Sherly, Ayo Pergi

POV Sherly

Kamis pagi tiba, saatnya kembali ke rutinitas kantor. Aku melangkah keluar rumah setelah berpamitan dengan Ibu, mataku tertuju pada mobil Pak Ariel yang sudah menunggu di depan gang. Aku menarik napas dalam-dalam beberapa kali, mencoba menenangkan perasaan yang masih tersisa dari hari sebelumnya. Rasa bersalah itu, meski perlahan mulai surut, tetap terasa mengganjal di sudut hati. Namun, aku harus melanjutkan hidup, bukan? Dengan tekad baru, aku berjalan mendekati mobil dengan langkah yang kuusahakan seringan mungkin.

Pak Agus, sopir pribadi Pak Ariel, turun dan membukakan pintu untukku. Di kursi depan, Pak Ariel sudah duduk, mengenakan kemeja putih yang rapi. Tatapannya penuh tanda tanya saat melihatku, tapi aku buru-buru menyapa dengan nada yang kuusahakan ringan. "Selamat pagi, Pak Ariel, Pak Agus."

Sapaan itu berhasil, setidaknya untuk sementara. Aku melihat raut wajahnya melunak, senyuman tipis muncul di bibirnya. "Pagi, Sherly," balasnya singkat.

Saat aku duduk di kursi belakang, suara Pak Ariel kembali terdengar, kali ini nadanya sedikit berbeda. "Sherly, bagaimana perasaanmu kembali bekerja bersama saya di kantor hari ini?"

Aku terdiam sesaat, lalu menoleh padanya dengan alis terangkat. "Bukankah kita memang selalu bekerja bersama, Pak?" tanyaku sambil terkekeh pelan. Pertanyaannya terasa sedikit aneh, tapi justru membuat suasana mencair.

Pak Ariel ikut tertawa kecil, mengakui kekonyolan pertanyaannya. "Benar juga, ya. Sepertinya saya terlalu banyak berpikir pagi ini."

Obrolan ringan itu berlanjut, membuat perjalanan ke kantor terasa lebih santai. Ia mulai membicarakan tentang kandidat baru yang akan menjalani training untuk posisi sekretaris direktur utama. Mendengar itu, rasa penasaran kecil mulai muncul dalam pikiranku.

"Siapa kandidatnya, Pak?" tanyaku spontan.

"Seseorang yang nilainya berada tepat di bawahmu saat tes masuk dulu," jawabnya sambil tersenyum tipis.

Aku langsung teringat sesuatu yang selama ini selalu mengganjal. Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibirku, tanpa sempat kucegah. "Kalau begitu, kenapa saya yang waktu itu melamar untuk posisi sekretaris direktur justru dipindahkan ke posisi asisten manajer keuangan, Pak?"

Pak Ariel tampak terkejut. Matanya sedikit membesar, dan raut wajahnya berubah serius. Ia diam sejenak, seolah sedang memikirkan jawaban yang tepat. Aku mulai merasa bahwa pertanyaanku mungkin terlalu mendadak, tapi aku tidak bisa menariknya kembali. Ini adalah pertanyaan yang sudah lama ingin kutanyakan, dan aku butuh jawaban.

Setelah jeda yang terasa begitu lama, ia akhirnya berbicara. "Waktu itu, posisi asisten manajer keuangan memang baru saja kosong karena Pak Haris mendapatkan promosi. Saya melihat peluang itu cocok untukmu karena latar belakang pendidikanmu relevan. Jadi, saya meminta persetujuan langsung kepada direktur utama untuk memindahkanmu ke posisi itu."

Penjelasannya terdengar masuk akal, tapi entah kenapa aku merasa ada bagian yang hilang. Nada suaranya sedikit ragu, bahkan matanya sempat menghindar dari tatapanku ketika berbicara. Aku hanya mengangguk pelan, mencoba menerima jawabannya tanpa banyak protes. Namun, pikiranku justru berputar lebih jauh ke masa lalu.

Aku teringat momen yang kini terasa sangat aneh. Saat itu, aku baru saja wisuda dan sedang berfoto bersama teman-teman kampus di aula universitas. Tiba-tiba seorang pria muda menghampiriku. Penampilannya sederhana, seperti mahasiswa biasa, tapi caranya berbicara sangat formal. "Apakah Anda Sherly Anindita?" tanyanya saat itu.

Aku mengangguk, sedikit bingung. Ia lalu menyerahkan amplop putih dan berkata, "Ini untuk Anda. Pastikan Anda membacanya." Sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, pria itu pergi begitu saja, meninggalkanku dengan segudang tanda tanya.

Di dalam amplop itu, aku menemukan informasi lowongan pekerjaan di Altara Group, posisi sekretaris direktur utama. Aku ingat betapa anehnya situasi itu. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, tidak ada petunjuk siapa pria itu atau bagaimana dia tahu tentangku. Tapi pada saat itu, aku hanya menganggapnya sebagai keberuntungan dan langsung memasukkan lamaran ke perusahaan.

Sekarang, mengingat semua itu, aku tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang kembali muncul. Siapa pria itu sebenarnya? Dan kenapa dia mencariku untuk memberikan amplop itu? Apakah semua ini hanya kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih besar di baliknya?

Aku melirik Pak Ariel yang kini sedang asyik mengetik sesuatu di ponselnya. Ada sesuatu dalam sikapnya yang membuatku merasa ia tahu lebih banyak daripada yang ia ceritakan. Namun, untuk saat ini, aku memilih untuk diam. Akan ada waktu untuk mencari jawaban, dan aku harus bersiap untuk itu.

***

Saat aku baru saja turun dari mobil, suara panggilan lantang menghentikan langkahku. Aku menoleh dan melihat Juan berdiri di seberang parkiran, melambaikan tangan dengan antusias. Raut wajahnya cerah, seolah telah menunggu sejak lama. Aku tersenyum kecil dan berjalan mendekatinya, sementara ia juga melangkah ke arahku.

"Sherly! Sudah lama banget nggak lihat kamu," katanya dengan nada hangat, senyuman lebarnya membuat matanya sedikit menyipit. "Senang deh bisa ketemu kamu lagi."

Aku mengangguk dan tersenyum, "Aku juga senang lihat kamu, Juan. Maaf ya, baru balik dari tugas luar kota."

Wajahnya tampak lega, seolah keberadaanku telah menghapus rasa rindunya yang lama terpendam. "Aku nggak tahu kalau kamu tugas luar kota sampai seminggu lebih. Kirain kamu menghindar dari aku," ujarnya sambil tertawa kecil, namun ada nada kejujuran di balik candanya.

Aku terdiam sesaat, tiba-tiba teringat chat darinya yang belum sempat kubalas. Rasanya waktu berlalu begitu cepat saat di luar kota—aku benar-benar lupa. "Aduh, maaf banget ya, Juan. Aku benar-benar sibuk, jadi lupa bales chat kamu," ujarku dengan nada tulus.

Juan menggeleng cepat. "Sudahlah, nggak apa-apa. Yang penting kamu baik-baik aja." Matanya melirik ke tanganku, dan aku bisa melihat senyumnya semakin lebar saat melihat gelang pemberiannya masih melingkar di pergelangan tanganku. "Kamu masih pakai ini," komentarnya lembut, hampir seperti bisikan.

Aku ikut melirik gelang itu dan tersenyum kecil. Rasanya aku memang lupa melepasnya. "Iya, aku masih pakai. Bagus kan?" Aku mencoba bercanda, meski sebenarnya tak pernah terpikir untuk melepasnya selama ini.

Tapi sebelum obrolan bisa berlanjut, suara berat yang tegas memanggil namaku. "Sherly, ayo pergi."

Aku mendongak dan melihat Pak Ariel berdiri di depan mobil, menatap kami dengan ekspresi serius yang membuat hatiku langsung mencelos. Raut wajahnya dingin, dan nada suaranya—meskipun tidak keras—terasa begitu menusuk.

Tubuhku kaku sesaat, dan aku bisa melihat bagaimana Juan tiba-tiba menundukkan kepala, kehilangan keceriaan sebelumnya. "Selamat pagi, Pak," sapanya dengan suara rendah, nyaris tak terdengar.

Namun, Pak Ariel tidak merespon. Tatapan matanya masih tertuju pada Juan—tajam, penuh sorotan yang sulit kuartikan. Aura di sekitar mereka terasa berubah; entah kenapa suasananya jadi tegang. Aku hanya bisa berdiri di tengah-tengah mereka, merasa canggung sekaligus tak nyaman.

Tanpa banyak bicara, aku mengikuti perintah Pak Ariel. "Aku ke atas dulu ya, Juan," ujarku cepat, mencoba mengakhiri percakapan yang mulai terasa berat.

Juan hanya mengangguk kecil, senyumannya memudar. Aku melangkah menuju Pak Ariel, tapi tak bisa menahan rasa bersalah yang samar muncul di hatiku. Saat melewati Pak Ariel, aku bisa merasakan aura dinginnya yang membuatku semakin bingung. Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa beliau terlihat begitu... berbeda?

Langkahku terasa berat, tapi aku tahu aku harus melangkah maju. Bagaimanapun, pagi ini baru saja dimulai, dan sepertinya hariku akan lebih rumit dari yang kuperkirakan.

***