Peka

POV Sherly

Aku duduk di kursi belakang, menyandarkan tubuh sambil memandang punggung Pak Ariel yang sedang berbincang santai dengan Pak Agus. Suaranya terdengar tenang, bahkan sedikit ringan, seolah-olah apa yang baru saja terjadi di klinik tadi tak lebih dari rutinitas biasa baginya. Sesekali aku menangkap nada candaan di antara percakapan mereka, dan itu membuatku semakin heran. Bagaimana bisa seseorang yang baru saja menerima kabar bahwa lukanya belum sepenuhnya pulih—yang harus tetap sabar menjalani proses penyembuhan lebih lama—masih mampu bersikap setenang ini?

Mataku terarah keluar jendela, melihat jalanan yang perlahan menjadi bayangan buram. Namun pikiranku sama sekali tidak di sana. Aku masih terjebak pada sosok yang duduk di kursi depan itu—Pak Ariel. Rasanya sulit untuk mengalihkan pikiranku darinya, meskipun aku tahu aku seharusnya tidak memikirkannya sejauh ini.

Ada sesuatu yang berubah. Sesuatu yang aku sendiri tidak mengerti sepenuhnya, tetapi keberadaannya begitu nyata. Pak Ariel yang aku lihat di kantor—dengan jas rapi, kemeja putih yang selalu terseterika sempurna, dan suara tegas yang memimpin rapat—tampak begitu jauh dari Pak Ariel yang tadi kulihat di klinik. Dia adalah orang yang sama, aku tahu itu. Tapi kenapa terasa begitu berbeda?

Pikiranku melayang kembali ke momen ketika perban itu dilepas, ketika bekas luka itu terlihat jelas di bawah tulang rusuknya. Luka yang panjang, dengan jahitan yang masih membekas kuat. Bekas itu bukan hanya luka fisik, tetapi jejak perjuangan yang telah dia jalani. Dan senyuman kecil yang dia tunjukkan saat menyadari aku memandanginya—senyuman itu terasa seperti kepasrahan sekaligus kekuatan yang luar biasa.

Saat ini, aku mulai melihat Pak Ariel dengan cara yang berbeda. Bukan lagi karena penampilannya yang sempurna, atau caranya berbicara dengan penuh wibawa. Tapi karena dua sisi dirinya yang begitu berlawanan, namun saling melengkapi. Di satu sisi, dia adalah manajer keuangan yang profesional, tegas, dan tanpa cela. Di sisi lain, dia adalah manusia yang rapuh, penuh dengan rasa sakit yang tersembunyi, namun tetap berdiri teguh melawan semua itu.

Dua sisi ini... begitu kontras, tapi entah bagaimana, membuatnya terasa sempurna di mataku.

Aku tidak tahu kapan tepatnya perasaan ini mulai tumbuh. Tapi sekarang, melihatnya seperti ini, aku merasa ada sesuatu yang mengakar lebih dalam dari sekadar ketertarikan biasa. Mungkin karena aku melihat lebih dari apa yang dia tunjukkan pada dunia. Mungkin karena aku mulai memahami—atau setidaknya mencoba memahami—betapa besar perjuangannya untuk tetap menjadi dirinya.

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengaguminya. Dan itu membuatku takut. Karena semakin aku mengenalnya, semakin aku menyadari bahwa aku mungkin akan terseret lebih jauh ke dalam dunia di mana dia adalah pusatnya.

Sebuah tawa kecil dari kursi depan menarikku kembali ke dunia nyata. Aku memandang ke arah Pak Ariel lagi, dan untuk pertama kalinya, aku merasa mengenalnya lebih dari sekadar nama dan jabatan. Aku mengenalnya sebagai seseorang yang telah melalui banyak hal, namun tetap memilih untuk berdiri dengan kepala tegak.

Dan aku sadar, perasaan ini tidak akan mudah untuk kuabaikan.

***

Selesai makan malam di restoran hotel, aku dan pak Ariel segera menuju area executive lounge. Executive lounge ini terasa begitu tenang. Hanya ada kami berdua di salah satu sudut ruangan yang dihiasi furnitur mewah dan penerangan temaram yang lembut. Di hadapanku, pak Ariel duduk dengan ekspresi serius, matanya tak lepas dari layar laptop, jarinya sesekali mengetik cepat. Ia memeriksa data yang telah aku susun, lalu mulai menyusunnya ke dalam kerangka analisis yang lebih rapi.

Aku mencoba mengikuti arahannya dengan seksama, mempelajari cara berpikirnya yang logis dan sistematis. Namun, entah kenapa, sesekali mataku justru mencuri pandang ke wajahnya. Ada sesuatu yang memikat dalam cara ia mengerutkan alis saat fokus, atau saat ia mengetukkan jari ke meja dengan ritme kecil ketika sedang berpikir. Wajahnya yang diterangi cahaya lampu lounge semakin mempertegas garis-garis ketegasan sekaligus kelembutan di dirinya.

Rasanya sulit untuk tidak memperhatikan. Pak Ariel yang seperti ini berbeda dari sosok yang kutemui di klinik tadi sore. Bukan berarti yang tadi kurang menarik, tapi kali ini ia terlihat begitu berkarisma dengan caranya bekerja. Sungguh aneh, aku bahkan merasa bangga bisa duduk di sini, berbagi meja kerja dengannya, menyelesaikan tugas ini bersama.

"Sherly, coba data di bagian ini kamu buat lebih ringkas," katanya, suaranya pelan tapi tegas. Ia menunjuk layar, memberikan arahan spesifik.

Aku mengangguk cepat, berharap ia tidak menyadari bagaimana aku memandanginya tadi. "Baik, Pak," jawabku sambil mulai bekerja lagi. Tapi hatiku masih berbunga-bunga. Rasanya sulit untuk tidak mengagumi caranya berpikir, caranya berbicara, bahkan caranya membuat tugas yang rumit terasa lebih terstruktur.

"Seperti ini?" tanyaku beberapa menit kemudian sambil menunjukkan hasil perbaikan.

Ia melirik ke layar laptopku, lalu tersenyum kecil. Senyum itu—sesederhana apa pun—cukup membuat dadaku terasa hangat. "Bagus, ini sudah lebih rapi. Nanti tinggal kita masukkan ke bagian analisis utama," katanya.

Aku berusaha tetap tenang, tapi senyumnya tadi terus terbayang-bayang di benakku. Kenapa aku jadi seperti ini? Padahal ini hanya momen biasa, bekerja bersama menyelesaikan tugas kantor. Tapi, kurasa, tidak semua orang diberi kesempatan seperti ini—berada di sisi seseorang yang begitu menginspirasi, seseorang yang perlahan terasa lebih dari sekadar atasan.

Aku kembali menundukkan kepala, fokus pada layar laptop, berharap perasaan ini tidak terlalu terlihat. Pak Ariel mungkin tidak menyadarinya, tapi bagiku, malam ini terasa lebih spesial dari biasanya.

***

Aku melangkah di samping Pak Ariel dengan langkah yang terasa lebih ringan, meskipun tubuhku sudah begitu lelah. Jam di dinding lorong hotel menunjukkan pukul sepuluh malam, dan ini mungkin pertama kalinya aku merasa bahwa bekerja hingga malam bisa terasa begitu... menyenangkan. Entah kenapa.

Ketika kami sampai di depan pintu kamar masing-masing, aku memandang Pak Ariel sekilas. Wajahnya jelas menunjukkan kelelahan, namun ada sesuatu di sana—seperti kilau kecil semangat yang tak padam. Sejujurnya, aku merasa sama. Lelah, tapi puas. Bekerja bersamanya sepanjang hari tadi terasa seperti sesuatu yang berbeda. Aku tak tahu harus menjelaskannya bagaimana, tapi aku menikmati setiap momennya.

Pak Ariel tiba-tiba menoleh kepadaku, dan aku hampir terkejut ketika dia bertanya dengan nada tenang, "Sherly, kamu butuh saya panggilkan karyawan hotel untuk menemanimu malam ini?"

Aku diam beberapa detik, bukan karena pertanyaannya, tapi karena cara dia mengatakannya. Ada perhatian di sana, sederhana, tapi nyata. Seperti seseorang yang benar-benar peduli. Aku merasa dadaku hangat tiba-tiba. Hal kecil seperti ini... entah sejak kapan, mulai terasa istimewa.

Aku menggeleng pelan, berusaha menjawab dengan santai. "Tidak, Pak. Saya baik-baik saja. Lagipula, malam ini tidak hujan, jadi saya rasa saya tidak akan takut sendirian."

Pak Ariel tersenyum tipis mendengar jawabanku. Senyum itu sederhana, namun lagi-lagi meninggalkan kesan mendalam di hatiku. Ia mengangguk sekali, lalu berkata, "Kalau begitu, selamat beristirahat, Sherly. Sampai besok pagi."

"Sampai besok pagi, Pak Ariel," jawabku sambil membalas senyumnya.

Aku berdiri di sana selama beberapa detik setelah ia masuk ke kamarnya, mendengar bunyi pintu tertutup di balik lorong yang mulai hening. Lalu, dengan langkah perlahan, aku pun masuk ke kamarku sendiri.

Aku menutup pintu dan bersandar di sana, mencoba memahami semua ini. Hal-hal kecil yang dilakukan Pak Ariel belakangan ini, perhatian-perhatian sederhana yang ia tunjukkan, mulai terasa lebih berarti. Tidak ada yang berlebihan, tidak ada yang dibuat-buat, tapi justru itulah yang membuatnya terasa begitu tulus.

Dadaku terasa sesak, namun dalam cara yang anehnya menyenangkan. Aku mulai menyadari bahwa aku peka terhadap semua hal tentang dirinya. Senyumnya, caranya berbicara, bahkan perhatiannya yang sesekali terasa seperti teguran lembut.

Aku mendesah panjang, mencoba menenangkan diri. Aku tahu, seharusnya ini tak terjadi, tapi aku juga tahu satu hal yang tak bisa kupungkiri lagi: Pak Ariel bukan lagi sekadar atasan bagiku. Ada sesuatu yang berubah, sesuatu yang tak bisa aku abaikan begitu saja.

***