POV Sherly
Aku terbangun, tubuhku masih merasa berat, dan saat mataku terbuka, aku terkejut melihat seseorang yang asing terbaring di sebelahku. Namun setelah aku amati dengan lebih seksama, aku mengenali seragam yang dikenakan perempuan itu. Sepertinya dia salah satu karyawan hotel ini. Aku menghela napas lega, menyadari kalau aku tidak berada dalam situasi yang buruk.
Aku melihat sekeliling, hanya ada kami berdua di ruangan ini. Pak Ariel dan Pak Agus pasti sedang di kamar mereka, kamar yang aku tinggalkan semalam. Aku duduk di tepi ranjang, tubuhku terasa lebih ringan setelah terbangun sebelum subuh. Keheningan di kamar membuat suasana terasa damai, meskipun di luar masih terdengar gemericik sisa hujan semalam. Rasanya waktu yang tepat untuk menunaikan sholat tahajjud, memanfaatkan momen tenang ini untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.
Namun, sebuah rasa panik menyelinap—mukenaku tertinggal di kamar. Aku memandangi ruangan ini, mencoba menemukan solusi. Aku tidak mugkin kembali ke kamar dan mengetuk pintu, kembali membangunkan pak Ariel seperti semalam.
Mataku tertumbuk pada meja kecil di dekat ranjang yang ditempati karyawan hotel. Di sana ada sebuah mukena instan yang tampak terlipat rapi. Aku menatap perempuan itu—masih tertidur pulas, nafasnya tenang, wajahnya terlihat damai. Aku ragu sejenak. Bagaimana kalau mukena itu penting baginya? Bagaimana kalau dia tidak nyaman aku memakainya tanpa izin?
Tapi aku juga tidak ingin melewatkan kesempatan untuk tahajjud. "Aku akan meminjam sebentar saja," bisikku kepada diri sendiri, mencoba mengusir rasa bersalah yang mulai muncul. Aku berjanji dalam hati, begitu dia bangun nanti, aku akan menjelaskan semuanya.
Dengan sangat hati-hati, aku mengambil mukena itu, memastikan lipatannya tetap rapi setelah aku buka. Aku memakainya perlahan, merasakan kainnya yang lembut dan bersih. "Maaf ya, Mbak," bisikku pelan, meskipun dia tidak akan mendengarnya. Dalam hati, aku meminta maaf dan berdoa semoga tindakanku ini tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Aku berdiri di sudut kamar, menggelar sajadah kecil yang kebetulan ada di ruangan itu. Saat mulai takbir, aku merasa lebih tenang, seperti beban di dadaku sedikit terangkat. Meskipun ada sedikit rasa bersalah, aku yakin aku akan membereskan ini segera setelah dia terbangun. Yang penting, aku bisa melaksanakan kewajibanku dengan baik.
Setelah selesai, aku kembali berbaring di ranjang. Waktu subuh masih lama, sekitar satu jam lagi. Aku melirik sekeliling ruangan, mataku tertuju pada meja kecil di samping ranjang. Ada sebuah tas kecil di sana yang tidak aku kenali. Apakah itu milik Pak Ariel? Mungkin, pikirku.
Aku merasakan dorongan rasa penasaran yang kuat, seperti ada sesuatu yang mengaitkan aku dengan tas itu. Aku tahu ini bukan barangku, dan aku juga tahu kalau melihat-lihat barang pribadi orang lain adalah hal yang tidak sopan. Tapi kenapa aku merasa begitu penasaran? Seperti ada sesuatu yang mengikatku pada Pak Ariel—sesuatu yang ingin aku ketahui lebih dalam.
Aku menatap karyawan hotel yang masih tertidur pulas di sebelahku, sejenak merasa ragu. Tapi dorongan rasa ingin tahu itu terlalu kuat, aku akhirnya memberanikan diri untuk mengambil tas kecil itu. Dengan hati-hati, aku membuka tas itu, dan takjub melihat isinya. Obat-obatan. Banyak sekali. Apakah ini milik Pak Ariel? Dan apakah tumor jinak di hati Pak Ariel membutuhkan obat sebanyak ini? Pertanyaan itu muncul begitu saja di pikiranku.
Aku merasa terkejut dan semakin penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Pak Ariel? Aku menunduk, memperhatikan obat-obatan itu satu per satu. Ada yang terbungkus dengan jelas dan ada juga yang tidak memiliki keterangan. Aku memutuskan untuk mengambil foto beberapa obat yang ada nama dan mereknya, sementara yang lainnya aku abaikan. Tanganku sedikit gemetar, namun aku tetap melakukannya.
Setelah itu, aku merapikan kembali tas itu dengan hati-hati, menaruhnya persis seperti semula. Aku merasa bersalah, seakan aku sudah melanggar batas. Tapi perasaan itu tak sebanding dengan rasa penasaran yang membengkak dalam diriku. Aku kembali duduk di ranjang, mengambil ponselku yang sempat aku bawa ke sini semalam, dan mulai mencari satu per satu nama obat-obatan itu. Aku tahu ini mungkin bukan hal yang bijaksana, tapi aku tak bisa menahan diri. Ada sesuatu yang ingin aku ketahui tentang Pak Ariel, dan aku harus tahu.
Tulisan di layar ponselku keluar dari aplikasi chat GPT.
Silymarin adalah senyawa alami yang diekstrak dari biji tanaman Silybum marianum, atau lebih dikenal sebagai milk thistle. Silymarin terutama digunakan sebagai antioksidan dan hepatoprotektor (pelindung hati).
Metoprolol adalah obat yang termasuk dalam kelas beta-blocker. Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor beta-adrenergik di jantung dan pembuluh darah, yang membantu menurunkan detak jantung, tekanan darah, dan beban kerja jantung.
Lisinopril adalah obat yang termasuk dalam kelas Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) Inhibitor. Obat ini bekerja dengan menghambat enzim yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II, senyawa yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Dengan mengurangi kadar angiotensin II, lisinopril membantu melebarkan pembuluh darah dan menurunkan tekanan darah.
Nitrogliserin adalah obat yang termasuk dalam kelas vasodilator. Obat ini bekerja dengan merelaksasi dan melebarkan pembuluh darah, sehingga meningkatkan aliran darah dan mengurangi beban kerja jantung. Nitrogliserin sering digunakan untuk mengobati kondisi terkait gangguan aliran darah ke jantung.
Aspirin adalah obat yang termasuk dalam kelas analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun demam), dan antiinflamasi (anti-radang). Selain itu, aspirin juga memiliki fungsi sebagai antiplatelet (pencegah penggumpalan darah), yang membuatnya berguna dalam pencegahan dan pengobatan kondisi terkait penyakit kardiovaskular.
Aku duduk terpaku, ponselku gemetar di tanganku yang lemah. Layar ponsel masih menampilkan nama-nama obat yang barusan kucari satu per satu. Metoprolol, Lisinopril, Nitrogliserin, Aspirin—dan aku hanya bisa memandangnya dengan dada yang sesak. Ini tidak mungkin. Tidak mungkin.
Perlahan, aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan kekacauan yang bergemuruh di dalam diriku. Namun, bayangan wajah Pak Ariel—tatapan hazel yang seringkali terlihat lelah, senyumnya yang samar saat berusaha menyembunyikan sakitnya—semua itu menyeruak tanpa kendali. Aku memejamkan mata, tapi justru semakin jelas tergambar. Bagaimana bisa? Bagaimana selama ini aku tidak melihat tanda-tandanya?
Hatiku terasa perih, seolah ditusuk sembilu yang tak kasatmata. Obat-obatan ini... semuanya untuk jantung. Bukan hanya tumor jinak di hati, seperti yang aku kira selama ini. Masalah ini jauh lebih serius. Tangan kiriku meremas dada, mencoba meredakan sesak yang menekan, tapi itu tak ada gunanya. Rasanya seperti beban berat telah jatuh menghantamku tanpa peringatan.
"Pak Ariel…" bisikku lirih, suaraku pecah di udara kosong.
Aku tak bisa mengalihkan pikiranku dari momen-momen kecil yang kini terasa seperti potongan puzzle yang akhirnya menyatu. Wajah pucatnya yang seringkali kuabaikan, caranya menyembunyikan rasa sakit di balik ekspresi datar yang terlalu sempurna, dan betapa seringnya ia terlihat kelelahan, meskipun dia selalu berkata "tidak apa-apa."
Tidak, ini bukan tentang tumor di hatinya. Ini tentang hatinya yang sesungguhnya—organ vital itu, yang kini kupahami lebih rapuh dari yang kubayangkan. Jantungnya…
Air mata mulai membasahi pipiku tanpa bisa kutahan. Aku menggigit bibir, mencoba menahan isak yang hampir keluar. Kenapa aku merasa begini? Kenapa rasa sakit ini begitu nyata, seolah-olah aku yang menanggung semuanya?
Bayangan wajah Pak Ariel muncul begitu jelas di benakku. Aku mengingatnya dengan laptop di depan, tampak sibuk dan fokus saat bekerja. Saat itu, dia begitu profesional, berwibawa, seolah tak ada yang bisa mengganggu ketenangannya. Aku selalu merasa kagum, seolah dia tak pernah punya masalah pribadi, begitu sempurna dalam segala hal yang dia lakukan. Tapi sekarang, setelah aku tahu tentang masalah kesehatannya, aku merasa dunia ini sedikit terguncang. Apa yang aku lihat selama ini hanya permukaan?
Aku teringat saat rapat penting yang dihadiri Pak Ariel. Dia berdiri di depan dengan penuh percaya diri, berbicara dengan wibawa yang membuat semua orang mendengarkan dengan seksama. Tidak ada yang bisa menyangka bahwa di balik sosok tegas itu, ada tubuh yang rapuh, yang berjuang melawan penyakit yang tak terlihat. Aku masih ingat bagaimana Pak Ariel mampu mengendalikan keadaan, meskipun aku bisa melihatnya sesekali menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya. Tapi dia tak pernah mengeluh, tak pernah menunjukkannya pada siapapun. Semua orang melihat Pak Ariel sebagai sosok yang tak tergoyahkan, seolah dia memiliki segalanya.
Dan saat aku melihatnya pergi ke panti asuhan, aku semakin tersentuh. Pak Ariel yang dikenal keras dan tegas di kantor, berubah menjadi sosok yang begitu humble. Dia berbicara dengan anak-anak di sana dengan lembut, memeluk mereka, memberi mereka harapan. Dia tampak seperti seorang kakak, atau bahkan seorang ayah bagi mereka. Betapa besar hati Pak Ariel. Begitu sederhana dan penuh kasih sayang, meskipun tubuhnya terjerat oleh masalah kesehatan yang tersembunyi.
Dan yang paling membekas di benakku adalah saat kecelakaan beruntun itu terjadi. Ketika aku dan Pak Ariel berlari ke arah mobil yang terbakar, mataku menangkap kilatan api yang menyelimuti mobil itu, namun Pak Ariel tak ragu sedikitpun. Dia mengangkat pria yang terjebak dalam mobil dengan tangan yang kuat, mengeluarkannya meskipun api semakin mendekat. Tak ada rasa takut di wajahnya, hanya tekad untuk menyelamatkan, untuk melakukan apa yang benar. Aku pun ikut berlari, mengikuti langkahnya yang penuh keberanian. Tapi dalam setiap langkah itu, apakah aku sudah benar-benar tahu siapa Pak Ariel? Apakah aku sadar betapa beratnya apa yang ia sembunyikan?
Dan aku? Aku di sini, baru menyadari semuanya ketika sudah terlambat.
Rasa kagumku terhadap Pak Ariel tak pernah berkurang, justru semakin dalam. Aku semakin sadar bahwa aku perlu berhenti melihatnya sebagai sosok yang hanya kuat dan tak terjangkau. Dia manusia, seperti aku, dengan segala pergumulan dan perjuangan yang tak selalu tampak di permukaan. Kini, aku ingin menjadi bagian dari perjalanannya, ingin mendukungnya meskipun aku tahu tak mudah bagi seorang lelaki seperti dia untuk membuka diri. Mungkin, aku bisa sedikit membantu mengangkat beban yang selama ini ia sembunyikan dalam diam.
Aku memandang ke arah tas kecil itu, kini sudah tertutup rapat seperti semula. Seolah tak pernah tersentuh. Namun, aku tahu rahasia besar yang disembunyikannya. Dan aku tak akan pernah bisa melihat Pak Ariel dengan cara yang sama lagi.
Tubuhku melemas. Aku berbaring kembali di ranjang, menatap langit-langit yang gelap. Kilat di luar jendela sesekali menerangi ruangan, namun pikiranku tetap berpusat pada satu hal.
Pak Ariel… bagaimana kamu bisa bertahan dengan semua ini? Dan kenapa aku merasa sakit hanya dengan memikirkanmu?
***