POV Ariel
Aku melangkah di samping Sherly, mendengar langkah kakinya yang tenang namun terasa ragu, seolah-olah setiap langkah itu sedang menimbang sesuatu. Di dalam dadaku, rasa panas yang tadi meluap mulai mereda, tapi aku tahu perasaan itu belum benar-benar pergi. Sherly menatapku, wajahnya sedikit canggung, senyuman gugup menghiasi bibirnya, dan matanya berkedip cepat seperti mencoba mencari jawaban dari sikapku sebelumnya.
Aku membalas senyumnya—atau setidaknya mencoba. Mungkin aku terlihat seperti seseorang yang baru saja menyadari kesalahannya. Karena, memang begitulah aku sekarang. Apa yang tadi kulakukan terhadap Juan jelas berlebihan. Tidak ada alasan untukku bertindak seperti itu. Tetapi, entah kenapa, melihat Sherly berbicara dengannya, dengan nada ringan yang tak pernah aku dengar ditujukan padaku, aku merasa ada sesuatu yang salah.
Sherly tidak mengeluh, tidak menanyakan apa pun. Tetapi, aku bisa merasakan atmosfer di antara kami berubah. Apakah dia sekarang merasa tidak nyaman denganku?
Aku berusaha mencari sesuatu untuk diucapkan, sesuatu yang ringan, sekadar untuk memecah kesunyian ini. Dan ketika akhirnya aku berbicara, aku merasa lega karena Sherly merespons dengan lebih santai, meski masih ada jeda kecil dalam kata-katanya. Dia perlahan mulai mencair, dan aku bisa bernapas sedikit lebih lega.
Namun, ketenangan itu hanya ada di permukaan. Di dalam, pikiranku terus berputar. Aku memikirkan apa yang baru saja terjadi.
Kenapa aku melakukan itu?
Kenapa aku merasa perlu memutus pembicaraan mereka?
Apa yang sebenarnya aku rasakan?
Pertanyaan-pertanyaan itu seperti kilat yang terus menyambar dalam pikiranku. Apakah itu cemburu? Aku ingin tertawa mendengar pikiranku sendiri. Aku? Cemburu? Rasanya konyol. Tetapi, semakin aku mencoba menyangkalnya, semakin aku merasa bahwa mungkin itulah jawabannya.
Aku tahu, aku tidak memiliki hak untuk merasa seperti itu. Sherly bukan siapa-siapaku. Dia hanya seorang rekan kerja. Seseorang yang kebetulan aku bantu masuk ke perusahaan ini. Tetapi, setiap kali aku melihatnya tersenyum pada orang lain, terutama Juan, ada sesuatu yang terasa kosong di dalam diriku.
Bodoh.
Aku tahu aku bodoh. Aku tahu aku tidak seharusnya memikirkan ini. Tetapi, perasaan itu tetap ada, menghantuiku di setiap jeda keheningan.
Ketika kami masuk ke dalam lift, aku mencuri pandang ke arahnya. Sherly sedang memandang ke depan, wajahnya tidak menunjukkan apa-apa. Tetapi aku bisa merasakan sesuatu yang tidak terucap di antara kami. Aku bertanya-tanya apakah dia menyadari semua ini. Apakah dia tahu bahwa setiap tatapannya, setiap senyumnya, memiliki kekuatan untuk membuatku kehilangan kendali atas diriku sendiri?
Aku harus tenang. Aku harus menemukan cara untuk mengendalikan diriku sendiri. Karena aku tahu, jika aku terus seperti ini, aku hanya akan membuat segalanya menjadi lebih rumit. Dan Sherly... dia tidak pantas mendapatkan kebingungan ini.
Aku menelan ludah, mencoba menenangkan pikiran. Tetapi, satu pertanyaan terus bergema di dalam kepalaku.
Apa yang sebenarnya aku inginkan dari semua ini?
Dan untuk pertama kalinya, aku tidak tahu jawabannya.
POV Sherly
Pagi itu, suasana kantor terasa lebih ramai dari biasanya. Setumpuk dokumen yang harus diselesaikan setelah perjalanan luar kota menumpuk di meja masing-masing. Aku duduk di mejaku, jemariku sibuk mengetik angka-angka ke spreadsheet, sementara telingaku menangkap suara langkah Pak Ariel yang mondar-mandir di ruangan.
"Sherly, tolong cek angka di laporan ini," suara Pak Ariel terdengar, lembut tapi tegas seperti biasanya.
Aku segera berdiri dan berjalan mendekat. Dia menyerahkan sebuah berkas padaku, lalu menatapku dengan ekspresi serius. "Angka-angka ini sepertinya tidak konsisten dengan laporan mingguan sebelumnya. Coba kamu analisis ulang, siapa tahu ada kesalahan input."
Aku mengangguk cepat. "Baik, Pak."
Aku kembali ke meja dan mulai mengerjakan tugas itu, tapi sesekali aku mendapati diriku mencuri pandang ke arahnya. Pak Ariel tampak tenggelam dalam pekerjaannya, alisnya sedikit berkerut, matanya fokus di layar komputer.
Beberapa menit berlalu. Laporan yang dimintanya selesai lebih cepat dari yang kuduga, dan aku membawanya kembali ke mejanya.
"Pak, ini laporan yang tadi," kataku, sedikit berdeham untuk mengusir kegugupanku.
Dia mengangkat wajah dan tersenyum tipis. "Cepat sekali. Bagus. Makasih, Sher."
Aku tersenyum kecil, merasa sedikit lega. Tapi perasaan itu tidak bertahan lama, karena aku mendengar suara langkah lain memasuki ruangan. Suara tumit tinggi yang khas.
"Good morning, everyone," suara Ibu Kirana terdengar, melantun seperti nyanyian dengan aksen yang khas. Dia sudah berdiri di pintu, mengenakan setelan kerja yang rapi dan terlihat begitu elegan.
Pak Ariel segera berdiri. "Good morning, Bu Kirana," jawabnya, menyambut kedatangan beliau dengan sopan.
Aku hanya tersenyum kecil dan mengangguk sebagai tanda sapaan, tetapi tampaknya beliau tidak terlalu memperhatikanku. Pandangan Ibu Kirana langsung tertuju pada Pak Ariel.
"Ariel, I must say, minggu kemarin terasa challenging banget tanpa kehadiran kamu. It's hard to find someone as competent as you in this office," katanya dengan nada percaya diri dan gaya bicara khasnya.
Aku menelan ludah, mencoba untuk tetap fokus pada pekerjaanku, tetapi kata-kata itu terus terngiang di telingaku. Beliau memuji Pak Ariel dengan cara yang terdengar begitu alami, namun entah kenapa terasa... terlalu dekat.
Pak Ariel tersenyum sopan. "Terima kasih, Bu. Saya hanya melakukan tugas saya."
"Oh, come on, jangan terlalu humble dong," lanjutnya sambil tertawa kecil. "Anyway, I need your input on beberapa operational matters. Bisa kita diskusikan sekarang? It's quite urgent."
"Of course," jawab Pak Ariel tanpa ragu.
Saat itu juga, aku merasakan sesuatu mencubit hatiku. Tentu saja, beliau selalu punya alasan untuk membawa Pak Ariel pergi dari ruangan ini.
Sebelum keluar, Pak Ariel menoleh ke arahku. "Sherly, nanti tunggu saya ya untuk makan siang. Jangan lupa bekalnya," katanya, dengan senyum yang terlihat tulus.
Aku hanya mengangguk pelan, tidak ingin menunjukkan perasaanku yang sebenarnya. Saat mereka keluar ruangan, aku menatap layar komputerku tanpa benar-benar melihat apa pun. Ada rasa tidak nyaman yang sulit dijelaskan, seperti perasaan kalah dalam sesuatu yang bahkan aku tidak pernah punya peluang untuk menang.
Tentu saja, pikirku. Ibu Kirana dan Pak Ariel—mereka adalah pasangan sempurna. Tidak mungkin beliau tidak menarik perhatian Pak Ariel. Aku hanya asisten kecil di sini, dan itu fakta yang tidak bisa kubantah.
Aku memandangi dokumen di mejaku, mencoba fokus pada angka-angka yang tertera, tetapi pikiranku berkelana jauh dari sana. Ketidaknyamanan yang muncul saat Ibu Kirana datang tadi masih menggelayuti pikiranku. Cara beliau masuk ke ruangan, cara beliau berbicara dengan Pak Ariel, begitu percaya diri dan penuh karisma. Dan tentu saja, cara beliau memberikan pujian kepada Pak Ariel—pujian yang terdengar profesional, namun terasa sangat personal di telingaku.
Aku menggigit bibir, mencoba menepis perasaan ini. Toh, aku tahu, siapa aku di sini? Aku hanya seorang asisten. Tidak ada yang istimewa dariku. Sedangkan Ibu Kirana? Beliau adalah sosok yang sempurna—cantik, cerdas, berpengaruh, dan jelas berada di level yang sama dengan Pak Ariel. Aku tidak punya alasan untuk merasa apa pun selain iri.
Tatapanku jatuh ke kotak bekal yang kubawa pagi ini. Aku membawa dua, seperti biasa. Tapi, entah kenapa, aku merasa kali ini aku telah membuat keputusan yang salah. Pak Ariel tadi berkata akan makan siang bersamaku, tapi aku tahu bagaimana akhir dari cerita ini. Ibu Kirana selalu punya cara untuk membuat Pak Ariel menemaninya, dan sejujurnya, siapa yang bisa menyalahkan beliau? Mereka terlihat begitu cocok bersama.
Aku menghela napas panjang, membuangnya dengan kasar. Lima menit lagi jam istirahat. Saatnya bersiap menunaikan shalat Jum'at berjemaah bagi laki-laki yang beragama islam, biasanya masjid kantor akan penuh. Aku pun segera mengambil air wudhu di kamar mandi kantor dan menunaikan shalat Zhuhur di ruangan saja. Satu jam berlalu, masih tidak ada tanda-tanda Pak Ariel kembali ke ruangan. Aku tertawa kecil, lebih kepada diriku sendiri. Sudah jelas sejak awal bahwa aku tidak seharusnya menaruh harapan. Pak Ariel hanya terlalu baik, itu saja. Dia tidak mungkin menaruh perhatian lebih padaku.
Saat aku hendak berdiri untuk pergi makan sendiri, pintu ruangan terbuka. Aku menoleh, dan di sanalah Pak Ariel—wajahnya terlihat lelah, tapi senyumnya tetap sumringah. Aku terpaku, mataku membesar, terkejut. Dia... kembali?
Namun, detak jantungku yang sempat melonjak turun begitu cepat. Dia pasti tersenyum seperti itu karena baru saja bersama Ibu Kirana. Aku menelan ludah. Tentu saja. Aku kembali ke realitas yang sudah jelas sejak awal.
Pak Ariel berjalan mendekat, senyumannya tak berubah, dan berkata dengan ringan, "Ayo makan siang."
Aku memiringkan kepala, menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa kusembunyikan. Pertanyaan dingin meluncur dari bibirku sebelum aku bisa menahannya.
"Kenapa Bapak tidak makan siang bersama Ibu Kirana saja?"
Ada jeda sejenak. Wajahnya tetap tenang, seolah memahami apa yang terjadi di pikiranku. Lalu, dengan santai dia menjawab, "Saya menolak. Saya memilih makan siang denganmu."
Kata-katanya sederhana, terlalu sederhana, tetapi entah kenapa aku merasa seperti ada sesuatu yang hangat merayap di hatiku. Aku hanya terdiam, mencerna jawaban itu dengan kebingungan yang tak ingin kuakui.
Dia tidak menunggu reaksiku lebih lama. Aku segera mengambil bekal yang kubawa, menyerahkan salah satunya kepadanya. Tanganku sedikit gemetar, tapi aku berusaha menyembunyikannya. Kutemani dengan senyuman kecil—canggung, tapi tulus.
Pak Ariel menerima bekal itu dengan ucapan terima kasih yang hangat, lalu membukanya. Seperti biasa, dia memuji makananku. Aku tahu dia hanya sopan, tetapi kata-katanya tetap membuatku tersenyum kecil. Untuk menyembunyikan rasa senang yang tiba-tiba, aku menundukkan kepala dan fokus pada bekalku sendiri.
Kami makan dalam diam yang nyaman. Tidak ada obrolan berlebihan, hanya suara sendok yang bertemu dengan kotak bekal. Tapi, entah kenapa, suasana ini terasa berbeda—seperti ada keakraban yang tidak perlu dijelaskan.
Aku tahu, di hatiku yang paling dalam, aku tidak pantas untuk berharap lebih. Tapi, untuk saat ini, aku ingin menikmati momen kecil ini, meski aku tahu itu tidak akan bertahan lama.
***