Rasa Bersalah & Kehilangan

POV Ariel

Pagi itu udara terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya perasaanku saja. Tubuhku sudah jauh lebih baik dibanding kemarin, tapi ada sesuatu yang terasa mengganjal—bukan di tubuh, melainkan di hati. Aku memperhatikan Sherly yang sejak pagi terus menjaga jarak. Kata-katanya singkat, hanya seperlunya, dan senyumnya tidak pernah benar-benar sampai ke matanya.

Aku tahu dia masih merasa bersalah, meskipun aku sudah berulang kali mengatakan bahwa ini bukan salahnya. Namun, Sherly selalu punya cara sendiri untuk memikul beban yang seharusnya tidak perlu dia bawa. Aku ingin bicara dengannya, mencoba membukanya kembali, tapi setiap kali aku hendak memulai percakapan, dia sudah lebih dulu menarik diri.

Saat masuk ke mobil, aku memilih duduk di depan lagi. Tidak ada gunanya memaksa sesuatu yang tidak ingin dia lakukan. Aku juga tidak ingin menambah rasa canggung di antara kami. Pak Agus mulai menyetir dengan perlahan, seperti yang Sherly minta tadi pagi. Aku hanya bisa tersenyum kecil mendengar permintaannya. Perhatiannya selalu terasa tulus, meskipun caranya seringkali membuatku merasa sedikit bersalah—aku seharusnya yang menjaga dia, bukan sebaliknya.

Sepanjang perjalanan, aku mencoba menyibukkan diri dengan mengobrol bersama Pak Agus. Topik yang ringan, tentang jalanan, tentang cuaca, tentang apapun yang bisa mengisi keheningan di mobil. Tapi, di sela-sela obrolan itu, pandanganku sesekali melirik kaca spion. Sherly duduk di belakang, diam, menatap keluar jendela seperti sedang berada di dunia lain. Sesuatu di dalam diriku terasa seperti tertarik—aku ingin tahu apa yang sedang dia pikirkan, ingin tahu bagaimana cara membuatnya merasa lebih baik.

POV Sherly

Perjalanan pulang terasa begitu panjang. Aku memandang keluar jendela mobil, membiarkan pemandangan malam siang berkelebat tanpa benar-benar melihatnya. Di dalam hati, ada kekosongan yang sulit dijelaskan. Kakekku… dia telah lama pergi. Perjuanganku, pencarianku, semua itu terasa sia-sia.

Tapi itu belum seberapa dibanding rasa bersalah yang terus menghantui pikiranku. Luka di tubuh Pak Ariel—di dekat jahitannya—itu karena perjalanan ke desa terpencil tempat kakek pernah tinggal. Semua ini karena aku. Aku yang memaksanya pergi ke tempat yang sulit dijangkau. Aku yang egois ingin bertemu dengan keluarga yang bahkan tidak sempat kutemui.

Aku melirik ke arahnya. Pak Ariel duduk diam di sisi lain, sejak setelah kami berhenti untuk istirahat siang tadi, tangannya terlipat di pangkuan, tapi ekspresinya tetap tenang seperti biasanya. Tidak ada tanda-tanda keluhan darinya, meskipun aku tahu dia pasti merasakan sakit yang luar biasa. Jahitannya bahkan sempat berdarah ketika kami berjalan menuruni lereng itu.

"Sherly." Suaranya memecah keheningan, membuatku tersentak. "Kamu tidak perlu merasa bersalah. Saya tahu apa yang kamu pikirkan."

Aku menunduk, tidak berani menatapnya. "Tapi ini salah saya, Pak… Kalau saya tidak memaksa..."

"Cukup," potongnya lembut. "Keputusan saya untuk ikut adalah keputusan saya sendiri. Tidak ada yang salah dengan apa yang kamu lakukan. Setiap langkah yang kita ambil di perjalanan ini punya maknanya sendiri."

Air mataku yang menggenang di pelupuk mata rasanya tak bisa lagi dibendung, aku mengerjapkan mata dengan cepat dan langsung membuang muka ke jendela. Akhirnya air mataku jatuh. Aku menggigit bibir, berusaha menahan isakan, tapi rasanya semua emosi ini terlalu berat.

"Maaf, Pak..."

Ia menarik napas panjang, kemudian berkata dengan nada yang lebih hangat, "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Sherly. Kadang kita tidak bisa mengubah takdir, tapi kita selalu bisa belajar darinya. Fokuslah pada apa yang masih bisa kita lakukan ke depan."

Kata-katanya menggema di hatiku, tapi aku masih belum bisa sepenuhnya meyakinkan diri. Aku hanya mengangguk kecil, sementara pikiranku terus bergulat dengan rasa bersalah dan kehilangan.

POV Ariel

Perjalanan pulang berlangsung lancar, meskipun terasa lebih lama karena laju mobil yang pelan. Aku tidak keberatan, meskipun sedikit rasa ingin tahu menyelinap—apakah Sherly melakukan ini untukku, atau hanya karena dia masih merasa bersalah?

Ketika akhirnya kami sampai di depan rumahnya, sore hari sudah mulai bergulir ke senja. Sherly membuka pintu mobil, lalu berdiri sebentar sebelum menghadapku dan Pak Agus.

"Terima kasih banyak, Pak Ariel, Pak Agus," katanya dengan suara yang lembut, tapi ada nada penyesalan yang tidak bisa dia sembunyikan. "Semoga Pak Ariel segera membaik… dan, sekali lagi, maafkan saya."

Aku berusaha tersenyum serileks mungkin, mencoba membuat suasana menjadi lebih ringan. "Tidak perlu meminta maaf terus, Sherly. Saya benar-benar baik-baik saja. Kalau ada yang harus saya terima, itu hanya keadaan yang memang tidak bisa dihindari. Jadi, berhenti menyalahkan diri sendiri, ya?"

Dia tersenyum, tapi senyuman itu terasa hampa—seperti hanya sekadar bentuk kesopanan, tanpa emosi yang nyata di baliknya. Tatapan matanya masih penuh dengan rasa bersalah, dan aku tahu kata-kataku belum cukup untuk menghilangkan itu.

"Jaga diri, Sherly," tambahku pelan, berharap setidaknya itu bisa sampai ke hatinya.

Dia hanya mengangguk, lalu perlahan berbalik menuju pintu rumahnya. Aku memperhatikan punggungnya menghilang di balik pintu, masih bertanya-tanya bagaimana caranya aku bisa membuatnya merasa lebih baik.

Ketika pintu itu tertutup, aku menghela napas panjang. Ada sesuatu yang terasa kosong di mobil tanpa kehadirannya. Namun, aku tahu, aku tidak bisa memaksanya untuk melupakan perasaan bersalah itu dalam semalam. Dia butuh waktu, seperti halnya aku pernah butuh waktu untuk menerima banyak hal dalam hidupku.

Aku menoleh ke arah Pak Agus, yang tampaknya juga merasakan keheningan yang berbeda. Tanpa berkata apa-apa, dia mulai menjalankan mobil kembali. Dan aku hanya bisa duduk di sana, memandang jalanan yang mulai gelap, sambil bertanya-tanya kapan aku bisa melihat Sherly tersenyum lagi—senyum yang benar-benar datang dari hatinya.

***

POV Sherly

Adzan Magrib baru saja selesai berkumandang ketika aku merapikan mukena dan sajadahku. Udara malam terasa sejuk masuk dari jendela yang sedikit terbuka. Langkahku menuju meja makan pelan, mengalihkan pikiran yang sejak tadi terasa berat. Piring-piring dan gelas masih tertumpuk di meja, menunggu untuk ditata. Seperti biasa, aku dan Ibu akan makan malam setelah sholat Magrib. Rutinitas sederhana ini selalu membawa sedikit rasa hangat, meskipun malam ini pikiranku seperti tidak berada di sini.

Aku sibuk menata piring ketika Ibu datang dan duduk di kursi makan. Suaranya terdengar lembut, tapi ada nada penasaran yang terselip.

"Bagaimana perjalanan tugas luar kota kemarin? Ada pengalaman menarik?" tanyanya sambil tersenyum kecil.

Aku hanya menjawab seadanya, "Baik, Bu. Cukup lancar."

Namun, seperti yang sering terjadi, Ibu tidak menyerah. Pertanyaannya terus bergulir—tentang pekerjaan, tentang rekan-rekan kerja, tentang tempat-tempat yang kukunjungi. Jawabanku awalnya singkat dan datar, tetapi seiring waktu, tanpa kusadari, aku mulai bercerita lebih panjang. Ada sesuatu dalam caranya bertanya yang membuatku merasa sedikit nyaman untuk membuka diri.

Namun, Ibu pasti menyadari ada yang berbeda dariku. Mungkin dari caraku berbicara, atau dari sorot mataku yang sulit disembunyikan. Aku tahu dia memperhatikanku dengan seksama.

"Sherly," panggilnya, kali ini dengan suara yang lebih lembut. "Apa yang kamu pikirkan sekarang?"

Aku terkejut. Tubuhku menegang sesaat, dan refleks mataku menatapnya. Ekspresiku pasti terlihat gugup, karena Ibu langsung menaikkan alis, memberiku isyarat agar tidak mencoba menyembunyikan apapun. Dia selalu tahu.

Aku menarik napas panjang, mencoba meredakan gumpalan di dadaku. Tapi, sejujurnya, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Semua yang terjadi terasa menumpuk seperti gulungan benang kusut. Namun, tatapan sabar Ibu membuatku merasa harus berbicara. Perlahan, aku mulai membuka mulutku.

Aku menceritakan semuanya—tentang bagaimana aku mencari keberadaan Kakek setelah tugas selesai bersama Pak Ariel, lalu menemukan fakta bahwa Kakek telah tiada. Suaraku semakin tergesa ketika aku melanjutkan cerita tentang kondisi Pak Ariel—luka robek di jahitan bekas operasinya, penyakit jantung yang dimilikinya. Kata-kataku mengalir tanpa jeda, seperti air bah yang tak bisa lagi dibendung.

Ibu mendengarkan semuanya dengan tenang, tanpa menyela sedikit pun. Namun, matanya berbicara—ada keterkejutan di sana, juga kepedulian yang mendalam. Ketika aku akhirnya berhenti, merasa semua beban di dadaku keluar, Ibu menghela napas panjang. Wajahnya tetap lembut, penuh kasih.

"Kamu tidak sendirian, Nak," katanya, tangannya menggenggam tanganku dengan erat. "Masih ada Ibu di sini bersamamu."

Kata-katanya seperti pelukan hangat di tengah badai. Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak terdiam, mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibirnya.

"Pak Ariel itu sudah sangat baik padamu," lanjutnya dengan suara yang pelan tapi tegas. "Kamu harus berhenti menyalahkan diri sendiri, Sherly. Kalau kamu terus seperti ini, dia pasti akan merasa tidak enak hati. Apalagi dengan kondisi jantungnya, tentu ini bukan hal yang baik untuknya. Lebih baik kamu belajar menerima keadaan dengan lebih berani, dan beri dia dukungan. Dia butuh kamu untuk kuat, bukan untuk ikut terbebani."

Kata-katanya menusuk hatiku, tapi bukan dengan rasa sakit—melainkan dengan kesadaran yang selama ini mungkin tidak pernah kupikirkan. Aku memutar ulang semua tindakanku di kepalaku. Sikapku yang menarik diri, wajahku yang selalu penuh penyesalan setiap kali menatapnya, senyumanku yang terasa hampa. Semua itu, aku sadar sekarang, pasti membuatnya lebih khawatir daripada yang seharusnya. Ibu benar—bukan hanya luka di jahitannya yang harus diperhatikannya, tapi juga keseimbangan emosinya. Kondisi jantung Pak Ariel... aku tidak ingin menjadi alasan yang membuatnya semakin buruk.

Aku memeluk Ibu erat, seolah takut kehilangan ketenangan yang baru saja ia berikan. "Terima kasih, Bu," bisikku dengan suara yang penuh kelegaan dan rasa syukur.

Ibu tidak menjawab, tapi aku merasakan pelukannya mengencang, memberiku kekuatan yang selama ini aku butuhkan. Di dalam pelukan itu, aku tahu aku tidak sendirian. Aku tahu aku harus berubah, bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi untuk Pak Ariel—dan mungkin, untuk sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa bersalahku.

***