POV Ariel
Langkahku terhenti di depan apotek rumah sakit, menggenggam kantung kecil berisi obat yang baru saja kutebus. Mama dan Papa berdiri di sampingku, menunggu dengan tenang seperti biasanya. Mereka selalu seperti ini—tidak pernah mengeluh, tidak pernah tampak lelah meskipun seumur hidupku telah kuhabiskan di rumah sakit. Aku tahu, mereka lebih memahami rutinitas ini daripada aku sendiri.
Kami berjalan menuju mobil yang terparkir di bawah bayangan pohon besar di halaman rumah sakit. Aku tetap memakai masker hingga masuk ke dalam mobil. Papa duduk di depan bersama sopir, sementara aku dan Mama duduk di belakang. Begitu pintu tertutup dan mesin mobil menyala, aku melepas maskerku, menghela napas lega. Udara di dalam mobil terasa lebih aman, lebih akrab.
Ponsel di sakuku bergetar pelan, dan aku segera mengeluarkannya. Ada notifikasi pesan. Namanya muncul di layar: Sherly.
Jantungku seakan melompat. Jemariku segera membuka pesan itu, membaca baris demi baris kalimatnya. Pesan sederhana, sekadar menanyakan tentang kontrolku hari ini—tapi itu cukup untuk membuatku tersenyum tanpa sadar.
"Apa itu pesan dari Sherly?" suara Mama tiba-tiba memecah lamunanku.
Aku terperanjat kecil, lalu menoleh ke arahnya. Wajahku memanas, mungkin sudah semerah apel sekarang. Mama tertawa pelan, senyumnya penuh arti. "Ibu selalu tahu, Ariel. Itu bakat alami seorang ibu," katanya, menggoda.
Aku mencoba memasang ekspresi santai, tapi senyumku terlalu lebar untuk disembunyikan. "Kenapa Mama bisa langsung tahu?" tanyaku akhirnya, berusaha mengalihkan perasaan gugup yang mendesak.
Mama mengangkat bahu dengan gaya dramatis, seolah itu rahasia besar yang hanya ia ketahui. "Seorang ibu bisa membaca hati anaknya, Nak," jawabnya sambil terkekeh. "Apalagi soal cinta."
Aku menggeleng pelan, tapi senyum tetap mengembang di wajahku. "Mama terlalu berlebihan," ujarku, setengah bercanda.
"Berlebihan? Tidak juga," timpal Mama sambil bersandar. "Mama malah berharap bisa segera menimang cucu dari Ariel."
Ucapan itu membuatku terkekeh pelan, meski tak bisa kusangkal ada rasa hangat yang menjalar di dadaku. Aku melirik Mama, menimpali dengan nada menggoda, "Berapa cucu yang Mama mau?"
Papa yang duduk di depan ikut menyahut, suaranya ceria, "Sebanyak yang Ariel sanggup beri! Papa sudah tidak sabar ingin membawa cucu-cucu itu ke taman hiburan. Pasti seru!"
Taman hiburan? Kata itu seketika membawaku pada bayangan Sherly. Aku tahu dia berada di sana bersama ibunya hari ini. Entah kenapa, aku tiba-tiba bisa membayangkan diriku ada di sana bersamanya. Membayangkan senyumnya, tawa ringannya saat menikmati wahana, atau mungkin sekadar berjalan berdampingan di bawah langit yang cerah.
Pikiranku melayang, membentuk skenario-skenario yang seharusnya hanya ada dalam mimpi. Tapi sebelum aku tenggelam lebih jauh, aku menyadarkan diri.
Aku tahu batasku. Dan meski senyum itu masih tersungging di bibirku, aku tahu di baliknya tersimpan perasaan yang tidak pernah benar-benar sederhana.
"Pak Agus kita mampir beli minuman dulu, ya," ujar Papa tiba-tiba, membuyarkan lamunanku. Aku tertawa kecil, merasa bersyukur bahwa momen seperti ini—bersama keluargaku, membayangkan hal-hal indah—masih bisa kualami di tengah semua keterbatasanku.
Tapi di dalam hati, nama Sherly tetap terukir, mengiringi detak jantungku dengan tenang.
***
POV Sherly
Aku duduk di kursi bianglala, tepat di samping Ibu, tapi pikiranku melayang jauh dari suasana taman hiburan yang penuh warna ini. Ponselku tergenggam erat, menunggu satu hal sederhana: balasan dari Pak Ariel. Pesanku sudah centang biru. Sudah cukup lama, tapi belum ada jawaban.
Apa aku salah bertanya? Apakah pertanyaanku tentang kontrol tadi terasa terlalu pribadi? Dadaku mulai terasa sesak. Aku menunduk, memandangi ponsel yang diam, seakan berharap ia berbicara lebih dulu. Angin yang berembus lembut saat bianglala berputar justru terasa hambar. Aku bahkan lupa menikmati pemandangan dari atas.
Setelah turun dari bianglala, aku melanjutkan langkahku bersama Ibu. Kami sepakat menaiki wahana bebek air. Aku mendayung pelan, sementara Ibu duduk santai di sampingku, menikmati suasana. Tapi aku? Aku tidak benar-benar di sini. Semua pikiranku tertuju pada ponselku yang tergeletak di atas pangkuan.
Tiba-tiba layar ponselku menyala. Hatiku seketika berdebar. Nama Pak Ariel muncul di layar. Kubuka pesan itu tanpa menunggu.
"Waalaikum salam, Alhamdulillah, tadi kontrolnya lancar. Kamu bagaimana di sana? Pasti sedang bersenang-senang ya?"
Mataku terpaku pada layar. Chat itu terasa... berbeda. Ada nada yang lebih personal, lebih hangat dari biasanya. Untuk beberapa saat, aku hanya menatap pesan itu, mencerna setiap katanya.
Aku menghela napas panjang, mencoba meredakan debar di dadaku. Aku harus membalas, tapi bagaimana caranya? Haruskah aku bersikap santai, atau tetap menjaga batas formal sebagai bawahan? Aku tidak ingin membuat kesalahan lagi.
Akhirnya, kutulis pesan yang paling jujur.
"Alhamdulillah saya juga baik, Pak. Tidak juga, Pak, di sini sangat ramai, saya tidak terlalu suka keramaian."
Kukirim pesan itu, lalu menunggu. Kali ini balasannya tidak lama.
"Kalau begitu mungkin kita bisa pergi lagi ke tempat yang mirip dengan wisata alam hutan pinus waktu itu."
Aku menatap layar dengan bingung, tapi sekaligus merasa... senang. Pak Ariel mengingat momen itu? Aku mendapati diriku tersenyum tipis, meski tidak yakin bagaimana harus menanggapi pesannya.
Baru aku akan mengetik balasan, suara Juan terdengar dari tepi kolam. "Sherly! Ayo, sudah waktunya makan siang!"
Aku menoleh ke arahnya dan mengangguk. Dengan tergesa-gesa, aku mengetik balasan terakhir untuk Pak Ariel.
"Insha Allah, Pak. Maaf, Pak, saya mau makan siang dulu. Semoga segera pulih, Pak Ariel."
Pesan terkirim. Aku menyimpan ponsel ke dalam tas, lalu melangkah menuju restoran bersama Juan. Tapi langkahku terasa lebih ringan, seperti ada sesuatu yang baru saja mencerahkan hatiku.
***
Selesai makan siang, aku kembali duduk di meja, memainkan sedotan di gelasku yang tinggal separuh isinya. Juan dan Nayla sedang sibuk bercanda dengan Ibu dan Tante Lina. Suasana restoran ini ramai, tapi rasanya suara mereka hanya seperti dengung latar yang tak terlalu kupedulikan.
Kusentuh ponselku, memeriksa notifikasi. Ada satu chat baru. Pak Ariel. Aku buru-buru membukanya.
"Aamiin, terima kasih Sherly, semoga kamu juga selalu sehat di sana."
Aku menatap layar ponsel, membaca pesan itu berulang kali. Kata-katanya sederhana, tapi terasa... lembut. Entah bagaimana, seperti ada kehangatan yang meresap dari kalimat itu. Seolah-olah dia benar-benar di sini, duduk di dekatku, berbicara dengan suara rendah yang menenangkan.
Perasaan hangat itu bertahan, meskipun aku mencoba menyembunyikannya di balik ekspresi biasa. Aku menyimpan ponsel ke dalam tas, lalu memandang ke arah luar restoran. Orang-orang berlalu lalang dengan senyum dan tawa, menikmati taman hiburan ini.
Namun, perasaan bahagiaku tidak berasal dari tempat ini. Tidak dari wahana yang kuanggap biasa-biasa saja. Tidak juga dari obrolan ramai di sekitarku. Kebahagiaan itu berasal dari seseorang yang bahkan tidak ada di sini.
Pak Ariel.
Namanya berputar di kepalaku, membawa ingatan pada setiap kata yang dia tulis. Aku tahu ini seharusnya hanya obrolan ringan antara atasan dan bawahan. Tapi, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat pesan-pesan darinya terasa begitu berarti.
Aku tersenyum kecil, mencoba mengalihkan pikiran, tapi tetap saja, ada harapan yang terus tumbuh di dalam hati. Aku bahkan tak tahu harapan apa itu sebenarnya. Yang aku tahu, pesan singkat darinya telah membuat hariku terasa lebih indah.
***