POV Sherly
Hawa dingin pagi itu menyelinap melalui celah-celah jendela kamar hotel, menyentuh kulitku seperti pengingat lembut bahwa hari baru telah tiba. Setelah menunaikan sholat subuh, aku mendapati diriku berdiri di depan jendela, memandang ke luar dengan pandangan kosong. Langit masih gelap, hanya sedikit semburat jingga di cakrawala, seolah-olah matahari enggan menampakkan dirinya terlalu cepat. Aku menarik napas panjang, mencoba melawan kantuk yang terus menyeretku kembali ke ranjang.
Tubuhku terasa berat, dan pikiranku masih mengawang, mengingat malam panjang yang baru saja berlalu. Bayangan pak Ariel dengan laptop di pangkuannya, wajahnya yang terlihat lelah tetapi tetap tenang, terus terulang di benakku. Ada sesuatu yang hangat dan aneh di dadaku setiap kali memikirkan bagaimana kami bekerja bersama tadi malam.
Aku melirik ponsel di atas nakas. Sudah pukul 5.30 pagi. Aku tahu, jika aku ingin benar-benar segar untuk sarapan bersama pak Ariel dan pak Agus nanti pukul 7.30, aku harus memanfaatkan waktu ini untuk beristirahat lagi. Tanganku terulur, membuka aplikasi alarm dan mengatur waktunya pada pukul 7 pagi—cukup untuk bersiap tanpa terburu-buru.
Saat aku kembali merebahkan tubuhku di atas ranjang, rasa lelah itu terasa lebih nyata. Mataku perlahan terpejam, tetapi pikiranku tetap sibuk, memutar ulang setiap detik dari malam yang panjang. Aku tidak pernah menyangka bahwa bekerja dengan seseorang yang biasanya begitu formal dan serius bisa terasa... nyaman.
Bantal empuk menyerap kepalaku, dan aku memeluk selimut erat-erat. Di antara kantuk yang semakin dalam, aku mendapati diriku tersenyum kecil. Aku tidak tahu mengapa aku merasa begitu damai pagi ini, tetapi untuk saat ini, aku ingin menyerah pada kehangatan mimpi yang memanggilku.
***
Pukul 07.30 tepat, aku berdiri di depan pintu kamar Pak Ariel. Setelah mengetuk beberapa kali, Pak Agus membukakan pintu dan mempersilakan aku masuk. Aku melangkah masuk dengan hati-hati. Pak Agus tersenyum ramah seperti biasa, membuatku sedikit lebih tenang.
Baru beberapa langkah masuk, aku melihat Pak Ariel sedang mengusap rambutnya dengan handuk. Rambutnya setengah basah, sedikit kusut, dan wajahnya tampak lebih santai dari biasanya.
Aku terdiam sejenak, mungkin terlalu lama memandanginya. Sisi dirinya yang ini terasa begitu berbeda. Rasanya hampir seperti melihat seseorang yang tinggal serumah denganku, bukan sosok atasan yang biasanya penuh profesionalitas. Ini pertama kalinya aku melihatnya dalam keadaan seperti ini—sederhana, santai, dan… sungguh nyata.
"Sherly, sudah siap sarapan?" sapanya ringan, seolah kehadiranku bukan hal yang mengejutkan baginya.
"Oh, iya, Pak," jawabku sedikit gagap, berusaha menyembunyikan rasa terkejutku.
Dia tersenyum tipis, lalu berkata, "Tunggu sebentar ya, saya rapikan ini dulu."
Aku hanya mengangguk dan duduk di sofa kecil di sisi ruangan. Dari sudut mataku, aku melihat dia mengambil kacamatanya, memakainya dengan gerakan yang sudah sangat aku kenal. Setelah itu, dia menyisir rambutnya dengan teliti.
Dan tiba-tiba, dia kembali menjadi sosok yang selama ini aku kenal—rambutnya rapi, kacamata terpasang sempurna, dan aura profesionalitas yang langsung terasa. Semua yang tadi terlihat begitu santai, begitu manusiawi, kini menghilang dalam hitungan detik.
Aku menghela napas perlahan, berusaha menyembunyikan senyum kecil yang muncul tanpa sadar. Aku baru menyadari, Pak Ariel tidak hanya memiliki daya tarik sebagai seorang manajer keuangan yang penuh wibawa, tapi juga pesona seorang pria muda yang… entah bagaimana, begitu memikat.
Ada sesuatu tentang dirinya yang sulit dijelaskan. Dua sisi itu, kontras namun saling melengkapi, membuatnya semakin menarik di mataku. Aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam caraku melihatnya. Sesuatu yang lebih dari sekadar kekaguman biasa.
***
Pagi itu terasa lebih sibuk dari biasanya. Hari Senin, hari yang seolah menjadi puncak dari semua persiapan yang telah kami lakukan selama seminggu terakhir. Pak Ariel akan menyampaikan laporan analisis keuangan yang mencakup banyak hal penting—kinerja pabrik, arus kas, produktivitas, hingga rekomendasi strategis.
Aku menatap layar laptop yang baru saja tersambung ke proyektor. Presentasi Pak Ariel sudah siap untuk ditampilkan. Tanganku berusaha tetap tenang saat merapikan beberapa kabel di meja. Ada sedikit perasaan gugup yang menggelayuti, mengingat semalam kami sempat membahas temuan penting dari laporan analisis ini. Temuan itu, meski hanya sepotong kecil dari keseluruhan laporan, terasa seperti bom waktu yang siap meledak di meja rapat.
Aku menarik napas pelan dan melihat ke sekeliling ruangan. Belum ada orang lain di sini, hanya aku. Ruangan yang besar dan modern ini terasa sunyi, tapi bukan sunyi yang mengancam. Ini adalah sunyi yang memberi ruang untuk berpikir. Aku mencoba mengisi keheningan itu dengan merapikan letak kertas-kertas di meja, memastikan semuanya berada di tempatnya.
Namun, di sela-sela aktivitas kecil itu, perasaan bangga perlahan muncul. Aku bekerja di sini—di perusahaan sebesar ini. Aku bekerja dengan seorang manajer keuangan seperti Pak Ariel. Dan lebih dari itu, aku tidak hanya duduk di pinggir meja rapat sebagai pengamat. Aku terlibat, menjadi bagian dari prosesnya.
Jika bukan karena Pak Ariel, aku mungkin tidak akan pernah memiliki pengalaman seperti ini. Aku mungkin hanya akan mendengar cerita seperti ini dari jauh, membayangkan diri berada di ruangan seperti ini tanpa benar-benar merasakannya. Tapi sekarang, aku ada di sini. Laptop ini adalah hasil pekerjaanku juga. Presentasi ini adalah sesuatu yang kami siapkan bersama.
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Ini hanya rapat," gumamku pelan, seolah meyakinkan diri sendiri. Tapi aku tahu, di balik kalimat itu, ada lebih dari sekadar rapat. Ada kepercayaan yang diberikan Pak Ariel padaku. Ada tanggung jawab yang perlu aku jaga.
Tanganku masih terasa dingin, tapi aku tahu satu hal. Aku di sini bukan hanya untuk melihat. Aku di sini untuk belajar, untuk mendukung. Dan itu cukup membuatku merasa sedikit lebih tenang.
Ketika rapat dimulai, suasana terasa cukup formal. Direktur utama, beberapa manajer senior, termasuk manajer produksi, hadir di sana. Pak Ariel membuka pembahasan dengan gaya yang selalu ia gunakan: tenang, terstruktur, dan penuh kepercayaan diri. Semua tampak berjalan lancar sampai akhirnya pembahasan memasuki laporan bagian produksi.
Aku sudah membaca laporan itu sebelumnya dan tahu ada beberapa masalah yang cukup serius di dalamnya. Tetapi mendengar pak Ariel menjelaskan temuan itu di depan semua orang memberikan nuansa yang berbeda. Dia memaparkan dengan sangat detail dan logis, namun nada suaranya tetap terkendali. Aku duduk di kursiku, sedikit mencondongkan tubuh ke depan sambil mencatat beberapa poin penting di notepad kecilku.
Namun, ketika sampai pada poin kelalaian di bagian produksi, suasana langsung berubah. Manajer produksi, seorang pria paruh baya dengan nada bicara yang agak keras, mulai membela diri. Dia mengatakan bahwa situasi yang terjadi bukan karena kelalaiannya, tapi lebih karena faktor eksternal yang menurutnya berada di luar kendali departemennya. Suaranya terdengar tegas, hampir terlalu tegas, seolah dia merasa terpojok oleh temuan Pak Ariel tadi. Aku melirik ke arah Pak Ariel, mencoba membaca reaksinya, tapi raut wajahnya tetap tenang seperti biasa—atau mungkin terlalu tenang untuk situasi seperti ini.
Aku tidak bisa terus menatap Pak Ariel, jadi pandanganku beralih ke sekeliling ruangan. Wajah-wajah yang ada di sana menceritakan banyak hal. Sebagian besar tampak serius, bahkan tegang. Beberapa dari mereka, terutama para manajer yang duduk di barisan depan, tampak waspada. Matanya bergerak ke layar proyektor dan kembali ke Pak Ariel, seolah mencoba memastikan apakah ada bagian dari laporan yang mungkin juga akan menyeret mereka dalam masalah ini.
Ada yang menghela napas pelan, dan aku bisa merasakan aura kegelisahan dari kursi mereka. Mereka tampak seperti anak-anak yang sedang menunggu giliran ditegur guru di depan kelas.
Namun, tidak semuanya seperti itu. Di pojok ruangan, seorang pria yang tampak lebih senior tersenyum tipis. Tidak, bukan senyum ramah, tapi lebih seperti senyum penuh makna. Seolah dia mengatakan, Lihat saja, Pak Ariel pasti bisa menangani ini. Matanya tajam, memperhatikan setiap gerakan dan ekspresi Pak Ariel.
Aku meremas ujung notepad kecilku, berharap ketegangan ini segera berakhir.
Aku mencoba mengalihkan pandanganku lagi, kali ini ke arah beberapa staf yang duduk agak jauh di belakang. Mereka terlihat lebih santai, meskipun tetap mencatat sesuatu di buku mereka. Ada yang bertukar pandang sambil mengangkat alis, mungkin berbicara tanpa suara, "Kita untung bukan kita yang sedang disorot."
Ketegangan semakin terasa saat suara manajer produksi itu meninggi, meskipun ia masih mencoba terdengar sopan. Namun, aku tahu nada itu—nada dari seseorang yang merasa defensif, mencoba mencari celah untuk membela dirinya sendiri.
Aku mengalihkan pandanganku ke Pak Ariel, berharap menemukan jawaban atas ketegangan yang terasa di ruangan ini. Aku meliriknya, dia masih sama, duduk dengan tenang, tangannya menyentuh ringan ujung pulpen di atas meja. Pandangannya tajam tapi tidak menyerang. Dia membiarkan manajer itu selesai berbicara. Dan saat itulah aku menyadari, semua mata di ruangan ini, termasuk mataku, sedang menunggu satu hal. Apa yang akan Pak Ariel katakan?
Tangan pak Ariel terhenti sejenak di atas meja sebelum ia akhirnya berbicara, menunjukkan betapa tenangnya ia mempertimbangkan kata-katanya.
"Apa yang Bapak sampaikan, saya pahami," kata Pak Ariel akhirnya, suaranya tetap tenang namun tegas. "Tapi kita tidak bisa mengabaikan fakta-fakta ini. Data yang kami peroleh menunjukkan adanya beberapa ketidaksesuaian yang signifikan, dan jika ini dibiarkan, dampaknya bisa lebih besar ke depannya."
Manajer produksi itu mencoba menyela lagi, tapi Pak Ariel melanjutkan dengan nada yang sama, menahan emosi sambil tetap fokus pada poin-poin yang penting. Dia tidak menyerang, tidak juga menyalahkan secara langsung, melainkan mencoba menjelaskan bahwa tujuan diskusi ini bukan mencari kesalahan, melainkan mencari solusi.
Ketika Pak Ariel mengingatkan visi perusahaan dan bagaimana setiap departemen harus bekerja sama untuk mencapainya, suasana mulai berubah. Manajer produksi itu, yang awalnya terlihat keras kepala, mulai melunak. Aku bisa melihat raut wajahnya berubah, dari defensif menjadi reflektif. Akhirnya, dia mengangguk pelan dan mengakui bahwa ada kelalaian yang perlu dievaluasi.
Aku menarik napas pelan, mencoba menenangkan hati yang masih bergemuruh setelah kejadian tadi. Masalah di rapat itu memang akhirnya reda, tetapi cara Pak Ariel menghadapinya masih terus terngiang di kepalaku. Ketika manajer produksi itu mulai bersikap defensif, suasana ruangan terasa seperti bara yang siap menyulut api besar. Aku, yang hanya duduk dan mengamati, sudah merasakan tekanan yang berat—padahal, aku sama sekali tidak menjadi bagian dari konflik itu.
Namun, Pak Ariel... Dia berbeda. Dengan ketenangan yang seolah tidak tergoyahkan, dia berhasil mengarahkan diskusi kembali ke jalur yang seharusnya. Tidak ada nada meninggi, tidak ada serangan, bahkan tidak ada kesan bahwa dia merasa terancam. Dia memegang kendali tanpa terlihat memaksakan apa pun.
Aku menggenggam bolpoinku lebih erat, mencoba merenungi apa yang baru saja aku saksikan. Rasanya seperti aku berada di dua dunia yang berbeda. Dia, seorang manajer keuangan yang matang dan penuh wibawa. Aku, seorang asisten yang masih belajar, masih terlalu sering goyah hanya karena hal-hal kecil.
Bagaimana bisa seseorang seperti Pak Ariel tetap tenang di tengah konflik yang panas seperti tadi? Bagaimana caranya dia memilih kata-kata yang tidak hanya menghentikan perdebatan tetapi juga membuat orang lain berpikir ulang, tanpa merasa diserang?
Aku sadar, ini bukan hanya soal kemampuan berbicara atau menguasai materi. Ini soal karakter, kedewasaan, dan pemahaman yang mendalam tentang tanggung jawab.
Aku merasa ada jarak yang sangat jauh antara kami. Tidak hanya dari segi pengalaman, tetapi juga dari cara kami memandang dan menghadapi situasi. Pak Ariel berada di puncak, dan aku... aku bahkan belum setengah jalan mendaki.
Namun, anehnya, perasaan ini tidak membuatku putus asa. Sebaliknya, ada semacam dorongan di dalam diriku. Aku ingin belajar. Bukan hanya tentang pekerjaan atau keahlian teknis, tetapi juga tentang bagaimana menjadi seseorang yang memiliki ketenangan seperti dia. Seseorang yang tahu kapan harus berbicara, kapan harus mendengarkan, dan kapan harus mengambil keputusan dengan bijaksana.
Aku ingin memahami caranya. Aku ingin tahu apa yang membuatnya begitu kokoh, bahkan di saat-saat paling sulit. Dan aku ingin belajar darinya, lebih dari yang pernah aku bayangkan sebelumnya.
Aku mulai benar-benar memahami bahwa pekerjaan Pak Ariel tidaklah mudah. Ada tekanan yang besar, tanggung jawab yang tidak ringan, dan risiko konflik yang bisa saja terjadi kapan saja.
Tapi, dia menangani semuanya dengan cara yang membuatnya terlihat begitu berkarisma. Bukan dengan memaksakan kekuasaan, melainkan dengan kepercayaan diri yang tenang dan cara bicara yang mampu menyentuh logika maupun hati. Aku bertanya-tanya, apakah aku bisa menjadi seseorang seperti itu suatu hari nanti—seseorang yang dihormati bukan karena posisinya, tetapi karena tindakannya. Dan untuk alasan itu, aku merasa bahwa aku tidak hanya belajar tentang keuangan atau analisis data darinya, tapi juga tentang bagaimana menjadi seseorang yang pantas dihormati.
***