POV Sherly
Aku menggeser kursi pelan, menatap laptopku seolah sibuk dengan catatan yang kubuat selama rapat berlangsung. Tapi sebenarnya, pikiranku masih terpecah. Bayangan Pak Ariel yang sebelumnya tampak menahan sesuatu dengan mata terpejam dan tangan meremas handle kursinya terus membayangi. Rasanya, saat itu, dia jelas-jelas sedang menahan sakit. Namun, sekarang, di sampingku, dia duduk tegak dengan raut wajah serius seperti biasa, matanya kembali menatap layar laptopnya dengan fokus yang tak tergoyahkan.
"Sherly," suara Pak Ariel memanggilku, tegas tapi tak terlalu keras.
Aku menoleh spontan. Tatapannya sedikit menyipit, sebuah isyarat bagiku untuk mendekat. Aku menarik nafas cepat, lalu mencondongkan badan padanya.
"Ya, Pak?" tanyaku dengan nada seformal mungkin, meskipun hatiku tak karuan.
Tangan pak Ariel tetap di atas keyboard laptopnya, namun kini ia menoleh penuh ke arahku. Dengan suara pelan tapi tetap berwibawa, ia mulai berbicara.
"Kamu akan saya tugasi menganalisis efisiensi biaya operasional, terutama yang terkait produksi dan pembelian bahan baku. Ini penting untuk memastikan pengeluaran tetap terkendali tanpa mengorbankan kualitas. Selain itu, koordinasikan dengan manajer pabrik. Pastikan data yang kamu dapatkan akurat," katanya.
Aku mengangguk, mendengarkan setiap kata dengan seksama. Rasanya seperti mendapatkan kepercayaan yang besar, dan entah kenapa itu membuatku sedikit bangga. Ada sesuatu dalam caranya menyampaikan tugas ini yang membuatku merasa lebih dihargai daripada biasanya. Mungkin karena nada suaranya, atau mungkin karena ini adalah tanggung jawab yang lebih berat dari tugas-tugasku sebelumnya.
Namun, di balik rasa bersemangatku itu, pikiranku kembali berputar ke kejadian beberapa menit lalu. Saat ia terdiam, bersandar ke kursi, meremas handle-nya dengan erat. Apakah benar tadi itu tanda dia sedang kesakitan? Atau mungkin hanya sedang berpikir keras? Tapi bukankah... tidak biasanya seseorang berpikir sambil meremas handle kursi seperti itu?
Aku menatap Pak Ariel sebentar, memperhatikan ekspresinya yang kini tampak tenang. Apakah ia sengaja menyembunyikan kondisinya? Seperti ada tembok besar di antara dirinya dan orang lain, termasuk aku.
"Sherly?" suaranya membuyarkan lamunanku.
"Oh, maaf, Pak. Saya siap melaksanakan tugasnya," jawabku cepat, mencoba menyembunyikan kegugupanku.
"Bagus," jawabnya singkat sambil kembali menatap layar laptopnya.
Aku melangkah mundur, kembali ke tempat dudukku. Tapi hatiku masih terus bertanya-tanya, apakah Pak Ariel benar-benar sebaik yang terlihat, atau ada sesuatu yang ia sembunyikan? Dan... kenapa aku begitu peduli?
***
Rapat berakhir tepat saat waktu istirahat siang. Kami semua keluar dari ruang rapat, langkah-langkah terdengar bergema di lorong sempit menuju masjid kecil di area pabrik. Pak Ariel berjalan di depan, seperti biasa, dengan langkah mantap dan penuh wibawa. Kami menunaikan salat Zuhur berjamaah, dan setelah itu beranjak ke ruang serbaguna di lantai tiga untuk makan siang bersama.
Makanan sudah tertata rapi di meja panjang, dan suasana santai mulai terasa. Basa-basi dan percakapan ringan mengisi ruangan, meski aku tetap menjaga sikap tenang. Aku duduk di antara beberapa manajer pabrik, tapi mataku sering tanpa sadar melirik ke arah Pak Ariel yang berada di ujung meja. Seolah tubuhku mencari-cari bukti dari apa yang kulihat pagi tadi—tanda-tanda kalau dia tidak baik-baik saja.
Setelah makan siang, kegiatan kembali dilanjutkan. Aku menerima arahan singkat dari Pak Ariel sebelum kami berpisah. Dengan manajer pabrik, aku melangkah menuju ruangannya untuk mulai mengerjakan analisis biaya operasional dan bahan baku. Sedangkan Pak Ariel, bersama para manajer lain, berkeliling pabrik untuk mengamati langsung proses produksi.
Sebelum pergi, Pak Ariel sempat memberiku anggukan singkat, lalu membalikkan badan dan berjalan menjauh. Aku berdiri di tempat, memandangi punggungnya yang tegap, langkah-langkahnya begitu pasti.
"Bagaimana mungkin seseorang seperti itu memiliki penyakit jantung?" pikirku.
Dia tampak begitu kokoh, begitu tak tergoyahkan. Tapi obat-obatan yang kutemukan tadi pagi adalah fakta yang tak bisa diabaikan. Itu belum termasuk alergi parah yang dia miliki—hal yang pernah kusaksikan sendiri—dan tumor jinak di hatinya yang baru dioperasi.
Dadaku tiba-tiba terasa bergemuruh. Bagaimana dia bisa bertahan dengan semua itu? Tidak hanya bertahan, dia masih bisa berdiri di sini, mengendalikan semuanya dengan tegas dan tanpa cela.
Aku bergidik tanpa sadar. Ada kekaguman yang tak terbantahkan di dalam diriku, tapi juga rasa khawatir yang terus membayangi. Pak Ariel memang luar biasa. Tapi justru karena itu, aku merasa takut. Takut bahwa semua ini mungkin terlalu berat baginya, meski dia tidak pernah menunjukkannya kepada siapa pun.
***
POV Ariel
Pada sore hari, agenda untuk hari itu telah selesai dengan lancar.
Mobil baru saja bergerak, tetapi aku segera mengangkat tangan, memberi isyarat kepada Pak Agus untuk berhenti. Ada satu hal yang sudah kutentukan sejak pagi, dan rasanya ini waktu yang tepat untuk menyampaikannya. Aku menoleh ke Sherly yang duduk di sebelahku. Wajahnya tampak sedikit lelah, tetapi tatapannya tetap penuh perhatian, sesuatu yang akhir-akhir ini sulit untuk tidak kuperhatikan.
"Sherly," kataku dengan nada yang kuusahakan tetap ringan, "saya perlu mampir ke klinik sebentar. Mau memeriksakan jahitan operasi ini, siapa tahu sudah bisa dilepas." Aku menunggu reaksinya, mencoba menilai apakah ia akan memilih untuk kembali ke hotel saja. "Kamu mau ikut, atau lebih baik istirahat di hotel?" tanyaku, berusaha terdengar seperti tak terlalu mempermasalahkan pilihannya.
Namun, tanpa ragu sedikit pun, ia menjawab dengan mantap, "Saya ikut, Pak. Kalau boleh, saya temani Bapak ke klinik."
Jawabannya membuatku tertegun sesaat. Sebuah kehangatan yang aneh menyusup di dadaku. Aku tahu aku harus menjaga sikapku, terutama di hadapan Pak Agus yang masih mengawasi kami dari kaca spion, tetapi rasanya senyum itu sulit kutahan. Mungkin terlalu jelas? Aku segera menundukkan kepala sedikit, berpura-pura menyesuaikan posisi dudukku agar tidak terlihat terlalu senang.
"Terima kasih," jawabku singkat, tetapi di dalam hati aku tahu, ada lebih banyak yang ingin kusampaikan. Entah kenapa, kepastian dalam nada suaranya tadi—kemauan itu, kesiapannya untuk menemani—memberiku rasa nyaman yang jarang kurasakan akhir-akhir ini. Sesuatu yang terasa sederhana, tetapi begitu berarti.
Sherly kembali diam, hanya menatap keluar jendela, tetapi aku bisa melihat sedikit perubahan di ekspresinya. Apakah ia sadar? Entahlah. Tapi satu hal yang aku tahu pasti, sore ini tiba-tiba terasa lebih baik dari yang kuharapkan.
***
POV Sherly
Sesampainya di klinik, aku mengikuti langkah Pak Ariel menuju ruang pemeriksaan. Ia duduk di ranjang, menghela napas ringan seolah mencoba menenangkan diri. Aku berdiri di sisi ruangan, merasa ragu. Apakah sebaiknya aku menunggu di luar saja? Ini momen pribadi. Tetapi, ketika aku mulai melangkah ke pintu, Pak Ariel memanggilku.
"Sherly, kamu takut lihat jahitan operasi?" Suaranya lirih, hampir seperti bisikan.
Aku berbalik, merasa sedikit malu. "Bukan begitu, Pak. Saya hanya khawatir Bapak tidak nyaman kalau saya di sini."
Pak Ariel tersenyum kecil. Senyum yang samar, tetapi cukup untuk membuatku mengerti bahwa ia ingin aku tetap di sini. "Saya sama sekali tidak terganggu," katanya.
Aku mengangguk tanpa menjawab, memilih untuk tetap di tempatku berdiri. Tidak lama, dokter dan perawat masuk, membawa alat-alat untuk memeriksa jahitan. Aku memperhatikan dengan tenang saat perawat mulai menyibak kemeja Pak Ariel. Perban putih yang melilit perut bagian atasnya terlihat, dan perlahan-lahan, perban itu dilepas. Di bawahnya, ada kain kasa yang menutupi luka operasinya. Ketika kain kasa itu terangkat, akhirnya aku melihat bekas jahitan itu – luka horizontal yang melengkung lembut, membentang sepanjang sekitar 15 cm tepat di bawah rusuknya.
Aku tertegun. Bekas luka itu tampak jelas, merah dan kasar, menyiratkan cerita tentang rasa sakit yang pernah dialami tubuh ini. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memandanginya, mencoba membayangkan bagaimana rasanya menjalani operasi sebesar itu. Sosok Pak Ariel yang tadi terlihat begitu tegas dan kuat di pabrik, kini tampak begitu rapuh. Tubuh ini – tubuh yang sama – menyimpan perjuangan yang luar biasa.
Pak Ariel menyadari aku memandangnya. Matanya bertemu mataku, dan ia tersenyum lagi, senyum yang sulit kupahami. Ada kepasrahan di sana, mungkin juga rasa syukur. Aku berusaha membalas senyuman itu dengan tulus, meskipun hatiku terasa berat. Entah kenapa, aku ingin sekali mengatakan sesuatu, tetapi tidak tahu apa.
Dokter memeriksa bekas luka itu dengan cermat, kemudian menggeleng pelan. "Belum bisa dilepas hari ini, Pak Ariel. Masih ada bagian yang belum sepenuhnya tertutup dan kering. Butuh beberapa hari lagi," katanya.
Pak Ariel hanya mengangguk. Aku bisa melihat sedikit kekecewaan di matanya, tetapi ia tetap tenang. "Terima kasih, Dok," jawabnya singkat.
Dokter melanjutkan penjelasan, "Tidak perlu khawatir, ini normal. Setiap orang punya waktu penyembuhan yang berbeda. Yang penting, tidak ada tanda-tanda infeksi. Itu kabar baik."
Aku memperhatikan Pak Ariel mendengarkan dengan saksama. Ia mengangguk beberapa kali, terlihat menerima penjelasan dokter dengan lapang dada. Setelah dokter selesai, perawat membersihkan luka itu dengan antiseptik dan menutupnya kembali dengan kain kasa bersih, lalu membalutnya lagi dengan perban baru.
Ketika dokter dan perawat keluar, Pak Ariel merapikan dirinya. Aku masih berdiri di tempatku, tak tahu harus mengatakan apa. Saat itulah ia berbicara, nada suaranya setengah bercanda.
"Saya kelihatan nggak seperti Pak Ariel yang kamu kenal di kantor ya?"
Pertanyaannya menusuk hatiku. Aku merasa tidak siap untuk menjawab, tetapi aku tahu ia menunggu reaksiku. Aku mengumpulkan keberanian dan mencoba jujur.
"Bapak memang terlihat berbeda," kataku akhirnya. "Tapi bukan berarti buruk. Saat ini, Bapak terlihat seperti seorang pejuang. Bukan hanya seorang manajer keuangan."
Ia tertawa mendengar jawabanku, tawanya lepas, hampir seperti ia tidak memprediksi aku akan mengatakan itu. Tetapi tawanya segera terhenti ketika ia memegangi perutnya, mungkin terasa nyeri karena tertawa terlalu keras. Ia menggeleng pelan sambil menahan senyum, tidak mengatakan apa-apa lagi.
Aku hanya berdiri di sana, diam, tetapi perasaan di dalam diriku bergejolak. Sosok Pak Ariel yang kukenal di kantor begitu tegas dan nyaris sempurna, tetapi di ruangan ini, ia adalah manusia biasa – seseorang yang menghadapi rasa sakit dan tantangan dengan ketenangan yang luar biasa. Ada sesuatu yang berubah dalam cara aku memandangnya, tetapi aku belum tahu apa itu.
***