POV Sherly
Suara mesin mobil mengalun lembut, mengiringi perjalanan pulang kami dari rumah Om Bagas. Pandanganku tertuju pada bayangan hitam pekat yang membentang di luar jendela, namun pikiranku masih bergelayut pada kisah yang baru saja kudengar. Hatiku penuh dengan rasa syukur dan haru. Malam ini, rasanya seperti aku telah menemukan kembali sepotong puzzle hidupku yang selama ini hilang.
Pak Ariel duduk di sebelahku, wajahnya terlihat tenang meskipun kelelahan tampak samar di matanya. Ia baru saja melontarkan lelucon ringan, dan aku tertawa kecil. Mungkin bukan karena leluconnya terlalu lucu, tapi karena malam ini semuanya terasa begitu bermakna.
"Pak Ariel," ucapku akhirnya, suaraku terdengar lebih lembut daripada yang kukira. "Saya ingin mengucapkan terima kasih, lagi dan lagi." Aku menoleh ke arahnya, melihat siluet wajahnya yang diterangi lampu jalan dari kejauhan. "Perjalanan ini... Saya pikir akan sia-sia. Tapi ternyata, ada kebahagiaan yang bahkan tidak pernah saya bayangkan sebelumnya."
Ia menoleh ke arahku, matanya yang berwarna hazel seolah menatap langsung ke dasar jiwaku. "Sherly, saya hanya membantu sejauh yang saya bisa. Tapi saya ikut senang melihat kamu bisa menemukan sesuatu yang penting malam ini. Itu yang terpenting."
Aku tersenyum kecil, menundukkan kepala. Ucapan itu, meski sederhana, terasa begitu tulus. Aku mengalihkan pandangan kembali ke luar jendela, membiarkan diriku larut dalam percakapan hangat yang baru saja kami lakukan bersama Om Bagas.
"Kakek saya... ternyata hidupnya sangat berat, ya." Suaraku hampir seperti bisikan. "Saya bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi anak yang lahir dari hubungan yang tidak diinginkan, di tengah masa penjajahan pula."
"Iya, itu bukan sesuatu yang mudah," balas Pak Ariel pelan. "Tapi kalau dilihat dari sudut pandang lain, kakekmu itu sosok yang luar biasa. Dia tidak menyerah pada keadaannya. Dia tetap berjuang, membangun hidupnya meskipun dunia seolah-olah ingin menjatuhkannya." Ia menoleh sejenak, senyumnya tipis tapi penuh makna. "Dan sepertinya, sifat itu menurun ke kamu, Sherly."
Jantungku sedikit berdebar mendengar kalimat itu. "Maksud Bapak?"
"Kamu punya semangat untuk mencari tahu, untuk memperjuangkan apa yang kamu anggap penting. Sama seperti kakekmu. Rasanya, kakek kamu pasti bangga kalau melihat kamu sekarang."
Aku hanya bisa diam, tak tahu harus menjawab apa. Kata-kata itu menyalakan perasaan hangat di hatiku, tapi juga menimbulkan kesedihan yang samar. Aku tidak pernah bertemu kakek Darman, dan aku mungkin tidak akan pernah punya kesempatan untuk mengenalnya. Tapi, entah bagaimana, aku merasa terhubung dengannya melalui cerita ini.
Pak Ariel terus bercerita, mengulang beberapa informasi dari Om Bagas, tapi kali ini ia memberikan sudut pandang yang berbeda—menyoroti keteguhan hati kakek di tengah kesulitan. Kata-katanya seperti menguatkan apa yang sebelumnya hanya berupa serpihan emosi di dalam diriku.
Saat kami semakin mendekati kota, aku menyadari bahwa percakapan ini tidak hanya menghubungkan aku dengan masa lalu keluargaku, tapi juga dengan Pak Ariel. Tanpa sadar, kami semakin dekat, saling berbagi cerita dan pemikiran. Rasanya tidak ada jarak di antara kami, hanya dua jiwa yang saling memahami.
Mobil akhirnya memasuki area kompleks tempat tinggalku. Aku menoleh ke arah Pak Ariel sebelum turun, mencoba mengumpulkan kata-kata terakhir untuk malam ini. "Pak Ariel, terima kasih lagi. Tidak hanya untuk perjalanan ini, tapi untuk semua hal yang Bapak lakukan." Suaraku nyaris bergetar, karena aku tahu ada sesuatu yang lebih dalam di balik ucapan itu.
Ia tersenyum lembut, lalu berkata, "Kamu tidak perlu berterima kasih sebanyak itu, Sherly. Saya senang bisa membantu. Saya hanya ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendirian."
Aku mengangguk perlahan, menahan emosi yang tiba-tiba menyeruak. Lalu, aku membuka pintu mobil dan melangkah keluar, membawa pulang malam yang penuh arti ini, bersama dengan kenangan dan rasa syukur yang tidak akan pernah kulupakan.
***
Aku baru saja memasuki rumah, dan aroma hangat dari masakan ibu menyambutku, membawa rasa nyaman yang selalu aku rindukan. Ibu sedang duduk di meja makan, terlihat sibuk dengan beberapa tugas rumah, tapi matanya langsung tertuju padaku saat aku masuk.
"Sherly, kamu pulang malam. Bagaimana harimu?" Ibu menyapa, suaranya lembut, tapi aku bisa mendengar ada kelelahan dalam nada itu. Ibu memang tak pernah bisa menahan rasa khawatirnya.
Aku tersenyum, sedikit berlari mendekatinya. "Ibu, hari ini... hari ini aku merasa sangat bahagia." Suara ku bergetar sedikit, tak bisa kutahan. Aku duduk di samping ibu dan memegang tangannya dengan erat. "Aku sudah menemukan anaknya Kakek Darman, Bu. Namanya om Bagas."
Ibu menatapku dengan mata yang penuh keheranan dan sedikit kebingungan. "Om Bagas?" Ulangnya pelan, seperti mencoba menyusun potongan-potongan kenangan yang tersembunyi.
Aku mengangguk, mataku berbinar saat menceritakan setiap detail yang baru saja kutemui. "Iya, Bu. Ternyata om Bagas itu orang yang pernah Pak Ariel dan aku selamatkan beberapa waktu lalu. Waktu itu, om Bagas terjebak dalam kecelakaan dan kami yang menolongnya. Aku baru tahu dia ternyata anaknya Kakek Darman."
Ibu terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Aku bisa merasakan betapa perasaan ibu begitu dalam, seperti ada yang mengalir deras di dalam hatinya. "Jadi... dia memang masih keluarga kita?" suara ibu serak, seperti mencoba memercayainya.
Aku mengangguk, air mata mulai terbentuk di sudut mataku. "Iya, Bu. Dan yang lebih menyentuh, om Bagas ingin bertemu dengan ibu. Dia bilang ingin mengunjungi kita, dan... bertemu dengan ibu." Aku hampir tidak bisa mengucapkan kalimat terakhir itu tanpa terbata, karena perasaan haru yang mengalir begitu deras.
Ibu terdiam sejenak, lalu matanya mulai berkaca-kaca, dan seketika aku bisa melihat air mata mulai mengalir tanpa ia sadari. "Sherly..." Ibu terisak pelan. "Betapa besar Tuhan itu... mengarahkan kita pada kebaikan seperti ini."
Aku menggenggam tangannya lebih erat, "Om Bagas dan tante sangat baik, Bu. Mereka benar-benar menyambut aku dengan hangat. Rasanya seperti menemukan keluarga yang hilang. Mereka peduli, mereka baik sekali."
Ibu menundukkan kepala, tak bisa menyembunyikan air matanya yang jatuh perlahan. Aku bisa mendengar isakan kecil yang ia coba tahan. Dalam hati aku tahu, ini lebih dari sekadar bertemu dengan keluarga. Ini adalah sebuah berkah yang datang begitu tiba-tiba, namun begitu sempurna.
"Ibu... Ibu nggak perlu khawatir, semuanya akan baik-baik saja. Om Bagas itu baik, dan tante juga. Aku merasa sangat beruntung bisa menemukan mereka," kataku, mencoba meyakinkan ibu meski hatiku juga tak kalah terharu.
Ibu akhirnya menatapku, matanya penuh syukur meskipun masih ada rasa haru yang mendalam. "Ibu bersyukur kamu menemukan mereka, Sherly. Mereka mungkin bukan hanya keluarga, tapi juga jalan Tuhan untuk membawa kita ke sebuah kebahagiaan yang lebih besar." Ibu mengusap air matanya yang terus jatuh, senyum tipis tersungging di wajahnya.
Aku menatap ibu, merasa lega dan bahagia. Kami duduk berdua, tenggelam dalam perasaan yang tak terucapkan, namun begitu jelas terasa. Ini adalah awal baru, sebuah keluarga yang tak hanya terhubung oleh darah, tetapi juga oleh rasa kasih dan kehangatan yang tak ternilai.
***
Malam itu, aku masih berada dalam euforia yang sulit dijelaskan. Perasaan bahagia yang meluap-luap membuatku terus tersenyum, bahkan setelah aku kembali ke kamar. Perjalanan ke rumah Om Bagas tadi seolah menjadi salah satu hari terbaik dalam hidupku. Bertemu dengan mereka, merasakan hangatnya keluarga, dan melihat betapa semua orang menyambutku dengan penuh kasih—itu semua seperti mimpi yang menjadi kenyataan.
Namun, di balik semua kebahagiaan itu, aku tahu, ada seseorang yang harus aku beri lebih dari sekadar ucapan terima kasih.
Aku mengangkat ponselku dan mengetik pesan singkat.
"Pak Ariel, terima kasih banyak untuk hari ini. Kalau bukan karena Bapak, mungkin saya tidak akan pernah punya keberanian untuk melangkah sejauh ini. Saya benar-benar bersyukur memiliki kesempatan ini. Terima kasih, Pak."
Aku membaca ulang pesan itu. Kata-katanya terasa terlalu sederhana dibandingkan dengan apa yang kurasakan. Namun, aku tidak tahu bagaimana cara menuliskannya dengan lebih baik. Jadi, aku mengirimkan pesan itu tanpa banyak berpikir lagi.
Setelah pesan terkirim, aku meletakkan ponsel di meja kecil di sebelah tempat tidurku. Hening malam menyelimuti kamar.
Aku menunggu beberapa saat, berharap ada tanda bahwa Pak Ariel membaca pesanku. Tapi tak ada apa-apa. Tidak ada centang biru, tidak ada balasan. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku sama sekali tidak merasa kecewa.
Mungkin karena aku tahu dia pasti sibuk. Pak Ariel selalu begitu. Waktunya seperti tidak pernah cukup untuk semua hal yang harus dia tangani. Aku mengerti itu. Dan aku juga tahu, pesan ini tidak harus dibalas untuk membuatku merasa dihargai.
Aku berbaring di tempat tidur, memeluk bantal dengan senyum tipis yang masih menggantung di wajahku. Entah bagaimana, perasaan hangat itu tetap ada, meskipun pesanku tidak mendapat jawaban.
Bagiku, yang terpenting adalah aku sudah mengatakannya. Ucapan terima kasih itu bukan hanya sekadar kata-kata, tapi rasa syukur yang tulus dari hatiku. Aku ingin Pak Ariel tahu, meskipun aku tidak yakin dia sempat membacanya malam ini.
Malam itu, aku memejamkan mata dengan perasaan yang masih penuh. Bukan hanya kebahagiaan karena bertemu dengan keluarga, tetapi juga rasa lega karena aku telah mengungkapkan sesuatu yang sejak tadi tersimpan di dalam hati.
Dan meskipun tidak ada balasan, aku tahu, di dalam hati kecilku, Pak Ariel pasti mengerti.
***