Tugas Luar Kota

POV Sherly

Pagi itu, suasana rumah terasa lebih tenang dari biasanya. Setelah mendapat kabar bahwa Papa Cindy sedang dirawat di rumah sakit, aku segera memutuskan untuk membesuknya. Jam 11 pagi, aku sudah berada di rumah sakit dan merasa sedikit lega melihat keadaan Papa Cindy yang sudah lebih baik. Kunjungan itu hanya berlangsung sekitar dua jam, dan pukul 1 siang aku sudah kembali ke rumah.

Setibanya di rumah, aku langsung ikut membantu ibuku membereskan gudang. Kami mengeluarkan barang-barang yang sudah tidak terpakai dan mulai menata ulang agar ruangannya lebih rapi. Menyusun barang di gudang terasa seperti pekerjaan yang tak ada habisnya, tapi ada kelegaan tersendiri saat melihat ruangannya mulai terlihat lebih lapang.

Sore harinya, aku kembali ke kamar untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda—meneliti dokumen milik kakek. Aku menyentuh sudut dokumen yang sudah rapuh, seolah takut robek jika terlalu keras. Aku membuka dokumen yang tertulis tangan, dokumen gadai tanah yang usianya sudah cukup tua. Surat itu sudah sedikit kusam dan beberapa bagian tulisan tampak pudar, tapi aku masih bisa membacanya dengan jelas. Sejenak, aku merasa seperti sedang memegang sejarah keluargaku di tanganku sendiri, dan itu menimbulkan rasa hangat bercampur dengan rasa penasaran yang mendalam.. Di sana tertulis alamat yang menurutku penting—Kampung Senggir, Kecamatan Dantokan, Kabupaten Tatakan Timur. Aku segera membuka aplikasi peta di ponsel, berharap dapat mengetahui seberapa jauh tempat itu dari rumahku.

Ternyata, Kampung Senggir berjarak hampir 200 km dari sini. Aku menghela napas panjang, membayangkan perjalanan jauh yang harus aku tempuh jika aku memutuskan untuk pergi ke sana. Aku menatap foto kakek yang tergeletak di samping dokumen itu. Foto itu sudah begitu usang, hampir tidak terlihat jelas. Tapi ada sesuatu yang menarik perhatianku—di latar belakang, tampak bayangan sebuah bangunan dengan ornamen yang tidak biasa. Bentuknya seperti menara kecil, namun melengkung seperti daun yang menjuntai. Aku tidak tahu apakah itu hanya kebetulan, atau mungkin petunjuk.. Mungkin tempat itu sudah berubah banyak, atau bahkan sudah tidak ada lagi. Aku merasa bingung, tidak tahu harus memulai dari mana.

Aku menutup dokumen itu dan mendongak, merenung sejenak. "Bagaimana rasanya punya keluarga besar, ya?" Aku mendesah panjang. Hidup hanya dengan Ibu kadang terasa seperti berdiri di atas sebatang pohon rapuh yang siap tumbang kapan saja. Kami hanya memiliki satu sama lain, dan aku tahu betapa kesepiannya Ibu, meski beliau jarang mengeluh.

Seharusnya aku mengajukan cuti tahunan, pergi ke sana untuk mencari tahu lebih banyak tentang kakek dan jejaknya. Tapi pergi sendirian ke tempat yang tidak aku kenal benar-benar terasa menakutkan. Aku tidak tahu apa yang akan aku temui di sana, dan rasanya aku tidak cukup percaya diri untuk melakukannya sendirian.

Namun, rasa penasaran itu lebih kuat dari ketakutanku. Aku segera membuka kalender di ponsel, mencoba menghitung hari-hari yang bisa aku manfaatkan untuk mengajukan cuti. Tapi saat itu, ponselku berbunyi. Nama Pak Ariel muncul di layar, dan seketika itu juga jantungku berdegup kencang. Entah mengapa, hanya dengan melihat nama Pak Ariel di layar ponsel, aku sudah merasa seperti gadis remaja yang sedang jatuh cinta.

Aku berusaha menenangkan diri sebelum mengangkat telepon. "Halo, Assalamualaikum Pak Ariel," ucapku dengan suara yang sedikit lebih bergetar dari biasanya.

"Waalaikum salam Sherly. Apa kabar?" Suara Pak Ariel terdengar tenang, meskipun aku bisa merasakan ketegangan yang ada di baliknya.

Kami berbincang sejenak, lalu Pak Ariel memberitahuku bahwa dia membutuhkan bantuan di pabrik perusahaan kami yang berada di Kota Pemikarang. "Kondisi saya belum stabil, jadi saya butuh bantuanmu untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan di sana," katanya. Aku bisa mendengar nada yang lebih lemah di suaranya, tapi aku tahu dia pasti merasa kesulitan.

Aku merasa bingung, tapi juga sedikit lega mendengar permintaannya. Kota Pemikarang... Itu kota yang dekat dengan Kabupaten Tatakan Timur. Aku langsung merasa ada peluang di sini—kesempatan untuk menyelesaikan tugas dan mungkin bisa menyelipkan rencana untuk mampir ke sana. Aku mengangguk tanpa sadar meskipun dia tidak bisa melihatnya. "Tentu, Pak. Saya akan segera siap-siap," jawabku dengan suara yang lebih mantap, meskipun hatiku berdebar-debar.

Setelah percakapan selesai, aku langsung memberitahukan ibuku bahwa aku akan pergi tugas luar kota. Aku tidak menyebutkan rencanaku untuk singgah di Kabupaten Tatakan Timur. Ibuku tidak keberatan dan memberikan izin tanpa banyak bertanya. Dengan semangat yang tiba-tiba muncul, aku segera mengemas barang-barang yang aku butuhkan untuk perjalanan ini.

Perasaan bercampur aduk—senang bisa bekerja bersama Pak Ariel lagi, meskipun hanya untuk urusan pekerjaan. Rasanya seperti ada alasan lebih untuk aku merasa begitu antusias. Entahlah, mungkin aku terlalu berlebihan, tapi aku merasa semangatku meningkat setiap kali ada kesempatan untuk dekat dengan Pak Ariel. Tapi aku berusaha menyembunyikan perasaan itu, hanya berfokus pada pekerjaan yang akan datang. Keputusan untuk pergi ke Pemikarang ini bisa menjadi langkah pertama menuju jawabanku tentang kakekku, dan mungkin juga... bisa memberi waktu lebih banyak untuk berbicara dengan Pak Ariel.

***

Pagi itu, aku merasa agak gugup, meski sudah terbiasa bersama Pak Ariel di kantor. Tapi entah kenapa, kali ini rasanya sedikit berbeda. Mungkin karena aku tahu kami akan berada jauh dari kantor, jauh dari rutinitas yang biasa kami jalani. Perjalanan menuju pabrik hari ini terasa seperti sesuatu yang lebih, meskipun kami akan fokus pada pekerjaan.

Sesampainya di rumah, Pak Ariel tidak hanya langsung mengajak aku pergi, tetapi juga mampir untuk berpamitan dengan ibu. Aku sedikit terkejut saat mendengar ibu menyampaikan permintaan sederhana namun penuh perhatian itu. "Jaga Sherly dengan baik di sana, Pak Ariel," kata ibu dengan nada lembut, seperti seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya. Mendengar itu, hati aku langsung terasa hangat, tapi lebih dari itu, aku melihat ketulusan dalam mata Pak Ariel saat dia menjawab janji itu. "Tentu, Bu. Insha Allah, saya akan pastikan Sherly baik-baik saja," katanya dengan lembut.

Aku yang berdiri tak jauh dari mereka hanya bisa tersenyum tipis, merasa ada sesuatu yang bergerak dalam diriku. Pak Ariel... dia bisa sesoft itu? Aku tidak pernah membayangkan dia bisa menunjukkan sisi lembut seperti itu di luar pekerjaan. Rasanya seperti ada bagian dari diriku yang luluh begitu saja saat mendengar jawabannya. Terkadang, aku lupa bahwa dia bukan hanya bosku yang tegas dan serius, tetapi juga seorang manusia biasa dengan perasaan yang mungkin tak banyak diketahui orang.

Setelah berpamitan dengan ibu, kami melanjutkan perjalanan. Di dalam mobil yang dikendarai Pak Agus, aku merasa suasananya sedikit lebih santai. Pak Ariel mulai berbicara tentang agenda di pabrik nanti, menjelaskan dengan tenang bahwa kami akan melakukan analisis keuangan bersama para manajer dan staf keuangan. Aku sudah menduga hal itu, jadi aku hanya mengangguk sambil mendengarkan penjelasannya.

Kemudian, Pak Ariel mengubah topik pembicaraan. "Bagaimana liburanmu kemarin? Seru?" tanyanya, seolah-olah mencoba mengalihkan pembicaraan dari pekerjaan. Saat itu, aku tersentak, dan seketika pikiranku beralih pada Juan. Aku merasa panik, takut Pak Ariel akan bertanya lebih lanjut tentang liburan itu. Jika dia tahu aku pergi dengan Juan, pasti akan sangat canggung. Namun, Pak Ariel hanya menanyakan wahana apa yang aku mainkan di sana. Aku merasa lega, meskipun sedikit ragu, aku menjawab dengan jujur, "Roller coaster, bianglala, dan bebek air."

Pak Ariel tampak mendengarkan dengan tertarik, lalu dia menyahut dengan sedikit bercanda, "Wah, kedengarannya seru! Saya juga ingin coba itu suatu saat." Aku hampir tidak berpikir panjang ketika, tanpa sadar, aku berkata, "Kapan-kapan kita coba bareng, Pak." Aku segera merasa canggung setelah kata-kata itu keluar. Mengajak bosku untuk berlibur bersama? Itu terdengar aneh.

Namun, Pak Ariel menanggapinya dengan serius, malah memastikan kapan kami bisa ke sana bersama. Aku menelan ludah, berusaha berpikir cepat. Aku tentu saja tidak berniat seserius itu, hanya sekedar basa-basi, tapi Pak Ariel malah tampaknya benar-benar ingin melakukannya. "Mungkin setelah kita kembali ke kota, weekend depan?" jawabku dengan nada ragu-ragu. Pak Ariel tersenyum dan menyetujui dengan antusias. "Oke, saya akan pastikan kita bisa ke sana."

Aku hampir tidak tahu harus merasa apa. Di satu sisi, ada perasaan senang karena bisa pergi berdua dengannya, tetapi di sisi lain, rasanya agak aneh. Taman hiburan? Liburan pribadi? Kenapa rasanya seperti ini? Bukankah itu bukan agenda profesional? Apa ini berarti sesuatu yang lebih?

Aku mencoba menenangkan pikiranku, tetapi kenyataannya, hatiku merasa sedikit gelisah. Pak Ariel tampaknya sudah lebih santai, merebahkan jok mobil dan memejamkan mata, seperti ingin beristirahat sejenak. Aku yang duduk di sebelahnya hanya bisa menatapnya tanpa suara. Ada kelelahan yang terlihat jelas di wajahnya, meskipun dia berusaha untuk tampak biasa saja. Aku baru sadar betapa jarangnya aku melihat Pak Ariel benar-benar segar, seolah-olah dia selalu terburu-buru, selalu ada sesuatu yang lebih penting yang harus dia lakukan.

Lalu, tiba-tiba aku merasa sedikit cemas. Apa dia baik-baik saja? Apakah dia memang merasa lelah, atau hanya pura-pura? Aku tidak tahu jawabannya, tapi satu hal yang aku tahu, entah kenapa, aku merasa semakin dekat dengan Pak Ariel hari ini, bahkan meskipun perasaan itu membuatku sedikit bingung.

***