POV Sherly
Sesampainya kami di kantor desa, Pak Ariel segera mengganti kacamatanya. Dengan gerakan terlatih, ia melepas kacamata hitam yang tadi dipakainya dan kembali mengenakan kacamata biasa. Penampilannya langsung berubah—tidak lagi terlihat santai dan angkuh seperti sebelumnya, melainkan kembali ke sosok profesional yang serius dan penuh wibawa. Aku sedikit terkesima menyadari betapa cepatnya ia bisa berganti peran hanya dengan satu gerakan kecil itu.
Di depan pintu kantor, kepala desa sudah menunggu. Pak Ariel melangkah lebih dulu, memberikan salam sambil menjabat tangan kepala desa dengan cara yang, entah bagaimana, terasa begitu hormat tapi tetap berwibawa. Gerakannya terukur, suaranya tenang tapi jelas. Aku mengikuti di belakang, ikut menjabat tangan kepala desa sambil menyunggingkan senyum sopan.
Pak Ariel membuka percakapan dengan basa-basi ringan. Aku hanya mendengarkan sambil memperhatikan cara ia berbicara—pilihan katanya yang rapi, nada bicaranya yang tidak terburu-buru. Ada kesan bahwa ia selalu tahu apa yang harus dikatakan, dan kapan harus mengatakannya. Saat suasana percakapan mulai terasa lebih akrab, aku menunjukkan foto surat gadai tanah dari ponselku kepada kepala desa.
Kepala desa memerhatikan foto itu dengan seksama, dahinya berkerut. "Ini surat lama sekali," gumamnya, membuatku sedikit cemas. Kemudian ia menggeleng pelan, menjelaskan bahwa mereka tidak memiliki informasi apa pun terkait surat gadai tanah itu di kantor desa. Tapi, sebelum aku sempat merasa kecewa, ia menambahkan bahwa ia mengenali salah satu nama di surat itu. Bukan nama kakekku, tapi nama pihak lain yang terlibat dalam transaksi tersebut.
Aku langsung menoleh ke Pak Ariel, mencari petunjuk dari ekspresinya. Dia tetap tenang, seperti biasa. Kepala desa menawarkan diri untuk mengantar kami ke rumah orang tersebut. "Tapi tempatnya cukup jauh," katanya. "Jalannya kecil, tidak bisa dilewati mobil."
Pak Ariel hanya mengangguk, menyetujui tanpa banyak komentar. Kepala desa lalu memanggil dua stafnya untuk membantu. Masing-masing akan membonceng kami menggunakan sepeda motor, sementara ia sendiri mengendarai motornya.
Saat Pak Ariel kembali mengenakan kacamata hitam sebelum keluar dari kantor, aku harus menahan tawa. Penampilannya langsung berubah lagi, seperti... seperti seorang mafia yang sedang keliling kampung! Aku tidak bisa menahan senyum kecil yang terulas di wajahku.
Sayangnya, senyum itu tidak luput dari perhatian Pak Ariel. Ia melirikku sekilas, lalu menggeleng pelan sambil membuang muka ke arah lain. Sungguh, sikapnya itu malah semakin memperkuat kesan angkuh yang muncul darinya. Aku hanya bisa tertawa kecil dalam hati sambil menggeleng pelan. Pak Ariel ini memang orang yang unik—serius, profesional, tapi kadang tanpa sadar bisa begitu... menghibur.
***
Aku menikmati perjalanan ini. Sesekali, aku menghirup udara bebas, jauh dari hiruk-pikuk kantor, sementara jalanan yang dilalui begitu menyegarkan. Angin yang menerpa wajahku seolah menghapus semua beban pikiran. Namun, sepertinya tidak begitu dengan Pak Ariel. Kulitnya yang terang mulai memerah, menandakan bahwa cuaca terik hari ini cukup menguji. Aku sempat meliriknya, tapi memilih untuk diam, memberi ruang pada pikiran-pikiranku yang melayang.
Setelah beberapa saat, kami sampai di rumah yang dituju. Kepala desa langsung memanggil pemilik rumah, namun yang keluar justru seorang perempuan setengah baya. Aku sempat ragu, tapi perempuan itu memperkenalkan diri sebagai Bu Icem, yang langsung menyarankan kami untuk masuk. Kami pun segera menuju ke kamar Buya, ayahnya, yang tengah sakit kaki.
Kepala desa sedikit basa-basi, mungkin untuk mencairkan suasana, sebelum akhirnya menjelaskan tujuan kedatangan kami. Aku mendengarkan dengan seksama, berharap sesuatu yang bisa mengarah pada petunjuk lebih lanjut tentang kakekku. Ketika Buya mendengar alasan kami, ia mencoba mengingat-ingat kenangan tentang Darman, teman sebayanya. Aku menatapnya penuh harap, ingin sekali mengetahui apa yang ia tahu.
Dengan suara perlahan, Buya menceritakan bahwa Darman telah lama meninggalkan kampung ini, sekitar 45 tahun yang lalu. Darman pergi ke rumah keluarga ibunya dan menetap di sana, namun Buya tidak ingat nama tempat itu. Aku menunggu dengan cemas, berharap informasi itu bisa sedikit lebih jelas. Tiba-tiba, tanpa terduga, Pak Ariel menyebutkan nama sebuah desa, "Seduan Hilir."
Aku terkejut. Kenapa dia bisa tahu? Aku langsung bertanya, "Pak Ariel, bagaimana bisa tahu nama itu?" Tentu saja, aku penasaran.
Pak Ariel menjelaskan dengan tenang, "Saya ingat. Dua tahun lalu, perusahaan mengadakan bakti sosial di sana. Di foto itu, ada bangunan ikonik yang berada di desa Seduan Hilir."
Aku terdiam. Bagaimana bisa Pak Ariel mengingat dengan begitu jelas? Tidak ada ekspresi berlebihan di wajahnya, namun jawaban itu sangat meyakinkanku. Buya juga terlihat terkejut, dan akhirnya mengkonfirmasi bahwa memang benar nama desa itu yang dimaksud. Bahkan, dia menyebutkan kalau rumah keluarga ibu Darman berada tepat di samping bangunan itu, sebuah menara kecil yang menjadi tugu peringatan bagi korban pemuda desa yang tewas dibantai penjajah Belanda. Buya meyakinkan kami, itu adalah satu-satunya rumah yang berada dekat dengan tugu itu.
Hatiku berdebar. Jalan untuk menemukan jejak kakekku terasa semakin dekat. Meskipun aku tahu tidak akan mudah, aku merasakan secercah harapan yang menyala dalam dadaku. Aku yakin, usaha ini tidak akan sia-sia.
***
Setelah mendapatkan informasi dari rumah Buya, kami kembali ke kantor. Aku sempat melirik Pak Ariel yang masih tampak sedikit memerah, seperti bisa dilihat dari wajahnya yang agak kemerahan. Wajahnya mencolok di antara kami semua yang tampak biasa saja, tapi anehnya, Pak Ariel justru terlihat sangat percaya diri. Ia tampak tidak menunjukkan sedikit pun rasa canggung, seolah-olah tidak ada yang berbeda.
Dia langsung membahas tentang pembangunan desa dengan Kepala Desa. Aku bisa melihat betapa seriusnya mereka berbicara, dan seketika itu juga, Kepala Desa tampak semakin bersemangat. Setelah beberapa menit perbincangan yang terasa sangat penuh perhatian, Pak Ariel mengeluarkan ponselnya dan melakukan transfer uang ke rekening desa. Kepala Desa langsung memeriksa ponselnya, dan wajahnya berubah sumringah. Dia mengucapkan terima kasih berkali-kali, dan aku bisa merasakan betapa dalamnya rasa syukurnya. Dia bahkan berjanji akan memanfaatkan bantuan yang diberikan dengan sebaik-baiknya.
Aku terdiam sejenak, pikiran tiba-tiba melayang kembali ke momen seminggu yang lalu, ketika Pak Ariel juga terlihat sibuk dengan ponselnya—waktu itu, saat kami mengunjungi mesjid dan ia memeriksa nomor rekening untuk donasi. Aku mulai menyimpulkan sesuatu yang tidak bisa aku hindari. Pak Ariel ini ternyata tipe orang yang sangat suka berdonasi, tanpa perlu banyak bicara, tanpa mengharapkan pujian. Keikhlasannya itu semakin menambah rasa kagumku padanya. Ada sesuatu yang berbeda, yang tidak bisa aku definisikan, tentang bagaimana Pak Ariel tidak sekadar memberikan uang, tapi juga memberikan perhatian yang tulus. Dan aku tidak bisa berhenti berpikir, apakah ini hanya sisi lain dari dirinya yang belum sepenuhnya aku ketahui?
***
Setelah berpamitan dengan Pak Kepala Desa dan staf yang ada di sana, kami kembali menuju mobil. Begitu masuk, aku langsung merasakan sejuknya udara dari AC mobil, dan tanpa pikir panjang, aku mengucapkan terima kasih kepada Pak Ariel yang sudah memastikan kenyamanan di perjalanan ini. Pak Ariel mengangguk, wajahnya serius tapi penuh perhatian. "Saya akan bantu semampu saya, Sherly," katanya. Suaranya begitu tulus, dan aku merasa jika janji itu sangat serius. Rasanya, aku bisa mempercayainya.
Namun, perhatian aku kemudian teralihkan pada Pak Ariel yang sedang sibuk menyimpan kacamata hitamnya ke dalam kotak kacamata. Tiba-tiba, tanpa berpikir lebih jauh, aku bertanya, "Kenapa Pak Ariel tidak pakai kacamata photochromic, seperti yang banyak orang pakai? Kan lebih praktis, tidak perlu sering mengganti kacamata seperti tadi."
Pak Ariel tersenyum sejenak, dan aku bisa merasakan bahwa dia agak terkejut, mungkin karena aku semakin sering memperhatikan dirinya. Ia menjelaskan dengan tenang, "Saya sudah terbiasa pakai kacamata sejak SD. Kalau pakai kacamata photochromic yang bisa berubah warna itu, saya malah merasa tidak seperti diri saya sendiri. Rasanya tidak nyaman, itu jadi hal yang sangat personal buat saya."
Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba memahami setiap kata yang keluar dari mulutnya. Pak Ariel menambahkan lagi, "Saya memang tipe orang yang susah berpaling kalau sudah merasa nyaman dengan sesuatu."
Aku mengangguk, mencoba mencerna kata-katanya. Menyadari bahwa Pak Ariel sepertinya sangat setia terhadap apa yang telah menjadi miliknya, aku tak bisa menahan pikiran yang tiba-tiba muncul. Orang yang menjadi pendamping Pak Ariel pasti sangat beruntung. Mereka akan mendapatkan seorang pria yang tidak hanya serius, tapi juga memiliki prinsip yang kuat. Tipe pria yang tak mudah berpaling, yang tahu apa yang ia inginkan dan bertahan pada pilihannya. Aku tak tahu kenapa, tapi rasanya ada sesuatu yang menghangatkan hati ketika memikirkan itu.
***