Perjalanan Kembali ke Hotel

POV Sherly

Kami tiba di rumah sakit kecil itu dalam waktu sekitar setengah jam. Meskipun bukan rumah sakit besar, fasilitas di sini terlihat cukup memadai untuk menangani keadaan darurat seperti yang dialami Pak Ariel. Saat mobil berhenti di depan Instalasi Gawat Darurat, aku segera membuka pintu dan bergegas turun.

Pak Agus bergerak cepat membantu Pak Ariel keluar dari mobil. Aku memandangnya dengan napas tertahan, melihat ia berdiri dengan membungkuk, satu tangannya memegangi perut, dan wajahnya menahan rasa sakit. Tubuh tinggi itu tampak begitu rapuh, jauh berbeda dari sosok tegas yang biasanya kutemui di kantor.

Seorang satpam yang berjaga di depan IGD langsung mendekat setelah melihat kondisi Pak Ariel. Ia mendorong kursi roda yang selalu siaga di sana. "Silakan, Pak," katanya sambil membantu Pak Ariel duduk.

Aku mengikuti mereka masuk, langkahku terasa berat. Pak Agus berjalan di belakang kursi roda, sementara aku hanya bisa mengekor dengan perasaan cemas yang terus menggerogoti. Di dalam ruangan, perawat langsung menghampiri, memindahkan Pak Ariel ke ranjang dorong yang sudah disiapkan. Mereka tampak cekatan, melepas perban lama dengan hati-hati sambil bertanya tentang luka dan kondisinya.

"Ada luka robek di jahitan pascaoperasi," jelas salah satu perawat kepada dokter perempuan yang berjaga. Dokter itu tampak tenang, meski sorot matanya serius.

"Baik, segera bersihkan luka dan siapkan evaluasi USG," perintah dokter itu. Ia lalu menoleh ke arahku. "Ibu, mohon bantuannya untuk memberikan informasi detail di meja administrasi."

Aku hanya bisa mengangguk cepat, melirik sekilas ke arah Pak Ariel sebelum mengikuti petugas administrasi ke meja di sudut ruangan. Di sana, aku menjawab beberapa pertanyaan tentang identitasnya dan memberikan keterangan sebaik mungkin tentang kondisinya yang kuingat. Suaraku sempat bergetar, tapi aku berusaha tetap tenang.

Setelah urusan administrasi selesai, aku kembali ke dekat ranjang Pak Ariel. Napasku tercekat saat melihat perban lama yang dilepas. Ada bercak darah yang tidak sedikit di beberapa area jahitan yang memerah. Rasanya seperti ada yang menusuk hatiku, rasa bersalah itu semakin menghantui.

Dokter perempuan itu memeriksa luka Pak Ariel dengan teliti. "Ada luka robek di area jahitan, tapi tidak terlalu dalam," katanya dengan nada tenang. "Kita tidak perlu melakukan jahitan ulang, tapi jaringan hati yang dioperasi harus dievaluasi untuk memastikan tidak ada komplikasi."

Aku melihat Pak Ariel yang hanya mengangguk kecil. Wajahnya tetap tenang, meski aku tahu pasti ada rasa tidak nyaman yang ia rasakan. Dokter memanggil teknisi USG untuk datang, dan aku hanya bisa berdiri di dekat ranjang, memegang erat jemari tanganku sendiri, mencoba menghalau rasa khawatir yang terus bertambah.

Tak lama kemudian, alat USG tiba. Dokter segera melakukan pemeriksaan dengan bantuan teknisi. Aku menahan napas sepanjang waktu, menatap layar yang menampilkan gambar yang tidak benar-benar kupahami. Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, dokter akhirnya tersenyum tipis.

"Jaringan hati Anda terlihat baik-baik saja," katanya kepada Pak Ariel. "Namun, untuk memastikan semuanya benar-benar aman, kami perlu melakukan pemeriksaan darah. Anda harus tetap berada di sini hingga hasilnya keluar."

Aku menghela napas lega, meskipun ketegangan itu belum sepenuhnya hilang. Pak Ariel hanya mengangguk lagi, mengucapkan terima kasih pelan kepada dokter. Setelah itu, perawat kembali membersihkan dan membalut luka di perutnya dengan perban baru.

Aku duduk di kursi di samping tempat tidur Pak Ariel, mencoba menenangkan diriku sendiri. Tapi setiap kali aku menatap wajahnya yang terlihat begitu pucat, rasa bersalah itu kembali menyeruak, lebih kuat dari sebelumnya. Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan air mata yang nyaris tumpah. Tubuhku terasa berat, seolah ada beban tak terlihat yang menghimpit dadaku.

Pandangan mataku beralih ke perban bersih yang baru saja dipasang oleh perawat di perutnya. Di balik lapisan kain putih itu, ada luka yang ia tanggung—luka yang aku sebabkan. Kalau saja aku tidak memintanya menemaniku ke desa itu. Kalau saja aku tidak egois, memaksa diriku untuk menyelesaikan pencarian ini tanpa memikirkan keadaannya...

Aku menarik napas dalam-dalam, tapi justru terasa semakin sesak. Tanganku meremas lutut, mencoba menghentikan gemetar di jari-jariku.

"Pak Ariel..." Aku akhirnya memecah keheningan. Suaraku terdengar serak, nyaris seperti bisikan. Aku menunduk, menatap lantai, tak berani menatap matanya. "Maaf... Maafkan saya. Semua ini salah saya. Kalau saja saya tidak memaksakan perjalanan itu, Bapak tidak akan..." Kata-kataku terputus. Tenggorokanku terasa tercekat oleh isakan yang kutahan.

Dia tidak langsung menjawab. Aku merasa waktu seolah berhenti selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Akhirnya, aku memberanikan diri menatapnya. Wajahnya lembut, penuh ketenangan yang terasa asing di tengah kondisinya yang seharusnya justru membuatnya lebih khawatir daripada aku.

"Sherly," katanya dengan nada yang tenang tapi tegas. "Jangan menyalahkan dirimu. Ini bukan salahmu."

"Tapi..." Aku mencoba membantah, tapi dia mengangkat tangannya pelan, menghentikanku.

"Ini hanya keadaan," lanjutnya. "Jalanan yang berlubang, tubuh saya yang memang tidak sekuat dulu, atau bahkan kejadian hari ini—semuanya bukan sesuatu yang bisa kamu kendalikan. Saya ingin menolongmu, Sher. Saya ingin ada di sampingmu, apapun yang terjadi."

Kata-katanya menusukku lebih dalam daripada rasa bersalah yang kurasakan. Bagaimana dia bisa begitu tulus? Bagaimana dia bisa tetap berpikir tentang aku, bahkan ketika dia yang terluka? Aku menggigit bibirku lebih keras, tapi kali ini air mataku jatuh.

Dia tersenyum. Senyum itu samar, nyaris tak terlihat, tapi aku tahu betapa berusahanya dia untuk meyakinkanku. "Saya baik-baik saja, Sherly. Saya benar-benar merasa cukup baik sekarang. Jadi, jangan terlalu khawatir, ya?"

Aku mengangguk pelan, meskipun aku tahu dia pasti bisa melihat bahwa aku belum sepenuhnya percaya. Hatiku masih terasa berat, tapi setidaknya, ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku ingin mencoba memercayainya.

"Maaf..." bisikku, sekali lagi. Itu kata terakhir yang mampu keluar dari bibirku sebelum aku akhirnya memilih diam. Aku menatap pintu luar IGD, mencoba mengalihkan pikiranku. Tapi bayangan wajahnya, senyumnya, dan suara lembutnya terus terngiang di kepalaku, membuatku sadar betapa dalamnya perhatian yang dia berikan kepadaku. Dan aku... Aku hanya bisa berharap aku layak mendapatkannya.

***

POV Ariel

Perjalanan kembali ke hotel terasa lebih lambat dari sebelumnya, dan aku tahu itu bukan karena jalan yang lengang atau kebetulan. Sherly pasti sengaja memintanya. Ada perhatian kecil dalam setiap tindakannya yang selalu membuatku merasa dihargai, diperhatikan. Aku duduk di kursi depan, di samping Pak Agus yang mengemudi, sementara Sherly diam di kursi belakang, matanya terpaku pada pemandangan di luar jendela. Hening, tapi tak benar-benar sunyi—aku masih bisa mendengar hembusan napasnya, merasakan kehadirannya di setiap detik.

Nyeri di perutku mulai mereda. Obat yang diberikan di rumah sakit bekerja cukup cepat, dan aku bersyukur untuk itu. Namun, pikiranku tak bisa tenang. Aku merasa seharusnya aku lebih berhati-hati, lebih menjaga diri, supaya tak ada yang perlu khawatir. Tapi aku tahu, meskipun aku tak mengatakan apa-apa, Sherly pasti sudah merasakannya. Dia selalu bisa membaca situasi lebih baik dari orang lain.

"Pak Agus," kataku pelan, tapi cukup tegas untuk memecah keheningan. "Tolong jangan ceritakan ini pada Mama. Aku tidak mau dia khawatir."

Pak Agus tak langsung menjawab. Ada jeda panjang yang membuat hatiku berdegup lebih cepat dari seharusnya. Lalu, dengan suara rendah, dia berkata, "Maaf, Pak. Saya tadi sudah memberitahu Nyonya setelah memastikan Bapak baik-baik saja di rumah sakit."

Kata-katanya seperti tamparan kecil yang mengingatkan aku pada hal yang selama ini kuhindari—kekhawatiran keluargaku. Aku menarik napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak menunjukkan kekesalan. Tapi aku tahu aku gagal. Suaraku terdengar lebih keras dari yang seharusnya saat aku menghela napas kasar.

Sherly pasti mendengarnya, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dalam keheningan itu, aku tahu dia memahami apa yang kurasakan. Dia tidak akan berpihak, tapi aku juga tahu dia setuju dengan keputusan Pak Agus. Kalau saja dia punya kontak Mama, mungkin dia juga akan melakukan hal yang sama.

Aku mengalihkan perhatianku pada ponsel yang tadi kutinggalkan di mobil. Belasan panggilan tak terjawab langsung menyambutku begitu layar menyala—Mama, Papa, Kak Liese. Ada juga beberapa pesan yang masuk, semuanya dengan nada sama: "Ariel, apa yang terjadi?" "Kenapa kamu tidak menjawab telepon?" "Kami sangat khawatir, tolong kabari segera."

Aku menarik napas lagi, lebih dalam kali ini. Layar ponsel terasa lebih berat dari sebelumnya. Aku tahu mereka mencemaskan aku, terutama Mama. Dia selalu begitu, sejak aku kecil. Ketika aku sakit, ketika aku berada jauh darinya, dia selalu ingin memastikan aku baik-baik saja. Dan aku selalu merasa bersalah karena membuatnya khawatir.

Jariku mulai mengetik balasan sederhana. "Aku baik-baik saja, Ma. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku hanya kelelahan dan butuh istirahat."

Kalimat itu terasa hambar, tapi cukup untuk menenangkan mereka, setidaknya untuk sementara. Kukirimkan pesan itu ke Mama, Papa, dan Kak Liese. Kemudian aku letakkan ponsel di pangkuanku, mencoba mengabaikan rasa bersalah yang masih tersisa.

Kepalaku menoleh sedikit ke samping, melihat Sherly sekilas melalui kaca spion dalam. Dia masih menatap ke luar jendela, tampak begitu tenang, tapi aku tahu apa yang ada di hatinya pasti tidak sesederhana itu. Dia selalu mencoba menanggung semuanya sendiri, mencoba melindungi orang-orang di sekitarnya, bahkan kalau itu berarti menyimpan rasa sakitnya sendiri.

Aku menggenggam ponsel lebih erat. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padanya, tapi kata-katanya belum siap keluar. Aku hanya berharap dia tahu betapa aku menghargai kehadirannya di sini. Tanpa dia, aku tak yakin perjalanan ini akan terasa seperti apa.

***