berhenti sampai aku bicara.
"Gua… Gua bingung, Cin," kataku akhirnya, suaraku nyaris seperti bisikan. Dan saat itulah, tanpa bisa kucegah, tangisku pecah. Air mata yang kutahan sepanjang hari akhirnya jatuh, membasahi pipiku. Cindy tidak berkata apa-apa, hanya menepuk lenganku perlahan, memberiku ruang untuk melepaskan beban itu.
Setelah beberapa saat, aku mencoba mengatur napas, meski dadaku masih terasa sesak. Aku mengusap air mata dengan punggung tanganku, lalu menatap Cindy. "Lu masih ingat Dwi? Teman yang pernah gua ceritakan waktu di rumah sakit tiga tahun lalu?" tanyaku pelan.
Cindy mengangguk. "Ya, gua ingat. Kenapa?"
Aku menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. "Gua punya teori gila, Cin. Tentang Dwi dan Pak Ariel." Aku berhenti sejenak, menatap wajah Cindy yang tampak bingung. "Gua rasa mereka sebenarnya orang yang sama."
Cindy langsung terperanjat, matanya membelalak. "Apa?!" serunya, tapi aku cepat-cepat menutup mulutnya dengan tanganku. "Pelan-pelan, nanti Ibu dengar," bisikku panik.
Cindy melepaskan tanganku perlahan, tapi ekspresinya masih penuh keterkejutan. "Lu serius, Sher? Apa lu yakin?"
Aku mengangguk pelan, lalu mulai menjelaskan satu per satu hal yang membuatku sampai pada kesimpulan ini. "Nama mereka sama, Cin. Dwi Ariel Nathan atau Dwi. A. N. Tiga tahun lalu, gua melihat nama itu di gelang pasien yang dipakai Dwi. Dan sekarang, gua melihat nama itu lagi di hasil labor Pak Ariel." Aku meraih ponselku dan memperlihatkan foto hasil labor Pak Ariel yang sempat kuambil. "Lihat ini," kataku sambil menunjuk nama di bagian atas.
Cindy yang awalnya berbaring langsung duduk, mengambil kacamata dari meja dekat lampu tidur. Dia memandang layar ponselku dengan seksama, dan aku bisa melihat perubahan di wajahnya.
"Ini… Ini fakta yang sulit untuk dibantah," katanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik.
Aku mengangguk, merasa sedikit lega bahwa Cindy mulai percaya. "Tapi, Cin, kenapa? Kenapa dia menyembunyikan identitasnya dari gua? Apa alasannya?" tanyaku, lebih kepada diriku sendiri daripada Cindy.
Cindy menatapku, lalu menghela napas. "Itu juga pertanyaan yang gua tidak tahu jawabannya, Sher. Tapi, mungkin kita tidak bisa menebaknya sekarang. Kepala lu pasti sudah terlalu penuh dengan semua ini. Mungkin lebih baik kita istirahat dulu malam ini, baru besok kita pikirkan apa yang harus dilakukan."
Aku menatap Cindy beberapa saat, lalu mengangguk pelan. "Lu benar. Gua terlalu lelah," kataku akhirnya.
Aku kembali berbaring, menatap langit-langit kamarku yang terasa lebih asing dari biasanya. Meskipun aku mencoba memejamkan mata, pikiranku tetap dipenuhi oleh wajah Dwi, atau mungkin… Ariel. Aku tidak tahu harus menyebutnya apa sekarang. Tapi satu hal yang kutahu, aku harus mencari tahu alasan di balik semua ini. Besok adalah hari baru, dan aku akan menghadapi semuanya, apa pun itu.
***
Pagi itu, seperti biasa, aku terbangun satu jam sebelum subuh. Namun kali ini, aku tidak bangkit untuk shalat tahajjud seperti biasanya—aku sedang haid. Rasanya aneh tidak melakukan rutinitas itu, tapi tubuhku terasa berat, seperti ditarik oleh beban yang tak terlihat. Aku meraih ponsel di sampingku dengan hati-hati agar tidak membangunkan Cindy yang masih tertidur di sebelahku.
Ketika layar ponsel menyala, mataku langsung terpaku pada satu notifikasi chat yang belum terbaca sejak semalam. Pengirimnya: Dwi. Hati ini tiba-tiba berdesir keras. Tanganku gemetar ketika aku membuka pesan itu.
"Apa kabar, Sher?" tulisnya, sederhana, seperti pesan-pesan sebelumnya. Namun, kali ini, maknanya menusuk lebih dalam. Di dalam pikiranku, sosok Dwi bukan lagi sekadar nama di layar. Bukan lagi sosok samar yang hanya hidup dalam cerita tiga tahun lalu. Ia menjelma menjadi sosok Pak Ariel—dengan tatapan dinginnya, gayanya yang tegas, dan setiap ciri khas yang kini tidak lagi bisa aku abaikan.
Aku langsung meletakkan ponsel itu tanpa membalas. Napasku terasa sesak, dan aku memejamkan mata mencoba menenangkan diri. Tapi pikiranku justru semakin kusut. Bayangan itu, kenyataan itu, semuanya menumpuk seperti ombak yang menghantamku tanpa ampun.
Bagaimana mungkin? Bagaimana aku bisa menerima bahwa orang yang selama ini aku kagumi dari jauh, seseorang yang begitu dihormati, adalah sosok yang pernah berbagi cerita denganku dengan begitu santai dan hangat? Kenapa kenyataan ini terasa begitu asing? Kenapa di dunia nyata kami harus menjaga jarak, sedangkan dalam chat, kami pernah begitu dekat?
Aku menggigit bibir, mencoba menahan emosi yang melonjak. Namun semakin aku mencoba, semakin jelas fakta-fakta itu muncul di kepalaku. Aku teringat cerita tentang Dwi—leukemia, kemoterapi, cangkok sum-sum tulang belakang. Dua kali. Itu semua terlalu sulit untuk diterima.
Bagaimana aku bisa mengintegrasikan sosok Pak Ariel yang kuat, berwibawa, penuh kharisma, dan profesional, dengan fakta bahwa ia pernah begitu rapuh? Seseorang yang hidup dengan penyakit mematikan, seseorang yang mungkin setiap hari harus berjuang menyembunyikan kelemahan itu dan berpura-pura kuat?
Aku merasa seolah ada beban berat yang menghimpit dadaku. Rasanya seperti napas ini tertahan, dan aku tak tahu harus ke mana mencari udara. Air mataku jatuh begitu saja, tanpa izin, tanpa kendali. Dingin malam ini menyelinap ke dalam tulang, tapi itu bukan apa-apa dibandingkan dinginnya kenyataan yang kini harus aku terima.
Aku menarik selimut hingga menutupi sebagian wajahku, berusaha mencari rasa aman. Namun rasa dingin itu tetap menusuk. Mataku beralih menatap wajah Cindy yang masih terlelap di sampingku. Tidurnya begitu damai, seolah dunia tidak memiliki beban untuk ditanggung.
Aku iri. Aku ingin kembali ke masa di mana semuanya terasa lebih sederhana. Sebelum aku tahu kenyataan ini. Sebelum aku tahu bahwa sosok yang selama ini aku kagumi ternyata menyembunyikan begitu banyak luka. Luka yang kini terasa seperti milikku juga, meskipun aku tahu itu bukan hakku.
Namun, bagaimana pun aku berusaha menghindari pikiran ini, fakta itu tetap berdiri kokoh di depan mataku. Dan di balik semua ini, ada satu hal yang terus mengisi hatiku—aku peduli padanya. Terlalu peduli hingga rasanya menyakitkan.
Air mata kembali mengalir tanpa suara. Aku memeluk lututku di bawah selimut, berusaha menenangkan diri. Tapi malam ini, aku tahu, ketenangan adalah hal yang tidak akan aku temukan.
***