POV Sherly
Sudah seminggu penuh, aku dan Pak Ariel tenggelam dalam rutinitas yang tak kenal lelah. Waktu terasa cepat berlalu, meskipun tubuhku rasanya seperti ingin berhenti sejenak untuk mengambil napas.
Hari Rabu dan Kamis, aku mulai benar-benar fokus mengumpulkan data yang diperlukan. Rasanya seperti tenggelam dalam tumpukan angka dan informasi yang seakan tak ada habisnya, tapi aku tahu ini adalah bagian dari proses yang harus kulalui. Pak Ariel sibuk memeriksa laporan dan membuat kerangka analisis, duduk dengan tenang di mejanya, wajah serius, tetapi juga penuh ketelitian. Sesekali ia memberi petunjuk atau memperbaiki beberapa hal, dan aku merasa sedikit cemas jika aku melewatkan sesuatu. Namun, ia selalu sabar menjelaskan, dengan caranya yang tegas tapi tidak kasar.
Jumat datang, dan dengan itu, kunjungan lapangan yang selalu membuat aku merasa sedikit gugup. Pak Ariel, dengan sikapnya yang rapi dan profesional, memimpin kami mencocokkan laporan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Ada banyak hal yang aku pelajari dari cara ia bertindak, bagaimana ia berinteraksi dengan orang-orang, dan bagaimana ia melihat masalah dengan begitu tajam. Rasanya seperti menemukan sisi lain dari dirinya yang tak pernah kulihat sebelumnya—sisi yang sangat menghargai ketepatan dan keakuratan.
Sabtu, aku menyusun draft laporan berdasarkan data yang sudah terkumpul. Tugas itu memang menuntut fokus, tetapi aku merasa lebih percaya diri kali ini. Aku tahu Pak Ariel sedang meninjau, memperbaiki setiap kalimat dan angka yang ada. Ada banyak perbaikan yang ia buat, tetapi ada juga beberapa bagian di mana ia menambahkan rekomendasi strategis yang membuatku terkesima. Aku tak menyangka ia bisa begitu detail dalam melihat suatu hal, selalu memikirkan segala kemungkinan, dan memberikan saran yang sangat berharga.
Berkeliling dengan Pak Ariel selama seminggu ini memang sangat melelahkan, tetapi juga penuh pelajaran. Rasanya aku mulai memahami lebih dalam apa yang disebut dunia profesionalitas. Semua yang aku alami selama seminggu ini, meskipun penuh tekanan, tetap memberikan pengalaman yang sangat berarti. Aku semakin menghargai setiap momen yang ada, dan terutama, bagaimana cara Pak Ariel bekerja—dengan penuh dedikasi dan integritas. Entah kenapa, aku merasa sangat bersyukur bisa belajar banyak darinya, meski kadang aku merasa seperti terlalu jauh tertinggal.
***
Hari Minggu seharusnya menjadi hari istirahat, tapi untukku dan Pak Ariel, ini justru puncak kesibukan kami. Sejak pagi, kami sudah duduk di executive lounge, membenamkan diri dalam angka-angka, grafik, dan data. Pak Ariel fokus menyusun rekomendasi strategis berdasarkan data yang aku olah, sementara aku memastikan semuanya tersusun rapi dalam draft laporan. Waktu seakan berlalu begitu cepat. Kopi dan teh yang kami pesan pun tak sempat benar-benar dinikmati, hanya tegukan singkat di sela pekerjaan.
Sekitar pukul delapan malam, aku melihat Pak Ariel mulai memijat pelipisnya dengan satu tangan. Wajahnya yang selalu tampak tegar kini menunjukkan sedikit kelelahan. Saat aku bertanya apakah dia baik-baik saja, dia hanya menjawab singkat, "Kita lanjutkan di kamar saya saja, Sherly. Tempatnya lebih nyaman, dan saya bisa sambil beristirahat."
Aku tidak keberatan. Malah, aku lega dia memutuskan untuk istirahat. Aku tahu kondisinya. Jantung yang rapuh itu, tubuh yang tak pernah benar-benar pulih sepenuhnya. Tanpa banyak berpikir, aku mengemasi laptop dan dokumen-dokumen kami, lalu mengikuti langkahnya menuju kamar.
***
Di dalam kamar, aku segera menyadari betapa lelahnya dia. Pak Ariel duduk di atas ranjang, bersandar pada headboard, dengan laptop di atas pahanya yang terbujur. Wajahnya terlihat pucat di bawah cahaya lampu kamar yang hangat. Aku memilih duduk di kursi di sebelah ranjang, mengatur meja kecil untuk meletakkan laptop dan dokumenku.
Malam itu terasa berbeda. Biasanya, aku akan bertanya banyak hal—sekadar memastikan atau mencari kepastian. Tapi kali ini, aku merasa tak perlu. Entah bagaimana, aku tahu ini yang terbaik untuknya. Mungkin karena selama beberapa hari ini, aku mulai memahami ritme tubuhnya, cara dia menyembunyikan rasa sakit di balik senyum tipisnya, dan bagaimana dia selalu berusaha terlihat kuat, bahkan ketika tubuhnya memohon istirahat.
"Pak Ariel, masih kuat?" tanyaku pelan, nyaris berbisik. Aku tak ingin mengganggunya lebih dari yang diperlukan.
Dia membuka matanya sejenak, menoleh padaku, lalu tersenyum kecil. "Masih, Sherly. Jangan khawatir." Tapi senyumnya tampak lelah. Senyum itu tidak sepenuhnya berhasil menenangkan rasa khawatirku.
Aku mendapati diriku semakin sering mencuri pandang ke arahnya. Tanganku sibuk mengetik, tapi pikiranku terusik dengan bayangan Pak Ariel yang sesekali memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu membuka matanya lagi untuk fokus ke layar laptop. Ada sesuatu yang menggetarkan dalam pemandangan itu. Dia tidak sempurna, tapi justru di situlah letak pesonanya—kemampuannya untuk tetap berusaha, meski tubuhnya memintanya untuk menyerah.
Aku tidak tahu sejak kapan perhatian kecil seperti ini mulai berarti banyak bagiku. Setiap kali aku bertanya, "Pak Ariel butuh apa-apa? Mungkin air? Atau obat?" dia hanya menggeleng pelan, memastikan bahwa dia baik-baik saja. Tapi di balik itu, aku merasakan sesuatu yang lain—seolah ada jarak yang mulai memudar di antara kami.
***
Hampir tengah malam, suasana kamar mulai sunyi. Hanya ada suara ketukan jari di keyboard dan sesekali desah napas panjang dari Pak Ariel. Meski begitu, ada rasa hangat yang tidak bisa kujelaskan. Kami bekerja dalam diam, tapi aku merasa lebih dekat dengannya dari sebelumnya.
Pikiranku terus berkelana. Aku mengingat percakapan kami selama seminggu ini, momen-momen kecil yang mengajarkanku banyak hal tentang dirinya. Tentang bagaimana dia adalah pria yang luar biasa tegas dan berdedikasi di satu sisi, tapi juga manusia yang rapuh dan butuh dukungan di sisi lain. Semua itu membuatku merasa semakin terikat dengannya.
Aku tersenyum kecil, menundukkan kepala agar dia tidak menyadarinya. Tidak apa-apa, Sherly, kataku dalam hati. Biarkan malam ini menjadi rahasia kecilmu. Biarkan perasaan itu tumbuh perlahan. Dia tidak perlu tahu, setidaknya tidak sekarang. Tapi aku tahu satu hal pasti—aku ingin terus berada di sampingnya, dalam semua keadaan, baik dalam lelah maupun semangat, dalam kelemahan maupun kekuatannya.
POV Ariel
Rasanya tubuhku menolak bekerja lebih jauh, tetapi ada terlalu banyak yang harus kuselesaikan malam ini. Mataku sesekali terasa berat, namun pikiranku tetap fokus pada angka-angka yang berjejer di layar laptop. Di atas ranjang, aku bersandar, mencoba menemukan kenyamanan yang tersisa dari rasa lelah yang menjalar di setiap ototku.
Sherly duduk tak jauh dariku, di kursi kecil di sisi ranjang. Dia tampak serius, fokus pada laporan yang sedang dia susun. Tapi aku bisa merasakan, dari sudut pandangku, matanya terus mengarah padaku—bukan sekadar menunggu instruksi, melainkan seperti seseorang yang benar-benar khawatir.
"Apa Bapak baik-baik saja?" tanyanya untuk kesekian kali. Suaranya lembut, penuh perhatian.
Aku mengangguk kecil sambil tersenyum tipis, berusaha memberikan keyakinan. "Saya baik, Sher. Jangan khawatir."
Namun, di dalam hati, aku merasa aneh. Sherly yang biasanya penuh pertimbangan, bahkan cenderung ragu, malam ini tampak berbeda. Dia tidak bertanya panjang lebar saat aku memintanya melanjutkan pekerjaan di kamar. Tidak ada keraguan dalam matanya. Hanya perhatian tulus.
Perhatian itu—entah kenapa—menghangatkanku sekaligus membuatku heran. Sherly yang kukenal tiga tahun lalu memang selalu memiliki kebaikan dalam dirinya, tapi sekarang dia terlihat seperti seseorang yang sepenuhnya hadir untukku, tanpa menghakimi atau menganggapku lemah.
Saat dia bertanya lagi, "Apa Bapak butuh sesuatu? Teh hangat, atau... istirahat sebentar?" aku hampir kehilangan kata-kata. Aku hanya bisa menjawab, "Tidak, terima kasih," sambil kembali mencoba fokus pada laptopku.
Tapi fokus itu sulit kugenggam. Ada sesuatu dalam caranya menatapku yang membuatku merasa lebih... terlihat. Tidak hanya sebagai Ariel yang selalu berusaha sempurna di hadapan orang lain, tetapi juga sebagai seorang pria biasa dengan kelemahannya.
Dan aku merasa nyaman.
Nyaman di hadapannya, meski tubuhku terasa berat, meski pikiranku bercabang-cabang antara pekerjaan dan perasaan aneh ini. Dia tidak mengucapkan apa pun yang berlebihan, tapi kehadirannya cukup untuk membuatku merasa... utuh.
Aku memejamkan mata sejenak, mencoba mengatur napas. Dalam kegelapan singkat itu, aku menyadari sesuatu—bahwa aku tak ingin jauh darinya. Sherly bukan hanya seorang rekan kerja atau mantan trainee yang kukenal sekarang. Dia adalah seseorang yang... tetap sama. Sama seperti tiga tahun lalu.
Malam itu berlalu dalam diam yang dipenuhi rasa saling pengertian. Kami sibuk, aku dengan analisis yang terus kususun, dia dengan data yang terus dia ramu. Namun, di antara semua itu, ada ruang kecil di hatiku yang perlahan diisi oleh kehadirannya.
Dan aku tahu, aku tidak ingin ruang itu kosong lagi.
***