Kacamata Hitam

POV Sherly

Rapat akhirnya usai pada sore hari, kami pun kembali menuju hotel. Langit sore sudah mulai menggelap saat mobil melaju pelan di jalan raya. Suara kendaraan di luar bercampur dengan gumaman mesin mobil, menciptakan suasana tenang yang sesekali dipecahkan oleh deru angin. Aku duduk di kursi belakang bersama Pak Ariel, sementara Pak Agus mengemudikan mobil dengan kecepatan konstan.

Aku sudah memantapkan hati. Hari ini aku akan meminta izin untuk tidak masuk kerja besok. Tapi, saat menoleh ke samping, melihat Pak Ariel yang tampak lelah dengan tangan beberapa kali memijat keningnya, aku sedikit ragu. Apa aku harus menundanya saja? Namun, jika tidak sekarang, kapan lagi? Tapi, baru saja membuka mulut, aku kembali terdiam, bagaimana jika dia terganggu dengan pertanyaanku? Ah, tapi jika tidak kulakukan aku akan kehilangan kesempatan ini! Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan pelan sambil memantapkan hati.

"Pak Ariel," panggilku pelan.

Dia menoleh dengan sedikit senyum meski raut wajahnya menunjukkan rasa tidak nyaman. "Ya, Sherly?"

Aku menarik napas sebelum akhirnya berkata, "Saya mau izin untuk tidak masuk kerja besok. Ada keperluan yang harus saya selesaikan."

Pak Ariel mengangkat alis, tampak terkejut. "Keperluan apa? Kenapa mendadak seperti ini?"

Pertanyaan itu membuatku terdiam sejenak. Aku tahu ini akan ditanyakan, dan aku sudah mempersiapkan jawaban. Namun, entah kenapa, lidahku mendadak kelu. Aku harus memastikan alasanku terdengar masuk akal, atau permintaan ini pasti ditolak.

Setelah berpikir sejenak, aku menghela napas dan memutuskan untuk jujur. "Saya sedang mencari keberadaan kakek saya, Pak. Ada kemungkinan dia yang menjadi asal rhesus negatif saya. Ini penting, karena saya ingin tahu lebih banyak tentang latar belakang keluarga saya."

Pak Ariel memandangku dengan raut wajah yang sulit ditebak. Aku sudah menyiapkan rencana cadangan kalau permintaan ini tidak diterima, tapi yang terjadi berikutnya benar-benar di luar dugaanku.

"Rhesus negatif?" ucapnya, nada suaranya terdengar terkejut sekaligus penuh perhatian. Dia menatapku lebih lama, seolah baru menghubungkan sesuatu. "Sherly, bukankah kamu pernah cerita soal ini waktu kita video call dulu, di rumah sakit?"

Aku mengangguk pelan. "Iya, Pak. Itu sebabnya saya ingin melanjutkan pencarian ini."

Reaksinya membuatku tertegun. Alih-alih menolak atau menganggap ini bukan hal penting, Pak Ariel tampak benar-benar terlibat. "Kenapa kamu tidak cerita dari awal kalau ini tentang kakekmu? Ini hal yang penting, Sherly. Kamu seharusnya memberitahu saya lebih dulu."

Kata-katanya itu membuat dadaku terasa hangat. Aku tidak menyangka dia akan sepeduli ini.

"Apa yang sudah kamu tahu tentang kakekmu?" tanyanya serius, meski raut lelah di wajahnya tetap terlihat.

Aku mengeluarkan ponselku dan membuka foto lama yang sempat kuambil. "Ini foto kakek saya, Pak. Dari surat gadai tanah, alamat terakhirnya ada di Kampung Senggir, Kecamatan Dantokan, Kabupaten Tatakan Timur."

Pak Ariel mengambil ponselku dan memperhatikan foto itu dengan seksama. Matanya sedikit menyipit saat mengamati wajah kakekku. "Dia terlihat seperti orang keturunan Eropa," gumamnya. "Ini mirip sekali dengan beberapa wajah yang sering saya lihat di Jerman."

Kata-katanya membuatku merasa seolah keyakinan ibu dan aku akhirnya mendapat validasi. Aku tersenyum tipis, merasa lega.

Namun, bukan hanya itu. Pandangannya beralih ke latar belakang foto. Dia terdiam agak lama, lalu raut wajahnya berubah. "Bangunan di belakang ini…" katanya sambil menunjuk bagian foto. "Ikonik sekali. Sepertinya saya pernah melihatnya."

Aku menatapnya penuh rasa ingin tahu. "Pak Ariel pernah ke sana?"

Dia mengangguk kecil. "Saya pernah, tapi saya tidak ingat di mana tepatnya." Tangannya kembali memijat keningnya, wajahnya sedikit meringis. "Tunggu... saya coba ingat…"

Melihat dia berusaha keras, aku langsung merasa bersalah. "Pak Ariel, tidak perlu memaksakan diri," kataku lembut. "Masih ada hari esok. Bapak sudah menghabiskan banyak energi sejak semalam dan tadi saat rapat. Istirahat saja dulu, jangan bebani diri dengan foto ini sekarang."

Dia menoleh padaku, dan tatapan itu... penuh dengan sesuatu yang sulit kujelaskan. Ada rasa terima kasih yang begitu tulus di dalam matanya. "Terima kasih, Sherly," katanya pelan. "Kamu benar. Saya akan membantu mencari tahu lebih lanjut setelah kondisi saya lebih baik."

Aku tersenyum, menunduk sedikit. "Terima kasih banyak, Pak Ariel. Saya benar-benar menghargai perhatian Bapak."

Mendengar pak Ariel akan terlibat dalam pencarian kakekku, aku merasa cukup heran, apakah dia juga penasaran dengan keberadaan kakekku, atau ini adalah bentuk perhatian seorang atasan kepada bawahan, atau… ada alasan lain yang lebih pribadi?

Mobil terus melaju pelan di bawah langit yang semakin gelap, namun percakapan singkat itu meninggalkan kesan mendalam di hatiku. Entah kenapa, aku merasa seperti tidak sendiri dalam pencarian ini. Pak Ariel membuatku merasa dihargai, didukung, dan... dimengerti.

***

Aku sedang sibuk memasang peniti di hijab, ketika suara ketukan di pintu kamarku terdengar. Kupikir itu petugas hotel, tapi ternyata Pak Ariel. Ketika kubuka pintu, dia berdiri di sana dengan pakaian kasual—kemeja putih yang digulung hingga siku dan celana jeans gelap. Dia tampak lebih santai, bahkan lebih muda dari biasanya. Wajahnya terlihat segar, meski aku tahu dia pasti masih lelah dari aktivitas kemarin.

"Selamat pagi," sapanya dengan senyum tipis. "Kita sarapan dulu sebelum berangkat."

Aku hanya mengangguk, sedikit bingung kenapa dia terlihat begitu bersemangat pagi ini.

Di restoran hotel, aku memesan bubur ayam, seperti biasa. Rasanya nyaman memulai hari dengan sesuatu yang hangat. Sementara aku sibuk mengaduk-aduk buburku, Pak Ariel duduk di seberang dengan secangkir teh jasmine dan roti panggang. Dia terlihat tenang, tapi ada sesuatu di matanya—entah apa, seperti ada rencana besar yang ingin dia katakan.

Setelah beberapa saat, dia akhirnya berbicara. "Oh ya, nanti siang kita bisa langsung ke Kampung Senggir. Saya sudah mengatur janji dengan kepala desanya."

Aku yang sedang menyendok bubur langsung terkejut. Kalimat itu seperti petir di siang bolong. Aku tersedak, batuk-batuk, bahkan air mataku keluar sedikit. Napasku tersendat, dan aku panik mencari air.

POV Ariel

Sherly, yang sedang menelan sesendok buburnya, tiba-tiba tersedak. Dia batuk-batuk sambil memegangi tenggorokannya, membuatku panik seketika. Aku langsung mengambil segelas air dan menyerahkannya padanya. "Minum ini, pelan-pelan," kataku cepat, menahan diri untuk tidak tampak terlalu cemas.

Pak Agus, yang duduk di meja sebelah dan tidak tahu apa yang sedang kami bicarakan, menatap kami dengan kebingungan. Aku hanya memberi isyarat kecil agar dia tidak khawatir.

Setelah Sherly tenang, dia menatapku dengan tatapan penuh heran. "Bagaimana bisa Pak Ariel sudah membuat janji dengan kepala desa? Bukannya baru sore kemarin kita membicarakannya?"

Aku hanya tertawa kecil, merasa geli sekaligus lega melihat reaksinya yang polos. "Tenang, saya tidak punya ilmu sihir," kataku, berusaha meredakan keheranannya. Lalu aku menjelaskan bagaimana aku menghubungi seorang kolega dari daerah itu yang kebetulan punya koneksi ke bupati setempat. Dalam waktu singkat, nomor kepala desa sudah ada di kontakku, dan aku langsung membuat janji untuk bertemu.

Aku bisa melihat perubahan di wajah Sherly ketika dia mendengar penjelasanku. Dia terdiam sejenak, tampak memikirkan sesuatu. Aku menyesap tehku perlahan, memberinya ruang untuk mencerna apa yang baru saja kusampaikan.

Lalu, dia tersenyum. Senyum yang berbeda dari biasanya—lembut, tulus, dan... entah kenapa, menyentuh sesuatu di dalam diriku yang bahkan aku tidak tahu ada. Jantungku berdegup lebih cepat, seolah-olah ingin melompat keluar. Rasanya seperti ditusuk oleh sesuatu yang aneh—tajam, menyakitkan, tapi di saat yang sama, aku merasa hangat.

Dia mengucapkan terima kasih dengan suara lembut, dan aku hanya bisa menunduk, berpura-pura sibuk dengan ponselku. Aku tahu wajahku memanas, dan tanganku tanpa sadar membetulkan posisi kacamataku, meskipun itu tidak benar-benar perlu.

"Ah, ini aneh," gumamku dalam hati. Aku biasanya tidak pernah merasa seperti ini di depan siapa pun. Tapi dengan Sherly, semuanya berbeda.

Aku menghela napas pelan, mencoba menenangkan diri. Tapi rasa itu tetap ada, menggantung di dadaku seperti melodi yang tidak mau berhenti bergema. Mungkin aku terlalu memikirkannya. Atau mungkin... aku mulai memahami sesuatu yang bahkan tidak pernah ingin aku akui sebelumnya.

***

POV Sherly

Perjalanan menuju Kampung Senggir dimulai dengan semangat yang terasa di dalam mobil. Pak Agus mengemudi dengan penuh fokus, membawa kami melalui jalan-jalan yang mulai mengarah ke daerah pesisir. Langit cerah, laut terlihat beberapa kali di sepanjang jalan, biru dan memikat, seperti sebuah lukisan alam yang indah. Aku tak bisa menahan senyum kecil saat melihat pemandangan itu—rasanya seperti potongan surga di dunia nyata.

Setelah mengikuti arahan dari aplikasi peta, kami akhirnya tiba di sebuah daerah yang berpasir. Kantor desa ternyata berada di dalam gang sempit yang tidak bisa dilewati mobil. Pak Agus memutuskan untuk memarkirkan mobil di area yang cukup jauh, sementara aku bersiap-siap untuk turun. Tapi langkahku terhenti saat melihat Pak Ariel yang masih duduk diam, memperhatikan sesuatu dari dalam mobil.

Aku ragu untuk keluar lebih dulu, jadi aku memutuskan untuk menunggu. Pak Ariel membuka kaca mobil perlahan, membiarkan cahaya matahari yang terik menyusup masuk. Dia memicingkan mata dan mengerutkan keningnya, tampak seperti sedang menilai sesuatu di luar. Namun, beberapa saat kemudian, dia menutup kaca mobil kembali.

Rasa heran menyelimutiku. "Ada apa, Pak?" tanyaku hati-hati.

Pak Ariel menoleh dengan sedikit kaget, mungkin tidak menyadari bahwa aku memperhatikannya. Dengan nada tenang, dia menjawab, "Silau sekali di sini."

Aku mengangguk, berpikir bahwa itu hal yang wajar. Tapi kemudian, aku melihatnya mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya. Saat dia membukanya, aku menyadari itu adalah tempat kacamata. Dia mengeluarkan sepasang kacamata hitam dan memakainya, sementara kacamata biasa yang tadi dikenakannya kini ia selipkan ke saku dada kemejanya.

Seketika, penampilannya berubah. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya—dengan kacamata hitam itu, Pak Ariel terlihat sangat berbeda. Ada kesan santai di dirinya, tapi juga sedikit angkuh. Mungkin itu karena caranya memandang sekitar dengan gaya baru ini. Tanpa sadar, aku tersenyum kecil, menikmati perubahan yang tidak terduga itu.

Namun senyum itu tak bertahan lama, karena tiba-tiba dia menoleh padaku dan bertanya, "Bagaimana penampilan saya? Terlihat aneh, ya?"

Aku tersentak. "Ah, tidak, Pak. Baik-baik saja kok," jawabku cepat, mencoba menyembunyikan rasa canggung.

Tapi dia hanya menatapku dengan ekspresi yang sulit dijelaskan, seolah-olah tahu aku sedang tidak jujur. "Sherly, kalau memang ada yang salah, bilang saja. Jangan bohong," katanya sambil menaikkan alis, suaranya setengah serius, setengah menggoda.

Aku menghela napas, akhirnya menyerah. "Baiklah... Bapak tampak, uh... seperti bos mafia yang elegan. Mungkin terlalu angkuh untuk seseorang sebaik Bapak."

Alih-alih tersinggung, dia tertawa pelan. "Ah, benar juga. Saya sendiri merasa seperti itu." Dia melepas kacamata hitamnya sejenak, memperhatikannya, lalu menggeleng kecil sebelum memakainya lagi.

Lalu sesuatu terlintas di pikiranku. Aku menatapnya dengan sedikit khawatir. "Pak, Bapak nggak kesulitan lihat pakai itu? Maksudku, kan Bapak minus dan silindris. Apa nggak pusing?"

Dia menoleh padaku dengan senyum tipis. "Tenang saja. Ini sudah dilengkapi lensa yang sesuai minus dan silindris saya. Sama saja seperti kacamata biasa."

Aku mengangguk lega, meski masih sedikit terkesima dengan betapa cermatnya dia mempersiapkan segalanya. Setelah percakapan singkat itu, kami keluar dari mobil dan mulai berjalan menyusuri gang sempit menuju kantor desa. Langkah Pak Ariel mantap di depan, sementara aku mengikutinya dengan perasaan campur aduk—antara kagum dan heran, seperti biasa.

***