Desa Seduan Hilir

POV Sherly

Setelah menunaikan sholat zuhur dan makan siang di sebuah warung kecil di pinggir jalan, aku duduk sejenak untuk menikmati angin yang bertiup pelan. Rasanya menenangkan, meskipun perjalanan hari ini mulai terasa di tubuhku. Aku melirik ke arah Pak Ariel. Wajahnya masih memancarkan semangat, tapi guratan lelah mulai terlihat jelas di garis-garis wajahnya. Matanya sedikit menyipit, mungkin karena cahaya matahari yang cukup terik sepanjang hari tadi.

Namun, meskipun terlihat lelah, ia tetap tampak bersemangat. Dengan nada tegas namun tenang, ia berkata, "Desa Seduan Hilir tidak terlalu jauh dari sini, Sherly. Hanya sekitar satu setengah jam perjalanan. Kita bisa ke sana sekarang kalau kamu siap."

Aku terdiam sejenak, menyerap apa yang baru saja ia katakan. Aku sebenarnya sangat berharap untuk bisa ke desa itu sekarang juga, tapi aku tak pernah menduga kalau Pak Ariel akan menawarkan tanpa aku harus meminta. Rasanya seperti mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan. Aku merasa jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

Sambil mengangguk, aku tersenyum dan berkata pelan, "Kalau Pak Ariel tidak keberatan, saya sangat ingin ke sana sekarang."

Dia membalas senyumku, sebuah senyum yang penuh keyakinan. "Tentu saja, Sherly. Ini penting untukmu, jadi saya akan membantu semampu saya."

Aku ingin menahan rasa senang ini, tapi tidak bisa. Di balik kelelahan yang mulai terasa, ada dorongan harapan baru yang tiba-tiba menyala. Perasaan yang hangat itu kembali muncul—perasaan yang pernah aku coba abaikan sejak beberapa waktu lalu. Aku ingat, ada saat-saat di mana aku merasa Pak Ariel menyukaiku. Dia sering memperhatikan aku lebih dari rekan kerja lainnya, bahkan terkadang terlihat cemburu ketika aku berbicara atau sekadar menyebut nama Juan. Tapi semuanya berubah sejak Ibu Kirana datang. Sejak saat itu, aku berpikir mungkin aku hanya salah mengartikan sikapnya. Mungkin aku terlalu berharap.

Namun, hari ini, semua itu terasa berbeda. Perhatian dan dukungan yang ia berikan sekarang seperti membisikkan sesuatu yang tidak bisa aku abaikan. Pak Ariel tampak begitu tulus, seolah-olah aku adalah seseorang yang benar-benar penting baginya.

Aku memperhatikan dia yang sedang sibuk memeriksa ponselnya. Guratan serius di wajahnya, jemarinya yang mengetik cepat, dan sesekali ia mengerutkan dahi seperti sedang berpikir keras. Tiba-tiba, pikiranku melayang jauh ke depan. Sekilas, bayangan tentang diriku sebagai istri pak Ariel melintas di benakku—gagasan yang terasa indah, namun tak lepas dari keraguan. Apa benar perhatian pak Ariel padaku tulus, ataukah sekadar kebaikan seorang atasan? Lagi pula, sejak kedatangan Ibu Kirana, aku kerap menangkap percikan chemistry di antara mereka, meskipun kecil. Bayangan itu membuat dadaku terasa sesak.

Aku menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran itu. "Jangan terlalu berharap," gumamku dalam hati. Toh, tidak ada jaminan bahwa pak Ariel merasakan hal yang sama. Aku mengembuskan napas panjang, memaksakan senyum kecil untuk menyembunyikan kegundahanku, tapi pikiranku tetap berputar di antara harapan dan ketidakpastian. Aku harus fokus pada tujuan utama perjalanan ini—mencari jejak tentang kakekku. Itu yang terpenting sekarang.

Aku menatap ke arah luar jendela mobil, memandangi pohon-pohon yang berdiri tegak di sepanjang jalan. Angin kembali berembus pelan, membawa sedikit ketenangan ke dalam dadaku. Apa pun yang terjadi nanti, aku hanya bisa berharap agar perjalanan ini membawa sesuatu yang berarti—untuk masa lalu, dan mungkin juga untuk masa depan.

***

Aku tak menyangka perjalanan menuju desa Seduan Hilir akan seberat ini. Jalanan yang kami lalui bukanlah jalan utama yang mulus, melainkan jalan kampung yang penuh lubang dan aspal yang sudah terkelupas di banyak tempat. Mobil yang dikendarai Pak Agus berguncang keras berkali-kali, membuat tubuhku serasa dilempar ke sana kemari. Di sampingku, Pak Ariel tampak diam, tapi matanya yang menyipit dan tangannya yang sesekali memegangi perutnya membuatku sadar—dia sedang menahan sesuatu. Tepatnya, menahan rasa sakit.

Aku melirik pak Ariel yang mencoba duduk lebih tegak, tangan kirinya memegangi perut, sementara tangan kanannya terlihat menggenggam erat sandaran kursi. Wajahnya pucat, tetapi ia tetap berusaha tersenyum kecil saat menyadariku sedang memperhatikannya. "Hanya sedikit pegal," katanya ringan, meskipun suaranya terdengar sedikit gemetar. Raut wajahnya tetap berusaha tenang, namun tak bisa sepenuhnya menyembunyikan apa yang sedang dirasakannya. Ada dorongan untuk memintanya berhenti sejenak, atau bahkan membatalkan perjalanan ini, tapi aku tahu itu mustahil. Kami sudah melewati lebih dari separuh perjalanan; tak mungkin berbalik sekarang.

Ketika akhirnya mobil berhasil keluar dari jalanan berlubang, aku tak bisa menahan diri lagi. "Pak Ariel, jahitannya… masih aman, kan?" tanyaku, mencoba menyeimbangkan nada khawatir di suaraku.

Dia menoleh, senyumnya samar, tapi cukup untuk membuatku merasa lega sejenak. "Masih aman. Jangan terlalu dipikirkan, Sherly," katanya. Tapi matanya… matanya sedikit cemas, meski hanya sebentar. Aku tahu, aku harus memintanya untuk memeriksakan diri setelah semua ini selesai, tapi mungkin nanti saja. Saat ini, yang lebih penting adalah menyelesaikan perjalanan.

Suasana berubah mencekam saat roda mobil mulai melewati titian balok kayu. Bunyi derit balok yang seperti menjerit di bawah tekanan membuatku tak berani bernapas lega. Tanganku mencengkeram tepi kursi dengan kuat, keringat dingin mulai terasa mengalir di pelipisku. Di dalam hati, aku berulang kali berdoa agar jembatan ini mampu menahan beban kami hingga ke seberang.

Aku menahan napas, menggenggam ujung jilbabku erat-erat tanpa sadar. Tak ada yang bersuara di dalam mobil. Bahkan Pak Ariel yang biasanya selalu punya komentar ringan tetap diam.

Namun, jembatan itu akhirnya berhasil kami lewati tanpa insiden. Ketika roda mobil kembali menyentuh aspal yang lebih mulus, aku merasakan napasku mulai stabil. Pak Ariel, dengan suara tenang yang menjadi ciri khasnya, berkata, "Tempat yang kita tuju sudah dekat. Beberapa persimpangan lagi."

Perasaanku bergelut dalam diam. Apakah kami benar-benar menuju tempat yang tepat? Bagaimana jika kenyataan yang kutemukan nanti tidak seperti harapan? Jantungku berdetak semakin cepat, seolah ikut berpacu dengan roda mobil yang kini melaju lebih mulus di atas aspal. Aku mencoba menarik napas dalam-dalam, tetapi kegelisahan itu tetap menyesakkan dadaku, mengusik pikiranku dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak pasti.

Aku mencoba menenangkan diriku, tapi pikiranku terus berputar. Apa yang akan kami temui nanti? Apa yang akan terjadi setelah ini?

Tiba-tiba, suara lembut Pak Ariel memecah pikiranku. "Sherly," katanya, "tidak perlu khawatir dengan apa yang akan terjadi nanti. Apapun takdir yang kita temui, itu adalah takdir yang terbaik dari Allah."

Aku menoleh ke arahnya. Suaranya penuh ketulusan, dan senyumnya yang tulus membuat hatiku yang gelisah sedikit mereda. Aku mengangguk pelan, tak mampu berkata apa-apa. Kata-katanya membawa ketenangan yang tak bisa dijelaskan dengan logika.

"Terima kasih, Pak Ariel," ucapku lirih. Dan untuk pertama kalinya sejak perjalanan dimulai, aku bisa menarik napas panjang tanpa merasa cemas.

***