POV Sherly
Kepalaku masih terasa berat, seperti ada sisa-sisa beban yang tak berhasil kutinggalkan saat tidur tadi malam. Sakit kepala ini bukan hanya soal fisik, tapi ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang terus berputar di pikiranku sejak kemarin. Tapi aku tetap berangkat ke kantor, berpikir bahwa rutinitas mungkin bisa sedikit mengalihkan perhatian. Setelah sarapan cepat dan menelan obat sakit kepala, aku pun melangkah keluar.
Seperti biasa, Pak Agus yang menjemput. Pak Ariel sudah ada di dalam, duduk di belakang dengan tablet di tangannya. Fokus, seperti biasa, mungkin memantau perkembangan saham perusahaan. Aku memperhatikannya sekilas dari sudut mataku, mencoba menakar bagaimana caraku bisa membawa percakapan tanpa menimbulkan kecurigaan.
Lalu, tiba-tiba terlintas di pikiranku—operasi tumor jinaknya. Aku tahu ada proses panjang sebelum seseorang bisa didiagnosis. Pemeriksaan rutin, jadwal kontrol, hasil cek darah. Dan jika teoriku benar... mungkin ada celah di sana.
"Pak Ariel, gimana keadaan jahitannya sekarang?" tanyaku, berusaha membuat nadaku terdengar biasa saja, seolah ini hanya basa-basi.
Dia mengangkat wajah dari tabletnya dan menatapku. "Baik-baik saja, Sher. Tidak ada masalah," jawabnya sambil tersenyum tipis.
Aku mengangguk, mencoba mempertahankan nada santai. "Kalau tumornya sendiri, Pak. Sejak kapan tahu kalau ada tumor jinak itu?"
Pertanyaan itu membuatnya berhenti sejenak. Detik itu terasa lebih lama dari seharusnya. Matanya bergerak cepat dari layar tabletnya, seperti sedang memikirkan sesuatu dengan sangat hati-hati. Itu... menarik.
Lalu dia menoleh padaku, sorot matanya tenang, bibirnya melengkungkan senyuman kecil. "Dua minggu sebelumnya," katanya ringan. "Waktu kontrol rutin ke rumah sakit. Saya punya hipertensi, jadi sering cek darah. Dari situ kelihatan hasil yang nggak wajar. Setelah diperiksa lebih lanjut, ketahuan deh soal tumor itu."
Jawabannya begitu lancar, terlalu lancar, malah. Tidak ada keraguan di nadanya, tidak ada celah di setiap katanya. Dia tampak sepenuhnya percaya diri. Tapi aku tidak melewatkan apa pun—matanya, senyumnya, caranya menyampaikan. Tidak ada yang meleset, tidak ada yang janggal.
Namun, ada sesuatu di balik semua itu. Dia terlalu sempurna menjawabnya. Terlalu mulus.
Aku mengangguk pelan, berpura-pura puas dengan jawaban itu. "Oh, gitu ya, Pak. Syukurlah bisa terdeteksi lebih awal."
Pak Ariel mengangguk, lalu kembali ke tabletnya. Percakapan itu berakhir begitu saja, seperti pintu yang ditutup rapat. Tapi aku tahu, sesuatu disembunyikannya. Bukan hanya tentang tumornya, tapi ada yang lain.
Dia punya hipertensi, itu memang sudah kutahu. Tapi... entah kenapa jawabannya seperti menyisakan jejak yang tak bisa kucerna. Kepalaku yang berat tadi pagi kini semakin terasa penuh.
Aku memandangi jalanan dari jendela mobil, mencoba menyusun ulang percakapan tadi di kepalaku. Rasanya seperti bermain catur melawan lawan yang jauh lebih tangguh—setiap langkahku, dia sudah punya langkah antisipasi. Tapi aku belum selesai. Belum.
***
Ruang divisi keuangan mulai terasa lengang. Setelah beberapa jam berkutat dengan koordinasi bersama kak Diah dan tim akuntan pusat, akhirnya aku kembali ke ruangan Pak Ariel. Tugas hari ini sudah hampir selesai, hanya tinggal memastikan laporan dari cabang tersampaikan dengan jelas.
Meja Pak Ariel masih kosong. Sejak siang tadi, beliau ada rapat di ruangan direktur keuangan. Aku duduk di kursiku, mencoba melepas lelah sejenak. Tanganku meregang, badanku bersandar pada sandaran kursi. Tapi pikiran ini... tidak mau ikut beristirahat.
Teori gila itu kembali datang, memukul pikiranku tanpa ampun. Percakapan tadi pagi, cara Pak Ariel menjawab dengan begitu tenang, lancar, seolah tak ada yang disembunyikan. Tapi aku tahu... sesuatu di balik itu semua tidak sejalan.
Tiba-tiba pikiranku melompat ke foto hasil labor dan MRI miliknya. Aku pernah memotretnya beberapa waktu lalu—entah kenapa, mungkin hanya karena penasaran waktu itu. Tapi sekarang, foto itu seperti menjadi kunci yang harus kutemukan. Tanganku bergerak cepat mengambil ponsel dari meja. Aku membuka galeri, menelusuri folder demi folder, hingga akhirnya foto itu muncul.
Jantungku berdetak lebih cepat saat aku memperbesar gambar. Tulisan itu... "Dwi Ariel Nathan."
Duniaku seperti berhenti sejenak. Napasku tertahan. Seakan-akan lantai di bawahku bergoncang, membuatku hampir kehilangan keseimbangan. Dada ini... rasanya seperti ditinju, panas menjalar dari hati hingga ke kepala. Denyutannya begitu cepat, begitu keras, dan tiba-tiba kepalaku terasa sakit luar biasa.
Dwi Ariel Nathan.
Mataku terpaku pada nama itu, membacanya berulang-ulang seolah ingin meyakinkan diri bahwa aku tidak salah lihat. Dwi... A. N... Bukankah itu yang tertulis di gelang pasien yang dipakai Dwi tiga tahun lalu? Dwi yang saat itu terbaring di rumah sakit, dengan masker oksigen menutupi wajahnya.
Tanganku gemetar memegang ponsel. Tangan yang tak bisa kuatur ini hampir melepaskan benda kecil itu. Tubuhku mulai terasa lemas, pandanganku kabur, dan aku hanya bisa melipat tangan di atas meja, berusaha menyangga tubuhku sendiri yang seakan runtuh.
Bayangan itu kembali, sejelas siang hari. Wajah Dwi dengan masker oksigen, tatapannya yang kosong, namun matanya… mata itu. Mata hazel yang tak pernah kulupa, yang saat itu masih menyimpan sedikit cahaya, meskipun redup.
Cahaya di mata hazel.
Aku terdiam, dadaku sesak, dan air mata ini... kapan mulai jatuh? Aku tidak sadar, tapi sekarang pipiku basah. Ada rasa sakit yang begitu tajam menghujam dadaku, hingga aku tidak mampu memberi nama untuk rasa itu. Apa ini?
"Pak Ariel... Dwi..." gumamku pelan, hampir tak terdengar. Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban mengalir deras di pikiranku.
Tanganku masih gemetar, tubuhku seakan kehilangan kekuatan. Aku menutup mata, tapi bayangan itu semakin jelas, semakin nyata.
Kenapa ini semua terasa begitu salah, begitu sulit untuk diterima? Tapi... bagaimana mungkin aku salah? Apa yang selama ini kusangka sebagai teori gila... ternyata adalah kenyataan.
Cahaya di mata hazel itu kembali datang, tak lagi sekadar kenangan, melainkan sebuah perasaan yang begitu berat untuk dipahami.
***
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan debar di dadaku yang tak kunjung reda. Air mata yang tadi sempat membanjir kini telah kering, namun meninggalkan jejak di wajahku yang sembab. Pandanganku tertuju pada jam dinding yang terus berdetak, pukul empat sore. Rasanya hari ini begitu panjang, terlalu berat untuk dipikul oleh kepala yang masih terasa berdenyut ini.
Hari ini aku sedang haid, jadi tak perlu sholat Ashar. Tapi justru itu membuat pikiranku terlalu bebas melayang, tak ada jeda untuk melupakan apa yang baru saja aku temukan. Aku mengambil ponsel dan tanpa sadar menekan nomor Cindy. Suaraku nyaris tercekat saat mendengar suaranya yang ceria di ujung telepon. Dia sedang di kampus, baru saja selesai bimbingan. Aku memintanya menjemputku pulang kerja nanti. Tak ada alasan yang kuberikan, hanya permohonan sederhana yang keluar dengan nada tulus. Cindy terkejut, tentu saja. Dia tahu aku selalu pulang bersama Pak Ariel, bos yang selama ini menjadi rutinitasku setiap sore. Tapi dia tak bertanya lebih jauh, hanya mengiyakan dan langsung bersiap.
Aku meletakkan ponsel dan memejamkan mata sejenak. Kepalaku terasa berat, seperti ada batu besar yang terus menekan. Aku mencoba menata ulang napas, mengembalikan kendali atas tubuhku. Baru saja aku mencoba bangkit, suara langkah mendekat membuatku tersentak. Pak Ariel.
Dia memasuki ruangan dengan langkah ringan, wajahnya terlihat lebih cerah dari biasanya meski tetap menyiratkan kelelahan yang tak pernah benar-benar hilang. Sepertinya beliau baru selesai sholat Ashar di masjid kantor. Aku berusaha menghindari kontak mata, menunduk dalam-dalam sambil pura-pura sibuk membaca dokumen yang entah apa isinya. Tanganku gemetar, tapi aku terus berusaha terlihat biasa saja. Aku tak boleh membuatnya curiga.
Ketika jam pulang tiba, seperti biasa beliau merapikan mejanya lebih dulu. Lalu berdiri di depan mejaku sambil berkata dengan nada hangatnya yang khas, "Ayo pulang, Sher." Aku tahu ini saatnya. Aku tak bisa terus menunduk. Dengan berat hati, aku mengangkat wajahku. Pandangannya langsung berubah. Matanya membesar, penuh dengan kekhawatiran.
"Kamu kenapa? Apa yang terjadi? Kamu sakit?" Suaranya mengalir cepat, menembus dinding hatiku yang rapuh. Aku berusaha menjawab, mencoba menjaga nada suaraku agar tetap tenang. "Nggak apa-apa, Pak. Cuma nggak enak badan dari pagi tadi." Tapi suaraku parau, dan aku tahu dia pasti bisa merasakan itu.
"Kenapa nggak bilang dari tadi? Kamu memaksakan diri seperti ini, buat apa?" Nada cemasnya membuat dadaku semakin sesak. Aku hanya tersenyum kecil, tapi itu bukan senyum yang menenangkan. Pak Ariel langsung menawarkan diri untuk mengantarku ke dokter. Aku buru-buru menolak. "Nggak usah, Pak. Nanti saya pulang sama Cindy."
Aku melihat keterkejutan di wajahnya. "Cindy? Kenapa?"
Aku mencoba memberikan alasan yang masuk akal. "Saya cuma ingin lebih nyaman, Pak. Kalau sama Cindy, saya bisa lebih baik." Suaraku terdengar lemah, bahkan di telingaku sendiri. Tapi alasan itu cukup. Pak Ariel terdiam sejenak, sepertinya mencerna apa yang kukatakan. Lalu dia mengangguk pelan. "Baik, tapi pastikan kamu ke dokter nanti, ya. Jangan tunda-tunda."
Aku hanya mengangguk, tidak berani menatap matanya. Rasanya terlalu berat untuk bertemu dengan pandangan itu sekarang. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan atau kukatakan. Kepalaku masih terasa penuh, sesak dengan beban yang belum kutemukan jawabannya.
Kami berjalan beriringan menuju pintu utama. Langkahku berat, tapi aku terus memaksa diriku melangkah. Di depan pintu, aku melihat Cindy sudah berdiri di sana, menungguku. Melihatku, dia langsung mendekat, wajahnya penuh keheranan. Tapi dia tidak bertanya. Tangannya langsung menggenggam tanganku, hangat, penuh perhatian. Pak Ariel juga menghampiri Cindy, menyapanya dengan sopan dan ramah.
"Ini Cindy, ya? Temannya Sherly?" tanyanya. Cindy mengangguk, meskipun aku bisa melihat rasa kagumnya terhadap beliau.
"Tolong jaga Sherly, ya. Pastikan dia ke dokter nanti." Suaranya lembut, tapi penuh dengan rasa khawatir. Aku tahu dia tulus, benar-benar tulus. Cindy mengangguk lagi, kali ini dengan lebih serius. "Baik, Pak. Kami langsung berangkat."
Aku hanya bisa diam. Rasanya tubuhku kosong, tak ada energi tersisa. Ketika kami melangkah pergi, aku bisa merasakan tatapan Pak Ariel di punggungku, tapi aku tidak berani menoleh. Kepalaku terlalu berat, hatiku terlalu penuh dengan perasaan yang tak kupahami.
Saat pintu kantor tertutup di belakangku, aku menarik napas panjang. Tapi itu tidak membuatku merasa lebih baik. Langkahku tertatih, mengikut Cindy yang terus menggenggam tanganku. Aku tahu dia ingin bertanya, tapi dia menahan diri. Dan untuk itu, aku bersyukur. Aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semua ini. Bahkan aku sendiri belum sepenuhnya mengerti.
***