POV Sherly
Saat jam kantor selesai, langkah kaki para karyawan terdengar memenuhi koridor. Aku ikut berjalan keluar bersama Pak Ariel, yang tampak santai dan tak tergesa. Rasanya aneh, namun menyenangkan, bisa mengobrol dengannya seperti ini. Kami baru saja sampai di pintu utama ketika tiba-tiba Pak Ariel mengajakku untuk mengunjungi seseorang bernama Bagas Saputra. Aku tertegun, tidak menyangka akan ada rencana mendadak seperti ini.
"Bagaimana jika kita ke sana sekarang?" tanyanya dengan nada santai, tapi senyum tipis di wajahnya cukup untuk membuatku merasa dihargai.
Tanpa sadar, aku tersenyum lebar. Namun, senyumku seketika menghilang saat aku teringat kondisi kesehatannya. "Pak Ariel, apa Bapak benar-benar merasa baik? Kalau kondisi Bapak belum pulih sepenuhnya, saya tidak masalah kalau kita tunda sampai lain waktu." Nada suaraku mungkin terdengar penuh kekhawatiran, tapi aku sungguh tidak ingin perjalanannya ini malah membuatnya semakin lelah.
Pak Ariel hanya tertawa ringan. "Tenang saja, Sherly. Saya sudah baik-baik saja. Robekan jahitan kemarin juga sudah membaik. Tidak ada masalah. Jangan khawatir berlebihan begitu."
Aku menatap wajahnya dengan seksama, mencoba mencari tanda-tanda ia memaksakan diri. Tapi, ia tampak jujur dan yakin. Akhirnya, aku mengangguk dan menyetujui ajakannya.
Di dalam mobil, suasana hening sesaat. Pikiranku melayang pada nama yang disebutnya tadi: Bagas Saputra. Orang yang katanya masih punya hubungan dengan Desa Seduan Hilir dan kakekku. Aku tidak tahu harus mengharapkan apa dari pertemuan ini.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang di bawah langit sore yang mulai memerah. Jalanan kota yang kami lewati tidak terlalu ramai, hanya sesekali kami berpapasan dengan kendaraan lain. Pak Agus duduk di belakang kemudi dengan tenang, sementara aku dan Pak Ariel duduk di kursi belakang.
Aku melirik Pak Ariel yang sedang memandang lurus ke depan. Wajahnya tampak lelah setelah hari yang panjang di kantor, tapi tetap tenang seperti biasanya. Entah kenapa, ada sesuatu yang terasa berbeda. Mungkin karena percakapan kami selama beberapa hari terakhir—hubungan kami perlahan terasa lebih... personal.
"Perumahannya jauh dari kantor, ya?" tanyaku, memecah keheningan yang sejak tadi menyelimuti perjalanan.
Pak Ariel mengangguk kecil. "Lumayan, sekitar setengah jam perjalanan. Tapi lokasinya cukup tenang, jauh dari keramaian."
Aku mengangguk pelan, mencoba mencari topik lain untuk dibicarakan. Tapi ada satu pertanyaan yang sejak tadi menggantung di pikiranku, dan akhirnya aku memutuskan untuk mengungkapkannya.
"Pak Ariel..." Aku memilih kata-kataku dengan hati-hati. "Kenapa waktu itu... Bapak bersedia ikut membantu saya mencari keluarga? Maksud saya, ini bukan hal yang mudah."
Dia menoleh sedikit, sekilas menatapku sebelum kembali memandang jalan di depan. "Karena saya percaya keluarga adalah sesuatu yang penting," jawabnya dengan nada datar tapi penuh makna.
Jawaban itu membuatku berpikir sejenak. Aku menunduk, memandangi tangan yang kugenggam erat di pangkuanku. "Tapi saya merasa... ini terlalu banyak melibatkan Bapak. Saya bahkan nggak tahu apakah ini akan berakhir seperti yang saya harapkan."
Dia tersenyum tipis, hampir tak terlihat, tapi aku menangkap perubahan kecil itu di wajahnya. "Sherly, kadang hasil akhirnya memang tidak pasti, tapi perjalanan untuk mencapainya itu yang penting. Kalau ini adalah sesuatu yang penting untukmu, maka itu cukup untuk saya."
Aku terdiam mendengar kata-katanya. Dia mengatakannya dengan begitu tulus, tanpa nada menggurui atau menuntut. Kata-katanya terasa sederhana, tapi langsung menyentuh sesuatu yang mendalam di hatiku.
"Saya nggak tahu harus bilang apa," gumamku pelan. "Tapi terima kasih, Pak."
Dia tersenyum lagi, kali ini lebih terlihat. "Kamu tidak perlu berterima kasih. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan."
Sesaat, percakapan kami terhenti. Suasana di dalam mobil terasa hening, tapi bukan hening yang canggung. Hening yang hangat, seolah tidak ada lagi yang perlu diucapkan.
Saat kami mendekati perumahan yang dituju, aku memperhatikan rumah-rumah besar di sekitar kami. Namun ketika mobil berhenti di depan sebuah rumah yang lebih sederhana tapi sangat artistik, aku merasa ada sesuatu yang spesial di tempat ini.
Pak Ariel menatapku sejenak sebelum berkata, "Kita sudah sampai."
Aku mengangguk pelan, mencoba menenangkan diriku sebelum keluar dari mobil. Ada banyak perasaan yang berkecamuk di hatiku—khawatir, harap, dan sedikit ketakutan. Tapi di antara semua itu, aku merasa beruntung. Beruntung karena di perjalanan ini, aku tidak sendirian.
Aku melihat bel di dekat pagar dan memencetnya. Suara perempuan terdengar dari alat komunikasi di samping bel, bertanya siapa kami dan apa keperluannya. Aku mendadak gugup. Apa yang harus kukatakan? Namun, sebelum sempat berpikir lebih jauh, Pak Ariel melangkah maju dan dengan tenang menjawab bahwa kami adalah tamu yang mencari Pak Bagas, terkait Desa Seduan Hilir dan mendiang Pak Darman.
Nada suara perempuan itu berubah lembut. Ia meminta kami menunggu sebentar sebelum membuka pagar. Aku melirik Pak Ariel, yang tersenyum santai. Entah kenapa, keberadaannya memberiku rasa nyaman. Aku membalas senyumnya sebagai tanda terima kasih, dan ia hanya mengangguk kecil seolah berkata, "Sama-sama."
Pagar terbuka, dan kami disambut oleh seorang wanita paruh baya di teras rumah. Wajahnya tampak bingung, tetapi tetap ramah. Setelah kami memperkenalkan diri, ia mempersilakan kami duduk di teras rumah. Pak Ariel menjelaskan tujuan kedatangan kami, menjelaskan cerita tentang kakekku hingga akhirnya nama Pak Bagas muncul.
Wanita itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Lalu, tiba-tiba, tatapannya tertuju padaku. Ada sesuatu yang berubah dalam sorot matanya. Ia memandangku dengan lembut, seolah-olah mencoba mengenali sesuatu. Kemudian ia berkata, "Berarti kamu keponakan tante, ya."
Kata-katanya membuatku terdiam. Pintu yang selama ini kurasakan tertutup, kini perlahan terbuka. Aku hanya mampu membalasnya dengan senyuman canggung. Dalam hati, aku merasa harapan kecil mulai tumbuh.
Tak lama kemudian, suara mesin mobil terdengar. Wanita itu berkata bahwa suaminya baru saja pulang. Jantungku mendadak berpacu. Ini dia, momen yang aku tunggu sekaligus aku takuti. Apa yang akan terjadi? Bagaimana jika Pak Bagas tidak menerima kehadiranku?
Saat pria itu, yang disebut sebagai Om Bagas, muncul dari dalam mobil dan melangkah mendekat, rasanya seperti dunia berhenti sejenak. Ada sesuatu di wajahnya, di cara ia menatap, yang begitu akrab namun sulit kujelaskan. Aku mencuri pandang ke arah Pak Ariel yang berdiri di sampingku, dan ekspresi keterkejutannya pun sama seperti yang kurasakan. Mata kami bertemu, seolah berbagi pertanyaan yang sama tanpa sepatah kata.
"Ya Allah..." Suara berat itu menggema, menarikku kembali ke realitas. "Akhirnya kita dipertemukan kembali!" Mata pria itu bersinar, bibirnya merekah dalam senyuman bercampur haru. Dia melangkah cepat mendekati kami, hampir seperti terburu-buru, dan sebelum aku bisa memprosesnya, dia sudah berdiri di hadapan kami.
Pak Ariel langsung menyambut dengan nada hangat. "Astaga, tidak menyangka bertemu Bapak di sini. Bagaimana keadaan Bapak sekarang?" Pak Ariel mengulurkan tangan, dan pria itu menyambutnya dengan antusias.
"Alhamdulillah, Pak, saya baik. Bapak bagaimana?" Pria itu melirik sekilas ke arahku sebelum melanjutkan, "Saat kondisi saya mulai stabil, saya mencari informasi tentang Bapak dan Ibu. Tapi tidak ada informasi apa pun. Kata pihak rumah sakit, Bapak dan Ibu bukan korban kecelakaan beruntun waktu itu, jadi tidak tercatat dalam administrasi rumah sakit. Saya sangat putus asa karena tidak bisa mengucapkan terima kasih saat itu."
Pria itu, Om Bagas, menoleh ke istrinya, yang berdiri di sampingnya dengan senyuman lembut. "Mereka berdua ini adalah orang yang menyelamatkanku saat terjebak di mobil yang terbakar waktu itu. Jika tidak ditolong oleh mereka, pasti aku tidak akan selamat saat itu."
Aku berdiri kaku di tempat, bingung antara rasa haru dan ketidakpercayaan. Jadi, pria ini… orang ini… adalah orang yang pernah kami selamatkan waktu itu? Kenangan samar dari kejadian siang itu menyeruak, membuat hatiku terasa hangat namun juga getir. Aku mencuri pandang ke arah Pak Ariel, yang menanggapi dengan sikap tenang seperti biasa.
"Oh, begitu ceritanya," ujar istrinya dengan senyuman lembut. Dia tidak banyak berkata-kata, tetapi tatapan matanya penuh penghargaan.
Om Bagas terus berbicara tentang siang itu, tentang betapa ia merasa berutang nyawa kepada kami. Bahkan ketika kami diajak masuk ke dalam rumahnya, ia masih menceritakan bagaimana perasaan putus asanya saat mencari kami yang tidak bisa ia temukan. Aku tidak tahu harus merespons apa. Semua terasa begitu emosional, tetapi di balik semua itu, aku merasa lega melihat betapa bersyukurnya dia.
Setelah sekitar lima belas menit berlalu, Pak Ariel akhirnya mengambil alih pembicaraan. Suaranya tetap tenang, seperti biasa, saat ia menjelaskan tujuan kedatangan kami. "Sebenarnya, ada hal penting yang ingin kami sampaikan, Pak Bagas. Ruangan itu terasa sunyi seketika, hanya suara napas kami bertiga yang terdengar. Pak Bagas menghentikan ceritanya, dan aku tahu ini saat yang tepat. Tanganku mengepal di pangkuan, mencoba menenangkan debaran jantung yang sejak tadi semakin keras.
Aku menarik napas dalam-dalam, tetapi tetap saja suaraku terdengar bergetar saat berbicara. "Pak Bagas… Sebenarnya, ada alasan lain kenapa saya datang ke sini."
Aku melirik pak Ariel, dan dia memberiku anggukan kecil. Sebuah dorongan halus, cukup untuk membantuku melanjutkan.
"Ini tentang keluarga saya," kataku pelan, sebelum berhenti sejenak. "Lebih tepatnya… keluarga dari Ibu."
Pak Bagas menatapku dengan alis sedikit terangkat. "Keluarga dari ibu kamu?"
"Iya, Pak," jawabku, suara makin lemah. Aku mencoba membentuk kata-kata berikutnya di benakku, tetapi semuanya terasa kacau. Akhirnya, aku hanya mengatakan apa yang terlintas. "Ibu saya, Anita, adalah anak dari Pak Darman."
Matanya menyipit sedikit, seperti mencoba menghubungkan sesuatu dalam ingatannya. Detik itu terasa begitu panjang.
"Pak Darman…" gumamnya, lalu mengulang pelan, "Ayah?"
Aku mengangguk. "Iya, Pak. Saya cucunya."
Saat kata-kata itu keluar, aku merasa bebanku bertambah berat. Apa yang akan dikatakannya? Apa dia akan menerima? Atau sebaliknya, justru mengabaikanku?
"Saya tahu ini mungkin terdengar mendadak," lanjutku dengan nada lebih lembut. "Saya baru tahu tentang keluarga ini belum lama. Tapi sejak saya tahu, saya ingin sekali mengenal lebih banyak… tentang keluarga Ibu dulu."
Pak Bagas menatapku dalam-dalam, seolah-olah mencari kebenaran dalam ucapanku. Wajahnya sulit kubaca, dan aku merasa diriku semakin tenggelam dalam kecemasan.
"Ayah…" gumamnya lagi, kali ini lebih kepada dirinya sendiri. Pandangannya beralih ke pak Ariel, seakan meminta konfirmasi.
Pak Ariel menunduk sedikit dengan tenang. "Sherly hanya ingin tahu, Pak," katanya lembut, seperti berusaha meredakan suasana. "Tentang keluarganya. Tentang bagian dari hidup yang selama ini belum sempat ia pahami."
Kata-katanya membuatku ingin menangis. Bukan karena kesedihan, tetapi karena ia mampu mengatakan sesuatu yang tidak bisa kusampaikan dengan baik.
Pak Bagas kembali menatapku. Ada perubahan dalam ekspresinya, dari ragu menjadi sesuatu yang lebih lembut. Aku melihat bibirnya sedikit bergetar, sebelum akhirnya dia berbicara.
"Jadi kamu… cucu Ayah?" katanya pelan.
"Iya, Pak," jawabku, nyaris berbisik.
Detik itu juga, bahuku terasa lebih ringan ketika melihat wajahnya perlahan berubah. Sebuah kehangatan yang muncul, menghapus jarak yang semula terasa begitu jauh.
"Sherly," ucapnya akhirnya, dengan suara yang terdengar berat namun penuh kehangatan, "Selamat datang di rumah ini. Saya… saya tidak tahu harus berkata apa. Tapi terima kasih karena kamu telah datang."
Aku terdiam sejenak, sebelum akhirnya merasakan air mataku jatuh tanpa bisa kutahan lagi.
Saat istri Pak Bagas yang sejak tadi duduk di sampingnya maju dan meraihku dalam pelukan hangat, aku merasakan sesuatu yang sulit kugambarkan. Sebuah kelegaan, sebuah rasa diterima yang selama ini terasa jauh.
Untuk pertama kalinya, aku merasa menemukan sebuah rumah, meskipun baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini.
***