POV Sherly
Sabtu pagi, suasana di rumah begitu sibuk. Aku membantu Ibu membereskan rumah tetangga yang sedang berduka. Ketua RT kami, Pak Sugeng, meninggal dunia karena stroke mendadak. Tiga hari yang lalu, beliau masih tampak sehat, bahkan sempat menyapa kami saat lewat depan rumah. Kabar itu benar-benar mengejutkan semua orang di lingkungan kami.
Hari ini, jenazahnya akan dimakamkan, dan hampir seluruh warga ikut membantu. Aku meninggalkan ponselku di rumah—rasanya tidak sopan untuk sibuk dengan hal lain di tengah suasana seperti ini. Jadi, aku hanya fokus pada apa yang bisa kubantu, mulai dari menyiapkan kursi untuk tamu hingga membantu Ibu menghidangkan makanan kecil untuk pelayat yang datang.
Ketika siang menjelang dan prosesi pemakaman selesai, aku baru kembali ke rumah. Suasana mulai mereda, meski kesedihan masih terasa di udara. Aku berjalan ke kamarku dan meraih ponsel yang kutinggalkan sejak pagi. Ada beberapa notifikasi, tapi yang langsung menarik perhatianku adalah balasan dari Pak Ariel dan beberapa panggilan serta chat dari Om Bagas.
Aku membuka chat Pak Ariel terlebih dahulu.
"Maaf baru sempat membalas pesanmu, Sherly. Semalam saya sangat sibuk. Sepupu saya datang dari Jerman bersama tunangannya, jadi saya tidak sempat memeriksa ponsel. Dan, tolong jangan terlalu merasa seperti itu pada saya. Apa yang saya lakukan adalah hal yang seharusnya saya lakukan."
Hatiku hangat membaca pesannya. Seperti biasa, Pak Ariel selalu merendah, seolah-olah apa yang dia lakukan untukku adalah hal yang biasa saja. Tapi bagiku, semuanya luar biasa. Aku mengetik balasan sambil tersenyum kecil.
"Terima kasih tetaplah terima kasih, Pak. Tidak peduli apa pun kata Bapak. Oh iya, sepertinya kita berdua libur ini akan sibuk dengan keluarga masing-masing. Om Bagas tadi mengabari kalau beliau dan dua saudara lainnya akan datang ke rumah besok siang. Saya senang sekali mendengar kabar itu."
Setelah mengirim pesan itu, aku membuka chat dari Om Bagas. Aku tersenyum semakin lebar membaca pesannya yang memberitahukan rencana kunjungannya besok. Aku langsung membalas, meminta maaf karena tidak sempat mengangkat telepon tadi pagi dan menjelaskan bahwa aku sedang melayat ke rumah tetangga. Aku juga menambahkan betapa aku sangat senang dan tidak sabar menunggu kedatangan Om Bagas besok.
Beberapa menit kemudian, balasan dari Pak Ariel masuk lagi.
"Saya ikut senang mendengar kabar itu, Sherly. Om Bagas pasti sangat ingin bertemu denganmu. Oh iya, sepupu saya dan tunangannya datang karena saya tidak bisa menghadiri acara pertunangan mereka di Jerman. Saat itu kondisi saya belum cukup kuat untuk perjalanan jauh dengan pesawat, jadi mereka memutuskan untuk datang ke Indonesia. Sekalian memperkenalkan tunangannya dan liburan di sini."
Aku bisa merasakan nada hangat dan santai dalam pesannya, seolah-olah dia benar-benar senang bisa berbagi cerita denganku. Aku tersenyum membaca pesannya, senang mengetahui bahwa Pak Ariel merasa cukup nyaman untuk menceritakan hal-hal pribadi seperti ini.
Namun, sebelum aku sempat membalas lagi, Ibu memanggilku dari dapur. "Sherly, ayo makan dulu! Dari pagi kamu belum makan, kan?"
Aku buru-buru mengetik balasan singkat.
"Saya makan siang dulu ya, Pak. Jangan lupa makan siang juga di sana. Selamat menikmati waktu bersama sepupu dan tunangannya!"
Setelah mengirim pesan itu, aku meletakkan ponsel di meja dan berjalan ke dapur. Ada rasa hangat di hatiku, bukan hanya karena kebahagiaan bertemu keluarga besok, tetapi juga karena percakapan singkat dengan Pak Ariel tadi. Entah kenapa, meski sederhana, aku merasa lebih dekat dengannya setiap kali kami saling berbagi cerita.
***
Minggu pagi, aku sibuk di dapur bersama Ibu. Kami mempersiapkan bahan-bahan masakan yang sudah dibeli kemarin di pasar sore. Suasana dapur penuh aroma bawang, rempah-rempah, dan sayuran segar. Sesekali Ibu menyuruhku istirahat, tapi aku menolak. Hari ini adalah hari istimewa, dan aku ingin membantu semampuku.
Ketika jam hampir menunjukkan pukul dua belas siang, tamu yang kami tunggu akhirnya tiba. Om Bagas datang bersama istrinya dan kedua anak mereka yang lucu. Di belakangnya, ada kakak laki-laki Om Bagas bersama istri dan tiga anak mereka. Yang terakhir, adik perempuan Om Bagas datang bersama suaminya—mereka tampak serasi meskipun belum memiliki anak. Rumah kami yang biasanya terasa lapang kini terasa penuh, tapi tidak ada seorang pun yang mengeluh.
Keakraban langsung terasa sejak mereka masuk ke rumah. Senyum dan sapaan hangat memenuhi ruang tamu kecil kami. Om Bagas memperkenalkan setiap anggota keluarga satu per satu. Meskipun ini adalah pertemuan pertama kami, suasana canggung tidak bertahan lama. Rasanya seperti bertemu dengan bagian dari diriku yang selama ini hilang.
Ibu tampak begitu bahagia. Aku menangkap binar di matanya ketika ia berbincang dengan istri Om Bagas atau tertawa kecil mendengar cerita dari adik perempuannya. Aku tahu, selama ini Ibu sering merasa kesepian, terutama setelah Ayah meninggal. Tapi hari ini, aku bisa melihat bahwa kekosongan itu mulai terisi.
Kami semua makan siang bersama di ruang makan yang disusun seadanya. Aku dan Ibu sudah menyiapkan banyak hidangan untuk memastikan tidak ada yang kurang. Obrolan mengalir begitu saja, mulai dari cerita masa kecil Om Bagas hingga guyonan tentang anak-anak mereka yang malu-malu saat pertama kali bertemu kami.
Saat melihat semuanya berkumpul, aku merasakan kehangatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ada rasa syukur yang mengalir deras di hatiku. Aku sadar, Allah memang tidak akan membiarkan hambanya berada dalam kesedihan terus-menerus. Ada masanya kebahagiaan datang, meskipun harus menunggu lama.
Bagi kami, hari ini adalah hari itu. Hari di mana kebahagiaan mengetuk pintu rumah kami dan memberikan harapan baru.
Ketika sore menjelang, setelah tamu-tamu pulang, aku duduk di ruang tamu yang kini terasa sunyi. Tapi kehangatan dari tawa dan cerita mereka masih tertinggal. Aku menatap Ibu yang tengah membereskan meja, wajahnya memancarkan kebahagiaan yang sulit disembunyikan.
"Sherly," katanya, menoleh ke arahku. "Terima kasih sudah membantu Ibu. Hari ini adalah hari yang sangat indah, kan?"
Aku mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Bu. Sangat indah."
Dan dalam hati, aku berdoa agar momen seperti ini bisa terus berulang. Karena sekarang aku tahu, keluarga adalah salah satu bentuk kebahagiaan terbesar yang bisa dimiliki seseorang.
***
Aku merebahkan diri di tempat tidur, merasa lelah tapi juga puas setelah berbincang panjang dengan ibu. Hari ini terasa seperti rollercoaster emosi yang menyenangkan. Namun saat aku baru saja hendak memejamkan mata, ponselku tiba-tiba berbunyi, menandakan ada pesan masuk.
Nama pengirimnya membuatku tertegun. Dwi.
Aku mengerjapkan mata, memastikan aku tidak salah lihat. "Dwi?" gumamku pelan. Sudah berapa lama sejak dia terakhir menghubungiku? Rasanya sudah berminggu-minggu, sejak sebelum aku pergi ke luar kota untuk tugas kantor. Saat itu, aku terlalu sibuk hingga tidak sempat memulai obrolan lebih dulu, dan tampaknya dia pun sama.
Pesannya sederhana. Sebatas sapaan biasa, tanpa tanda-tanda istimewa. Tapi tetap saja, itu cukup membuat jantungku berdegup lebih cepat. Setelah sekian lama, mengapa baru sekarang?
"Hei, maaf lama nggak chat. Apa kabar?" tulisnya.
Aku mengetik balasan sambil tersenyum kecil. "Baik. Tapi... kenapa baru sekarang menghubungi? Kukira kamu lupa kalau aku masih ada."
Balasannya datang dengan cepat, seperti dia memang sedang menunggu. "Haha, nggak lupa kok. Belakangan ini aku sibuk banget. Jadi nggak sempat ngobrol. Kamu sendiri, kok nggak pernah chat duluan?"
Aku membaca balasan itu dengan perasaan campur aduk. Benar juga, aku sendiri tidak pernah memulai percakapan. Sebenarnya alasannya sama: aku sibuk. Tapi mengatakannya sekarang terasa agak memalukan.
"Ah... iya, aku juga sama sibuknya. Jadi lupa," balasku, merasa sedikit bodoh karena menggunakan alasan yang sama.
Obrolan kami pun berlanjut dengan hal-hal ringan. Tentang kerjaan, tentang cuaca, bahkan tentang film baru yang katanya sedang booming. Entah kenapa, meski isi percakapan ini sederhana, aku merasa nyaman. Dwi punya cara membuatku merasa seperti sedang berbicara dengan seorang teman lama yang sudah kukenal bertahun-tahun.
Namun, obrolan itu tiba-tiba berubah arah ketika dia berkata, "Aku harus minum obat dan tidur. Besok ada jadwal yang padat."
Aku terdiam sejenak, memandangi layar. Obat? Oh iya, aku tahu dia pernah cerita kalau efek samping kemoterapi dulu membuat jantungnya menjadi sensitif. Ia harus minum obat-obatan rutin untuk menjaga kondisinya.
Rasanya ada sesuatu yang tergerak di dalam benakku. Ingatan itu muncul—tas kecil di kamar hotel Pak Ariel tempo hari. Waktu itu, aku tidak sengaja melihat deretan obat di dalamnya. Obat-obatan itu juga ditujukan untuk mengatasi masalah jantung. Dan sekarang... Dwi mengingatkanku pada itu. Apakah ini kebetulan?
Dengan rasa penasaran yang tiba-tiba menguat, aku mengetik pesan. "Boleh tahu obat apa saja yang kamu konsumsi?"
Balasan Dwi datang tak lama kemudian. "Metoprolol, lisinopril, aspirin. Kenapa tanya?"
Aku terdiam, mataku terpaku pada layar ponsel. Metoprolol, lisinopril, aspirin. Tiga nama itu terdengar sangat familiar. Aku mencoba mengingat kembali detail yang kulihat di tas Pak Ariel. Rasanya... ya, obat-obatan itu juga ada di sana.
Pikiranku berputar cepat, mencoba menghubungkan semuanya. Apakah semua penderita penyakit jantung mengonsumsi obat yang sama? tanyaku dengan setengah penasaran.
"Tentu nggak," balas Dwi lagi. "Tergantung rekomendasi dokter. Setiap pasien beda-beda."
Aku membaca balasan itu dengan dahi berkerut. Obat yang sama. Penyakit yang sama. Tapi... apa mungkin ini kebetulan? Atau ada sesuatu yang selama ini aku abaikan? Tidak, tidak mungkin. Dwi dan Pak Ariel adalah dua orang yang berbeda. Aku yakin. Lagipula, mereka... tidak ada hubungannya, kan?
Aku meletakkan ponselku di samping, memandang langit-langit kamar dengan pikiran yang terus berputar. Dwi adalah Pak Ariel? Tidak mungkin. Tapi semakin aku menyangkal, detail tadi malah terasa semakin masuk akal.
Aku memejamkan mata, mencoba mengusir teori gila ini dari kepalaku. Tapi rasa penasaran itu menempel erat, menggerogoti logikaku. Entah mengapa, ada sesuatu yang membuatku tidak bisa benar-benar yakin.
***
POV Sherly
Pagi itu terasa berbeda. Begitu mobil Pak Ariel tiba di depan rumahku, seperti biasa, aku menyapa sopir dengan senyum ringan dan melangkah masuk. Tapi ada sesuatu yang menggelitik di dadaku. Sebuah rasa yang sulit dijelaskan. Campuran curiga, penasaran, dan entah apa lagi.
Pak Ariel sudah menungguku di dalam, dengan raut wajah tenangnya yang khas. "Pagi, Sherly," sapanya ringan.
Aku mencoba terlihat biasa saja, mengangguk sambil membalas, "Pagi, Pak."
Sepanjang perjalanan, kami berbincang seperti biasa. Tentang pekerjaan, sedikit tentang cuaca, bahkan sesekali aku tersenyum pada candaan kecilnya. Namun, di balik percakapan itu, pikiranku terus berputar-putar pada teori yang muncul semalam. Dwi dan Pak Ariel... apakah mereka sebenarnya orang yang sama?
Aku mencoba mencari celah di antara kata-katanya, sesuatu yang bisa menguatkan atau mematahkan teori itu. Tapi, seperti biasa, Pak Ariel begitu terkendali. Tidak ada tanda-tanda mencurigakan, kecuali... matanya. Mata hazel itu. Warna yang tak biasa, warna yang entah bagaimana terasa akrab.
Saat kami tiba di kantor, aktivitas berjalan seperti biasa. Ibu Kirana sedang tidak di tempat, katanya sedang meninjau kantor cabang. Aku merasa sedikit lega. Setidaknya, tanpa kehadiran beliau, aku bisa lebih fokus. Atau begitulah pikirku.
Namun, teori gila itu terus menyerbu pikiranku. Kesehatan Dwi. Kesehatan Pak Ariel. Keduanya memiliki pola yang sama. Obat-obatan itu. Kulit pucat. Dan... matanya. Aku mencoba mengingat-ingat wajah Dwi yang pernah kulihat di rumah sakit tiga tahun lalu. Wajah yang pucat, dengan mata yang... berbeda. Apakah itu mata hazel? Aku tidak yakin. Tapi sesuatu di ingatanku mengatakan iya.
Di sisi lain, aku berusaha membantah. Tidak mungkin. Dwi dan Pak Ariel jelas berbeda usia. Dwi lebih muda. Tapi... bagaimana jika aku salah?
"Sherly," suara Pak Ariel tiba-tiba memecah lamunanku.
Aku hampir melonjak dari kursiku. "Ya, Pak?" tanyaku, mencoba terdengar tenang.
"Tolong periksa laporan kinerja pabrik ini. Saya akan menyerahkannya kepada Direktur Keuangan nanti," katanya sambil mengirimkan file ke cloud.
Aku mengangguk cepat. "Baik, Pak. Segera saya periksa."
Begitu membuka file di komputer, pandanganku langsung tertuju pada covernya. D. Ariel Nathan, MBA.
Aku terpaku. Huruf "D". Apa kepanjangan huruf itu? Napasku terasa tertahan. Apakah... Dwi? Tidak. Tidak mungkin. Aku menepis pikiran itu, tapi teoriku semakin menguat. Aku mencoba membuka dokumen-dokumen lain di mejaku, berharap ada petunjuk. Namun semua dokumen hanya menyebut nama itu dengan inisial yang sama: "D".
Pikiranku mulai merasa buntu. Aku ingin berhenti. Ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa ini hanya kebetulan. Tapi rasa penasaran itu terlalu kuat. Seperti ada sesuatu yang menarikku untuk terus menggali.
Lalu aku teringat sesuatu. Beberapa waktu lalu, aku pernah meminta data semua karyawan kepada HRD. Dengan cepat, aku mencari file itu ditumpukan mejaku. Kutelusuri daftar nama hingga akhirnya menemukannya: D. Ariel Nathan.
Masih sama. Hanya "D". Tidak ada petunjuk tambahan.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam kegelisahanku. "Mungkin aku memang terlalu berlebihan," gumamku pada diri sendiri. "Ini tidak mungkin." Tapi di dalam hatiku, sebagian kecil diriku tidak percaya.
Setelah menyelesaikan tugas yang diminta Pak Ariel, aku merasa dadaku semakin sesak. Pikiran ini terus berkecamuk tanpa kendali. Akhirnya, aku memutuskan untuk meminta izin.
"Pak, saya izin ke pantry sebentar," kataku, mencoba terdengar wajar.
Pak Ariel mengangguk tanpa banyak tanya. "Silakan."
Aku melangkah cepat menuju pantry, berharap suasana di sana bisa menenangkan pikiranku. Begitu sampai, aku bersandar di meja dan menatap kosong ke arah mesin kopi.
Tidak mungkin, kan? Dwi dan Pak Ariel?
Aku menggigit bibir bawahku, mencoba mengusir pikiran itu, tapi rasanya seperti menahan ombak besar yang terus menghantam. Entah apa yang sebenarnya sedang terjadi, tapi aku tahu... aku tidak akan bisa berhenti memikirkannya.
***
Menjelang sore, ruangan mulai terasa lengang. Pekerjaanku nyaris selesai, hanya tinggal beberapa laporan yang harus dipastikan sudah tersusun rapi. Pak Ariel juga tidak ada di ruangan. Katanya ada urusan di ruangan manajer sebelah. Aku sendirian.
Tapi justru di saat seperti ini, pikiranku malah semakin liar. Teori gila itu terus saja berputar di kepalaku, seperti mesin yang tak mau berhenti. Aku mencoba mengatur napas, mencoba mengalihkan fokus, tapi gagal total.
Aku menyandarkan tubuh ke kursi, menerawang sejenak. Lalu, tiba-tiba sesuatu terlintas di benakku. Chat Dwi.
Aku segera meraih ponsel di meja, membuka aplikasi chat, dan mulai menggulir ke atas, mencari percakapan lama dengan Dwi. Jemariku bergerak cepat, sementara mataku fokus menelusuri riwayat pesan kami. Semua terasa biasa saja... sampai aku menemukan satu chat yang terasa janggal.
"Hai," tulisku saat itu.
Namun, balasan dari Dwi benar-benar tidak sesuai konteks:
"Ada masalah lagi, Sher?"
Aku berhenti membaca sejenak, mencoba mencerna isi chat itu. Tidak nyambung. Saat itu, kami tidak sedang membicarakan masalah apapun. Bahkan, pesan sebelumnya terjadi siang hari, dan topiknya sangat berbeda.
Otakku langsung bekerja. Aku mencoba mengingat hari itu. Tanggalnya. Suasana waktu itu.
Lalu seperti kilatan petir, aku menyadari sesuatu. Hari itu... Pak Ariel tidak ada di kantor. Jika aku tidak salah ingat, beliau sedang menjalani perawatan pasca operasi. Aku mencoba memverifikasi ingatanku, membuka riwayat chatku dengan Pak Ariel di tanggal yang sama.
Dan di sanalah aku menemukannya.
Pada tanggal yang sama, dengan selisih menit yang tidak terlalu jauh, ada panggilan video call antara aku dan Pak Ariel. Aku ingat, saat itu beliau membantuku menyusun ulang anggaran biaya yang sempat gagal. Aku bahkan masih bisa mengingat suara tenangnya yang memberi arahan, meskipun waktu itu beliau terlihat sedikit lemah.
Aku tertegun. Apakah mungkin... Dwi sebenarnya adalah Pak Ariel?
Balasan dari Dwi yang terasa aneh itu sekarang seolah masuk akal. Bagaimana jika saat itu Pak Ariel lupa sedang menggunakan nomor Dwi? Bagaimana jika, tanpa sadar, beliau menulis balasan itu karena mengira aku menghubunginya untuk meminta bantuan lagi?
Logikaku berusaha menyangkal, tapi... semua ini terasa terlalu kebetulan. Pesan aneh itu. Tanggal yang sama. Panggilan video dengan Pak Ariel. Dan fakta bahwa Dwi selalu menggunakan nomor anonim.
Aku meletakkan ponsel di meja dengan gemetar, mencoba menenangkan diri. Dadaku terasa sesak, seperti ada beban berat yang tak bisa kujelaskan. Apakah aku benar-benar mulai menyusun potongan-potongan ini menjadi satu gambar yang utuh?
Aku meregangkan tangan, menatap langit-langit ruangan, mencoba menarik napas panjang. Tidak, aku tidak boleh hanyut dalam pikiran ini. Tidak sekarang.
Tapi bagaimana bisa aku berhenti, jika semua ini... terasa begitu masuk akal?
***
Malam itu, ponselku bergetar pelan di atas meja. Sebuah notifikasi muncul—chat dari Dwi.
Pesannya seperti biasa, sederhana saja. Salam basa-basi dan pertanyaan pembuka yang sudah akrab. Tapi aku tidak segera membalas. Aku hanya menatap layar ponselku, membiarkan pikiranku terombang-ambing dalam keraguan yang sudah seharian menyiksaku.
Apa yang bisa kutanyakan padanya? Sesuatu yang tidak terlalu mencurigakan, tetapi cukup untuk membantuku memperjelas teori gila ini?
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba merangkai kata. Akhirnya, aku memutuskan untuk bertanya sesuatu yang berhubungan dengan pembicaraan kami semalam.
"Aku tadi iseng browsing tentang obat-obatan untuk jantung," tulisku. "Ternyata ada obat bernama Nitrogliserin. Kamu juga pakai obat itu?"
Tentu saja, aku tidak sedang iseng browsing. Aku pernah melihat nama itu di kumpulan obat Pak Ariel. Aku ingin tahu, apakah Dwi juga menggunakan obat yang sama?
Pesanku terkirim, dan aku menunggu. Jantungku berdebar tak keruan, meskipun aku tidak tahu apa yang sebenarnya kuharapkan.
Balasan dari Dwi datang lebih cepat dari dugaanku.
"Aku pakai obat itu, tapi hanya dalam kondisi darurat. Itu bukan obat rutinku."
Aku tertegun, mataku terpaku pada layar ponsel. Jawaban itu... seolah menegaskan dugaanku. Nitrogliserin. Obat yang sama. Apakah ini hanya kebetulan? Atau ada sesuatu yang lebih besar dari semua ini?
Aku mencoba menjaga fokus, meskipun kepalaku terasa semakin berat. Aku memutuskan untuk membawa percakapan kami ke arah yang lebih santai, mencoba memancing petunjuk lain.
"Suatu saat nanti kita minum kopi bareng, gimana?" tanyaku dengan nada bercanda, mencoba terlihat santai.
Balasan Dwi muncul beberapa saat kemudian.
"Aku lagi diet kafein, Sher. Mungkin lebih baik kita minum teh herbal atau cokelat panas bareng."
Kata-kata itu... rasanya seperti pukulan telak. Diet kafein. Teh herbal. Aku pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya. Bukan dari Dwi, tapi dari Pak Ariel.
Aku memejamkan mata, mencoba mengabaikan gemuruh di dalam diriku. Tapi semuanya terasa terlalu nyata. Setiap potongan kecil mulai menyatu, membentuk gambaran yang tidak bisa kuabaikan lagi.
Dwi... Pak Ariel... mereka terasa seperti orang yang sama.
Kepalaku berdenyut. Aku menekan pelipisku dengan jemari, berharap rasa sakit itu mereda. Teori gila ini benar-benar menggerogoti logikaku. Apa aku hanya membayangkan semua ini? Apakah aku terlalu terobsesi dengan sesuatu yang sebenarnya tidak nyata?
Aku mengetik pesan singkat untuk mengakhiri obrolan kami.
"Aku ngantuk, Dwi. Besok kita ngobrol lagi, ya."
Setelah balasan singkat darinya, aku menutup ponsel dan meletakkannya di samping tempat tidur. Aku mencoba berbaring, menenangkan diri. Tapi pikiranku tak henti-hentinya memutar ulang semua yang terjadi hari ini. Chat itu, jawaban Dwi, kesamaan dengan Pak Ariel... semuanya seolah menari di kepalaku, mengolok-olokku.
Aku memejamkan mata erat-erat, memaksa diriku untuk berhenti berpikir. Semua ini hanya teori gila. Tidak lebih dari itu.
Namun, meskipun aku terus meyakinkan diriku, bayangan wajah Pak Ariel muncul lagi dan lagi. Senyumnya, suaranya, matanya yang tajam tapi penuh ketenangan.
Aku menghela napas panjang, membiarkan lelahnya tubuhku akhirnya mengambil alih. Perlahan, aku terlelap, meskipun pikiranku masih terbebani dengan misteri yang seolah menggantung di udara, tak terjawab.
***