Sesuatu yang Berbeda

POV Sherly

Ada sesuatu yang berbeda dalam diriku, sesuatu yang terasa aneh dan menyentuh. Aku mencoba untuk mengabaikannya, namun perasaan itu terus menghantuiku, seperti ada sebuah gerbang yang perlahan terbuka, membiarkan perasaan-perasaan yang tak pernah aku sadari sebelumnya meresap.

Tiba-tiba, suara ketukan di pintu menyadarkan aku dari lamunanku. Pasti itu Pak Ariel. Aku sedikit terkejut, mungkin karena aku baru saja mulai mengatur ulang pikiranku, tapi aku segera bangkit dari ranjang dan membuka pintu kamar. Pak Ariel sudah berdiri di luar dengan wajah yang masih terbayang kelelahan, meskipun ada ketenangan yang selalu terpancar darinya.

"Selamat pagi, Sherly. Saatnya kembali ke kamar kamu," katanya, sambil memberikan senyuman tipis yang, entah kenapa, membuat jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya.

Aku mengangguk, sedikit gugup meskipun aku tahu ini adalah hal biasa yang terjadi. Aku tak tahu mengapa, tapi ada rasa canggung yang menyelimuti diriku. Aku mengucapkan terima kasih kepada karyawan hotel yang telah menemaniku semalam, tapi saat giliran aku mengucapkan terima kasih kepada Pak Ariel, rasanya berbeda. Aku mencoba mengucapkannya dengan tulus, dengan suara yang sedikit lebih pelan, dan tak bisa menghindari tatapanku yang sedikit lebih dalam dari biasanya.

"Terima kasih, Pak Ariel," aku mengatakannya pelan, tapi tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Aku merasa mataku ingin berkata lebih, meski bibirku hanya mampu mengungkapkan dua kata sederhana.

Tapi, saat itu juga aku sadar—ada perasaan yang lebih dari sekadar rasa terima kasih yang muncul. Ada perasaan ingin membuka diri lebih jauh, ingin berbagi lebih banyak, meskipun aku tidak tahu kenapa perasaan itu begitu mendalam. Aku hanya merasa, untuk pertama kalinya, aku ingin lebih dekat dengan pria di depanku ini.

Namun, aku tak bisa mengungkapkan itu. Aku hanya bisa menatapnya sejenak sebelum akhirnya berusaha menyembunyikan kegugupan yang menyelinap di dalam diriku.

Aku memutuskan untuk tidak berkata lebih, hanya sekadar tersenyum, dan berharap agar Pak Ariel mengerti bahwa rasa terima kasihku kali ini lebih tulus daripada sebelumnya. Namun, meskipun aku mencoba menyembunyikan perasaanku, aku tahu—sesuatu di dalam diriku mulai berubah. Perlahan, tanpa aku sadari, aku memberikan ruang untuk Pak Ariel di hatiku.

***

Setelah sarapan pagi yang singkat namun mengenyangkan, kami bertiga—Pak Ariel, Pak Agus, dan aku—melaju menuju lokasi pabrik. Begitu memasuki area, aku bisa melihat pabrik yang cukup besar di sisi kiri jalan, dengan beberapa truk yang sibuk keluar-masuk. Di depan bangunan pabrik, ada sebuah ruang kantor tiga lantai dengan dinding berwarna abu-abu cerah dan kaca jendela yang besar, memberikan kesan modern namun tetap sederhana. Papan nama perusahaan terpasang di depan pintu masuk, menunjukkan kesan profesional yang sejalan dengan aura bisnis yang serius.

Kami melangkah masuk melalui pintu utama, dan aku merasa seperti bagian dari rutinitas mereka. Kantor ini tidak mewah, hanya cukup untuk kegiatan operasional sehari-hari. Ada beberapa meja staf di sekitar ruangan, dan sebuah meja resepsionis yang sederhana di sudut. Hawa di dalam ruangan terasa tenang, namun ada rasa sibuk yang menyelimuti suasana, terutama dari percakapan-percakapan singkat di antara para karyawan yang sibuk menyiapkan dokumen dan laporan.

Tanpa sadar, aku mulai mengatur langkahku agar lebih dekat dengan Pak Ariel, mencoba tidak terlalu jauh darinya. Mungkin karena aku merasa sedikit cemas, atau lebih tepatnya, aku mulai merasa protektif terhadapnya. Sejak mengetahui bahwa dia memiliki masalah dengan jantungnya, hatiku terasa sedikit lebih berat. Ketika aku melihatnya, segala yang terjadi di sekitarnya seperti terhenti sesaat—bayangan tentang obat-obatan itu dan kenyataan bahwa dia harus menghadapinya sendirian membuatku merasa ingin melindunginya. Aku tahu dia tak akan mengungkapkan perasaan itu padaku, tapi aku tak bisa mengabaikan perasaan ini yang tumbuh begitu saja, tanpa kusadari.

***

Begitu kami sampai di lantai tiga, aku merasa suasana berubah. Ruang rapat terletak di ujung koridor, dan ketika pintu terbuka, aku bisa melihat para manajer yang sudah menunggu di dalam. Mereka duduk dengan serius di sekeliling meja panjang, dan begitu Pak Ariel masuk, suasana langsung berubah hening. Semua mata tertuju padanya, dan aku merasakan aura yang begitu kuat—wibawa yang sulit dijelaskan, tapi terasa nyata. Pak Ariel berjalan dengan tenang, penuh percaya diri, dan begitu dia duduk di posisi yang sudah disiapkan untuknya, ruangan terasa seperti miliknya. Entah mengapa, aku kembali terpesona melihatnya. Ada sesuatu tentang dirinya yang begitu memikat, bukan hanya karena penampilannya yang sempurna, tetapi juga cara dia memimpin.

Rapat pun dimulai dengan basa-basi formal yang biasa. Pak Ariel mengarahkan percakapan dengan lancar, memberi arahan, dan memastikan setiap poin dibahas dengan jelas. Semua berjalan dengan lancar, tapi aku tidak bisa sepenuhnya fokus. Pikiranku melayang, entah kenapa. Aku mencuri pandang ke arahnya, mencoba menangkap setiap gerak-geriknya. Aku ingin melihat sesuatu, mungkin tanda-tanda kelelahan, atau momen kecil di mana dia menunjukkan bahwa dia sedang tidak baik-baik saja, seperti yang kutahu sekarang.

Tapi anehnya, aku tidak menemukan apa-apa. Pak Ariel tampak profesional, seolah tidak ada yang mengganggu dirinya. Wajahnya tetap tegas, matanya fokus, dan suaranya tidak pernah ragu. Semua gerakannya begitu terkontrol. Aku sempat terfokus pada tubuhnya, berharap menemukan sedikit tanda dari penyakit yang kutahu ada dalam dirinya, tapi tak ada yang terlihat. Dia masih begitu kuat, begitu tegap. Mungkin aku terlalu cemas. Tapi hatiku terus bertanya-tanya—apakah mungkin dia benar-benar baik-baik saja, ataukah dia terlalu menutupi semuanya?

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha kembali fokus pada rapat, meskipun pikiranku masih terjebak di sosok Pak Ariel yang tampak tak tergoyahkan.

Saat rapat terus berlangsung, aku duduk di samping Pak Ariel, berusaha untuk fokus, namun pikiranku tetap saja melayang. Entah mengapa, mataku terus tertuju padanya. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa mungkin aku hanya khawatir berlebihan, bahwa tak ada yang perlu ditakutkan. Tapi tiba-tiba, aku melihat sesuatu yang berbeda.

Pak Ariel, yang biasanya begitu tegas dan penuh wibawa, kini tampak sedikit terganggu. Dia bersandar ke kursinya, matanya tertutup rapat. Tangannya menggenggam handle kursi, dan aku bisa melihat otot-otot di tangannya menegang, meremas-remas handle kursi itu seolah mencari pegangan. Wajahnya tampak mengerut, seolah menahan sesuatu yang sangat sulit untuk diungkapkan. Aku bisa merasakan ketegangan di udara, meskipun suasana di ruangan itu tetap tenang, hampir tidak ada yang menyadari perubahan kecil ini, kecuali aku.

Jantungku berdegup lebih cepat, dan aku merasa cemas. Aku ingin sekali memastikan apakah semuanya baik-baik saja, ingin bertanya atau sekadar memberikan dukungan, tetapi aku juga takut mengganggu. Jadi, aku hanya duduk diam, terperangkap dalam perasaan cemas yang semakin mendalam. Berulang kali aku melihat ke arahnya, menunggu, berharap dia segera membuka matanya dan kembali seperti biasa.

Beberapa menit terasa begitu lama, lebih lama dari yang seharusnya. Akhirnya, Pak Ariel membuka matanya perlahan, menarik napas panjang, seperti mencoba menenangkan dirinya. Namun, begitu matanya bertemu dengan mataku, dia tampak terkejut. Aku juga terkejut, merasa seperti ketahuan sedang memperhatikannya. Tanpa sadar, wajahku memerah dan aku segera membuang muka, panik. Aku merasa sangat canggung, dan jantungku rasanya hampir melompat keluar dari dada.

Aku mencoba untuk kembali fokus pada rapat, tetapi pikiranku berputar cepat, mencemaskan apa yang baru saja aku lihat. Apa yang sebenarnya terjadi pada Pak Ariel? Mengapa dia terlihat begitu menahan sakit tadi? Aku tidak bisa mengabaikannya, meskipun aku tahu aku harus.

***