Perjalanan & Hujan

POV Sherly

Saatnya untuk sholat Zhuhur, kami pun berhenti di sebuah masjid yang cukup besar dan indah.

Setelah sholat, aku merapikan sajadah dan mukenahku lalu melangkah pelan, menikmati ketenangan masjid. Tanpa sengaja, pandanganku teralih ke sisi pria, tempat pak Ariel duduk. Ia belum berdiri, malah tampak khusyuk berdoa, seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan dalam doanya yang panjang. Aku menyibakkan sedikit kain pembatas untuk melihatnya lebih jelas, namun tidak lama. Ada sesuatu dalam caranya berdoa yang terasa berbeda—lebih tulus, lebih mendalam, jauh dari sosok yang biasanya aku kenal di kantor.

Aku kembali menunduk, meresapi kedamaian yang ada di sekitar. Rasanya, melihat pak Ariel seperti itu, aku merasa ada sisi lain dari dirinya yang tak pernah kulihat sebelumnya—lebih manusiawi, lebih rapuh, tapi tetap penuh keyakinan.

Aku segera bergegas mengambil uang Rp 10.000 yang sudah aku siapkan untuk dimasukkan ke dalam kotak infak masjid. Setelah itu, aku melangkah menuju kotak infak khusus perempuan. Ketika sampai di sana, tanpa sengaja aku menoleh ke arah bagian shaf laki-laki. Mataku langsung tertuju pada sosok pak Ariel yang sedang memotret bagian dari spanduk besar yang tergantung di sana. Aku mengamati, dan ternyata itu adalah spanduk permintaan bantuan dengan nomor rekening bank milik masjid. Pak Ariel terlihat begitu fokus pada spanduk itu, lalu aku melihatnya memasukkan selembar uang Rp 100.000 ke dalam kotak infak yang ada di shaf laki-laki.

Seketika, aku merasa terharu. Hatiku seperti dihantam perasaan yang tak bisa aku jelaskan. Di mataku, pak Ariel semakin terlihat seperti seseorang yang berhati lembut. Aku ingat beberapa hal kecil lainnya yang pernah aku perhatikan dari dirinya—sikapnya yang selalu penuh perhatian dan tak terburu-buru dalam setiap tindakannya. Semakin aku mengenalnya, semakin banyak hal baru yang aku temukan tentang dirinya, dan setiap hal itu membuat aku semakin kagum.

Aku segera melangkah menuju pintu keluar, berusaha menenangkan perasaan yang tiba-tiba saja muncul. Aku berdiri di samping mobil, menunggu pak Ariel dan pak Agus, sambil merasakan kedamaian yang tak terduga. Tapi di sisi lain, aku juga merasakan ada sesuatu yang lebih. Sesuatu yang baru saja tumbuh di dalam diriku, dan aku tak tahu pasti harus bagaimana menghadapinya.

***

Kami pun berhenti di sebuah tempat makan sederhana yang bisa kami temui di sana.

Aku menatap menu yang tertempel di dinding dekat kasir, merasa agak bingung memilih. Di satu sisi, aku ingin makan yang enak, tapi di sisi lain, aku tahu aku harus memikirkan apa yang sehat juga. Sambil memandangi pilihan menu yang ada, aku merasakan sesuatu yang agak aneh. Seperti ada ketegangan halus di udara, mungkin karena aku merasa sedikit canggung berada di tempat ini dengan Pak Ariel—terlalu banyak hal yang belum kuketahui tentangnya, tapi semakin aku mengenalnya, semakin banyak hal baru yang menarik perhatianku.

Pak Ariel yang berdiri di sampingku mulai bertanya satu per satu tentang menu yang ada di sana. Tangannya bergerak gesit, menunjuk dan bertanya dengan teliti. "Ini ada micin?" tanyanya, memperhatikan menu dengan seksama. "Yang ini, garamnya banyak nggak?"

Aku sedikit terkesiap, heran. Kenapa Pak Ariel sampai sedetail itu dalam memilih makanan? Tapi, aku jadi teringat betapa telitinya dia selama ini. Waktu aku membawakan bekal untuknya, dia memang selalu bilang tidak mau ada micin dan tidak suka makanan yang terlalu banyak garam. Sepertinya itu bagian dari gaya hidup sehatnya.

Sambil menunggu dia memesan, aku jadi memperhatikan Pak Ariel lebih lama. Dia benar-benar berhati-hati, sampai urusan makanan pun tak luput dari perhatiannya. Bahkan ketika dia akhirnya memesan nasi dengan ikan bakar dan jeruk panas murni tanpa gula, aku merasa semakin terkesan. Mungkin itu terlihat sepele, tapi cara Pak Ariel menjalani hidupnya dengan sangat terencana dan penuh perhatian benar-benar membuat aku kagum.

Tanpa sadar, aku ikut memesan menu yang sama. Seperti refleks, aku merasa ingin mencoba gaya hidup sehat yang Pak Ariel jalani, meskipun aku sendiri belum tahu apakah itu cocok dengan diriku. Namun, sepertinya itu keputusan yang tiba-tiba datang begitu saja, tanpa banyak pertimbangan.

Pak Ariel melirikku dengan tatapan heran. "Kamu juga?" tanyanya dengan nada setengah tertawa, mungkin sedikit bingung melihat aku memesan hal yang sama.

Aku tersenyum, sedikit malu. "Iya, saya ingin coba gaya hidup sehatnya Bapak," jawabku jujur, meskipun dalam hati aku merasa sedikit aneh juga. Kenapa aku begitu mudah terpengaruh? Tapi, saat Pak Ariel tersenyum kecil, hatiku serasa meleleh. Entah kenapa, senyum itu membuat semuanya terasa lebih ringan. Aku hanya berharap, gaya hidup sehat itu benar-benar bermanfaat.

Mungkin itu adalah awal dari hal-hal kecil yang membuat aku semakin tertarik dengan Pak Ariel—tanpa kusadari, dia sudah mempengaruhi banyak hal dalam hidupku.

***

Menjelang waktu Ashar, akhirnya kami tiba di kota Pemikarang. Perjalanan yang cukup panjang membuatku merasa sedikit lelah, tapi aku berusaha tetap terlihat segar. Mobil melaju perlahan memasuki halaman hotel yang tampak rapi dan cukup elegan, meski bukan tergolong mewah. Ini tipe hotel yang memang pas untuk perjalanan bisnis seperti ini—nyaman, profesional, tanpa kesan terlalu santai.

Pak Agus dengan sigap membukakan pintu mobil untukku, lalu membantu menurunkan tas kami dari bagasi. Aku memperhatikan bagaimana dia mengangkat tas Pak Ariel dengan mudah, sementara tangannya yang lain membawa tas kecilku. Aku mengikutinya menuju lobi, di mana Pak Ariel sudah berjalan lebih dulu, langsung menuju meja resepsionis untuk check-in.

Aku berdiri sedikit di belakang, memperhatikan bagaimana Pak Ariel berbicara dengan resepsionis. Tatapannya tetap tenang, namun nada suaranya terdengar tegas seperti biasa. Ada sesuatu tentang caranya berinteraksi yang selalu terasa profesional, tapi tidak pernah kaku. Aku sempat melirik sekeliling lobi yang dihiasi ornamen kayu sederhana namun tetap terlihat berkelas. Aroma khas pengharum ruangan bercampur dengan sedikit bau kopi dari kafe kecil di sudut ruangan.

Setelah selesai mengurus semuanya, Pak Ariel berbalik dan menyerahkan kunci kamar pada Pak Agus. "Kamar Sherly di depan kamar kita," katanya singkat sambil menyerahkan kunci kamar lain padaku. Aku menerima kunci itu dengan anggukan pelan. Rasanya agak canggung, tapi aku berusaha tetap tenang.

Kami berjalan menuju lift, naik ke lantai tiga, dan berhenti di depan deretan kamar. Pak Agus membukakan pintu kamar untuk Pak Ariel lebih dulu, lalu membawakan tas ke dalam. Sementara itu, aku memegang kunci kamarku, berdiri di depan pintu sambil mencoba memutar angka di kepala—bagaimana aku akan mengatur waktuku selama di sini? Pasti jadwalnya padat.

"Kita istirahat dulu. Nanti habis Maghrib kita makan malam di restoran hotel," kata Pak Ariel sambil berdiri di ambang pintu kamarnya. Aku mengangguk pelan. "Baik, Pak."

Pak Agus keluar dari kamar Pak Ariel, membawa tas kecilku, dan meletakkannya tepat di depan pintu kamarku. "Ini tasnya, Nona Sherly," katanya ramah.

"Terima kasih, Pak Agus," jawabku sambil tersenyum. Aku lalu membuka pintu dan masuk ke dalam kamar.

Begitu pintu tertutup, aku meletakkan tas di dekat meja kecil dan membiarkan tubuhku terjatuh ke atas tempat tidur yang empuk. Kamar ini cukup luas, dengan dekorasi minimalis yang nyaman. Tidak ada kemewahan berlebihan, tapi semuanya terasa bersih dan rapi. Aku memandang langit-langit kamar sejenak, membiarkan pikiranku melayang.

Rasanya aneh berada di sini—di kota lain, di tempat asing, menjalani perjalanan kerja bersama Pak Ariel. Sejak tadi, perasaanku campur aduk. Ada rasa kagum yang perlahan semakin sulit kusembunyikan, tapi juga ada keinginan untuk tetap menjaga batas. Dia bosku, pikirku dalam hati. Hubungan kami harus tetap profesional.

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Oke, Sherly," gumamku pelan. "Saatnya fokus pada pekerjaan." Tapi meski sudah berusaha keras mengalihkan pikiran, bayangan senyuman Pak Ariel tadi masih saja terlintas di benakku.

***

POV Ariel

Hujan turun dengan deras malam itu, disertai kilatan petir dan gelegar guntur yang sesekali membuat dinding kamar terasa bergetar. Aku baru saja terlelap setelah menyelesaikan beberapa catatan pekerjaan untuk besok ketika suara ketukan di pintu membangunkanku. Samar-samar aku mendengar ketukan itu lagi, perlahan tapi terus berulang.

Aku bangkit dengan enggan, mengucek mata yang masih berat. Ketika berjalan menuju pintu, aku sadar bahwa aku bahkan lupa mengenakan kacamataku. Begitu pintu kubuka, di depanku berdiri Sherly—wajahnya pucat, matanya penuh kecemasan. Dia tampak seperti sedang berjuang menenangkan diri, tapi aku bisa melihat jelas rasa takut yang menyelimuti dirinya.

"Pak Ariel... saya... saya takut," katanya dengan suara bergetar, hampir seperti bisikan. Dia menatapku sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke lantai. "Kilat, petir... hujan lebat. Saya nggak bisa sendiri di kamar, Pak."

Aku terdiam beberapa saat, masih mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Hujan dan petir? Ketakutan? Aku baru sadar, bagi sebagian orang, itu bisa menjadi pengalaman yang sangat menakutkan. Melihatnya seperti ini membuatku sedikit terkejut. Biasanya Sherly selalu terlihat tenang, bahkan saat menghadapi hal sulit sekalipun.

"Masuklah," ujarku akhirnya, membuka pintu lebih lebar. Dia ragu sejenak sebelum melangkah masuk.

Sherly duduk di sofa, tubuhnya tampak kaku dan canggung. Aku menutup pintu lalu berjalan mendekatinya. "Kamu nggak apa-apa?" tanyaku, mencoba memastikan.

Dia hanya mengangguk kecil, tapi matanya tidak bisa menyembunyikan rasa takut itu. Aku memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh.

"Kamu tidur saja di tempat tidur," kataku sambil mulai merapikan sprei di ranjang. "Biar saya di sofa."

"Pak, nggak perlu. Saya bisa di sofa saja," bantahnya buru-buru.

Aku tersenyum kecil. "Nggak baik kalau perempuan tidur di sofa. Tempat tidur ini cukup nyaman, kamu istirahat saja di sini. Saya nggak apa-apa di sofa."

Dia terlihat ragu, tapi aku bisa melihat bahwa dia benar-benar kelelahan. Tanpa menunggu jawaban, aku menuju ranjang Pak Agus untuk membangunkannya. Untungnya, dia tidak terlalu keberatan. Aku meminta Sherly untuk benar-benar tidur dengan tenang.

"Kami akan duduk di sofa," kataku, mencoba meyakinkan Sherly bahwa dia tidak perlu khawatir.

Begitu Sherly akhirnya bersedia berbaring di tempat tidur, aku memutuskan untuk mengambil langkah lebih lanjut. Tidak enak rasanya membiarkannya sendirian di kamar meskipun dia sudah di tempat tidur. Aku menghubungi resepsionis dan meminta bantuan seorang karyawan perempuan untuk menemani Sherly. Beberapa menit kemudian, seorang staf hotel datang, dan aku memintanya untuk tetap di kamar ini bersama Sherly hingga pagi.

Sambil membawa beberapa barang kecilku, aku dan Pak Agus pindah ke kamar Sherly yang tadi ditinggalkan. Di sana, aku membaringkan diri di ranjang, mencoba kembali tidur. Tapi pikiran ini masih melayang-layang—mengingat ketakutan Sherly tadi, bagaimana wajahnya penuh kecemasan. Aku merasa lega bisa memastikan dia akan baik-baik saja malam ini.

Hujan masih terus mengguyur kota, tapi setidaknya, sekarang aku tahu Sherly sudah aman. Itu cukup untuk membuatku merasa lebih tenang.

***