Janji yang Tak Terucap

POV Sherly

Tugu itu tampak persis seperti yang ada di foto lama. Detilnya tidak berubah: bentuknya yang sederhana namun penuh makna, berdiri di sana seperti saksi bisu waktu yang berlalu. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan debaran di dadaku. Di sebelahnya, sebuah rumah tua dengan bangunan semi permanen terlihat masih kokoh, pintu dan daun jendelanya terbuka lebar. Tidak ada rumah lain yang lebih dekat ke tugu ini. Pasti di sinilah tempatnya, pikirku, separuh yakin, separuh gugup.

Mobil berhenti tepat di depan rumah itu, dan aku buru-buru turun. Tapi langkahku terhenti ketika melihat Pak Ariel yang tampak kesulitan keluar dari mobil. Ia berdiri dengan satu tangan menekan perutnya, wajahnya menahan sesuatu—kesakitan yang ia coba sembunyikan. Aku segera menghampirinya.

"Pak Ariel," panggilku dengan suara cemas. "Jahitannya sakit lagi, ya?"

Pak Ariel tidak langsung menjawab. Senyumnya tipis, hampir seperti untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, ekspresi wajahnya tak bisa menipuku.

"Iya," akhirnya Pak Ariel mengaku, suaranya lemah. "Ada sedikit rasa sakit."

Aku merasa hatiku mencelos. Rasa khawatir yang selama ini ku coba tekan menyeruak. "Bapak harus periksa, ya," kataku cepat. "Nanti, setelah urusan ini selesai, kita langsung ke rumah sakit. Tolong, Pak."

Pak Ariel hanya tersenyum tipis, tidak memberikan jawaban. Itu membuatku semakin panik. "Pak, tolong jangan abaikan ini," lanjutku, kini dengan nada memohon. "Saya benar-benar nggak mau hal buruk terjadi sama Bapak."

Butuh beberapa detik, tapi akhirnya Pak Ariel mengangguk pelan. "Baiklah," katanya akhirnya. "Nanti kita periksa."

Aku merasa sedikit lega, meskipun masih ada rasa tak nyaman di hatiku. "Bapak tunggu di mobil saja, ya? Biar saya sendiri yang ke sana," pintaku dengan suara yang lembut namun tegas.

Tapi tentu saja, Pak Ariel menggeleng. "Saya ikut," katanya singkat.

Aku hampir ingin membantah, tetapi aku tahu tidak ada gunanya memaksa. Ketika Pak Ariel sudah memutuskan sesuatu, tidak mudah mengubah pendapatnya. Akhirnya, aku berjalan ke arah Pak Agus yang masih duduk di kursi pengemudi.

"Pak Agus, tolong bantu Pak Ariel jalan, ya," pintaku. "Kayaknya beliau kesakitan."

Pak Agus langsung turun dari mobil, mendekati Pak Ariel dengan langkah sigap. Aku mengawasi mereka berdua, masih merasa cemas. Tetapi sekarang, setidaknya, ada yang mendampingi Pak Ariel.

Aku menarik napas dalam-dalam lagi, mencoba menenangkan diriku sebelum melangkah ke rumah tua itu. Apa pun yang terjadi di sini, pikirku, aku harus kuat. Tapi... tolong, jangan sampai terjadi apa-apa pada Pak Ariel dulu.

Aku melangkah mendekati pintu rumah tua itu dengan hati yang penuh harap, namun juga penuh kecemasan. Bibirku mengucapkan salam beberapa kali, cukup nyaring agar siapa pun di dalam bisa mendengarnya. Setiap detik yang berlalu terasa lambat, seolah waktu ingin menguji keteguhan hatiku. Aku ingin segera tahu, siapa yang akan muncul di depan pintu itu. Di hatiku, aku tentu mengharapkan sosok kakek.

Seseorang akhirnya menjawab salamku, dan yang muncullah adalah seorang wanita muda, menggendong bayi kecil di pelukannya. Wajahnya tampak bingung melihat kami bertiga berdiri di depan rumahnya. Aku membuka mulut, mencoba berkata sesuatu, tapi sebelum suaraku keluar, Pak Ariel mendahuluiku.

"Bu, maaf mengganggu," suara Pak Ariel terdengar tenang dan ramah, begitu berbeda dengan kegelisahan yang kurasakan di dalam dadaku. Aku menoleh ke arahnya, sedikit heran tapi juga lega. Mungkin dia tahu—aku sedang tidak dalam kondisi yang cukup stabil untuk memberikan penjelasan yang masuk akal.

Wanita itu mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu perlahan mulai menjelaskan. Dia bukan pemilik rumah ini. Dia hanya mengontrak di sini. Kalimatnya terasa seperti angin dingin yang menyapu dadaku. Harapanku kembali meredup.

Wanita itu mengenali foto kakekku. Katanya, foto itu adalah orang tua dari pemilik rumah kontrakan ini, yang kini tinggal di kota kami. Wanita itu bercerita, orang tua dari pemilik rumah sudah lama meninggal, termasuk kakekku. Seketika aku meremas ponsel yang kugenggam, menarik nafas panjang menahan air mataku yang tiba-tiba menggenang. Aku membeku. Kata-katanya menghantamku seperti badai, membawa kembali semua rasa kehilangan yang selama ini berusaha kukubur dalam-dalam.

Kakekku sudah tiada.

Kata-kata itu terus bergaung di dalam pikiranku, semakin keras seiring dengan detak jantungku yang makin cepat. Rasanya seperti kehilangan Ayah untuk kedua kalinya, seperti saat harus menerima kenyataan bahwa Bang Ega juga pergi terlalu cepat. Kehilangan yang berlapis-lapis, membuat lubang di hatiku semakin besar.

Pak Ariel meminta informasi lebih lanjut—nama, alamat, dan nomor ponsel pemilik rumah ini, seorang pria bernama Bagas Saputra. Wanita itu dengan senang hati memberikannya, dan yang mengejutkan, alamatnya ternyata tidak jauh dari kantor kami. Hanya sekitar 25 kilometer.

Ada harapan baru yang menyelinap masuk ke hatiku, harapan yang sedikit menenangkan rasa perih ini. Mungkin, aku masih punya kesempatan untuk mengetahui lebih banyak tentang kakek. Mungkin, aku akan bertemu keluarga baru yang selama ini tidak kukenal. Tapi di saat yang sama, aku merasa begitu terlambat. Orang yang kucari selama ini sudah pergi.

Bayangan wajah Ayah muncul di benakku, senyumnya yang selalu menenangkan, suaranya yang menenangkan hatiku saat dunia terasa terlalu keras. Lalu Bang Ega, kakakku yang selalu membuatku merasa aman. Mereka berdua pernah menjadi duniaku, dan kehilangan mereka adalah luka yang tak pernah benar-benar sembuh.

Aku melamun, larut dalam kenangan. Masih kuingat saat Ayah mengajariku naik sepeda di taman dekat rumah, atau Bang Ega yang selalu membelaku ketika aku menangis. Sekarang, aku hanya bisa memeluk ingatan itu, karena mereka tidak lagi ada di sini.

Suara Pak Ariel yang masih berbincang dengan wanita itu terdengar di latar belakang, tetapi aku hampir tidak mendengarnya. Hati ini terasa berat, seperti membawa beban yang tak terlihat. Mataku berkaca-kaca, tapi aku menahannya. Aku tidak ingin menangis di sini, di depan mereka.

Kenapa rasanya semua orang yang kucintai selalu pergi terlalu cepat? tanyaku pada diriku sendiri. Tapi mungkin, seperti yang sering dikatakan Ayah, hidup ini tidak selalu memberi jawaban yang kita cari. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah melangkah maju, meskipun dengan luka yang tidak akan pernah hilang.

***

POV Ariel

Aku memperhatikan Sherly yang masih diam, matanya menerawang jauh ke arah jendela. Wajahnya tidak menampakkan emosi yang jelas, tapi aku tahu di dalam hatinya ada badai yang tengah berkecamuk. Setelah berpamitan dengan wanita muda tadi, aku sempat menawarkan untuk mengunjungi makam kakeknya. Namun, jawabannya tegas, lebih keras dari biasanya.

"Tidak usah, Pak. Itu hanya akan membuat semuanya lebih berat," katanya dengan nada yang hampir seperti menahan tangis.

Aku tidak membalas. Aku tahu saat ini bukan waktu untuk memaksa. Kehilangan selalu meninggalkan luka yang sulit dijelaskan. Apalagi untuk Sherly, yang sudah terlalu sering kehilangan sosok-sosok penting dalam hidupnya. Ayahnya, kakaknya, dan kini kakeknya. Aku hanya bisa membayangkan rasa kosong yang dia rasakan.

Keinginanku untuk melindunginya semakin kuat. Bukan lagi sekadar rasa peduli biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam di hatiku, sesuatu yang terus tumbuh seiring waktu. Melihatnya seperti ini, terluka, membuatku sadar—aku ingin menjadi orang yang memastikan dia tidak perlu merasa sendiri lagi.

Perjalanan menuju rumah sakit terasa hening. Sherly tetap fokus pada pandangannya ke luar, seolah menghindari percakapan. Aku memutuskan untuk diam, memberinya ruang untuk menenangkan diri. Tapi di dalam hatiku, aku memikirkan banyak hal.

Rasa cinta ini… aku tidak tahu kapan mulai merasakannya. Awalnya mungkin hanya rasa kagum. Dia adalah seseorang yang berbeda—sederhana, kuat, tapi juga rapuh di waktu yang sama. Lalu, aku merasa nyaman setiap kali berada di dekatnya, seolah dunia yang kadang terlalu dingin ini menjadi lebih hangat hanya dengan melihat senyumnya.

Tapi sekarang, ini lebih dari itu.

Aku ingin menjadi seseorang yang selalu ada untuknya. Bukan hanya untuk saat-saat bahagia, tapi juga di saat-saat sulit seperti ini. Aku ingin memastikan dia tidak perlu menanggung beban seorang diri. Dia sudah cukup banyak kehilangan, dan aku tidak ingin menjadi salah satu dari orang-orang yang meninggalkannya.

Tatapanku beralih padanya, dan aku melihatnya menghela napas panjang. Ada kelelahan yang tidak hanya terlihat di wajahnya, tapi juga terasa dalam caranya bergerak, caranya berbicara. Aku tahu, dia memaksakan dirinya untuk fokus padaku saat ini, meskipun hatinya masih terluka.

Sherly… bagaimana mungkin aku tidak mencintaimu? pikirku dalam hati.

Aku tidak pernah merasakan sesuatu yang sekuat ini sebelumnya. Rasa cinta yang datang bukan karena fisik atau kepribadian saja, tapi karena aku ingin melihatnya bahagia. Aku ingin dia tahu bahwa tidak semua orang akan pergi. Tidak semua orang akan meninggalkannya.

Aku berjanji pada diriku sendiri saat itu. Selama aku masih diberi waktu, aku akan memastikan Sherly tahu bahwa dia tidak sendiri. Bahwa ada seseorang di dunia ini yang mencintainya lebih dari sekadar kata-kata, lebih dari sekadar janji kosong.

Dan meskipun tubuhku terasa semakin lemah karena rasa sakit di perut ini, aku bersyukur ada di sini bersamanya. Karena Sherly adalah alasan aku terus ingin bertahan, terus ingin melangkah maju, meskipun terkadang jalan di depan terasa berat.

***