POV Sherly
Taman hiburan hari itu penuh dengan suara tawa anak-anak, gemuruh wahana yang berputar, dan sesekali teriakan pengunjung yang terdengar dari kejauhan. Suasana ramai namun hangat, seolah memancarkan energi bahagia yang mengalir ke setiap sudut. Aku melirik ibu, yang terlihat nyaman berbincang dengan ibu Juan. Dari caranya tertawa dan sesekali menepuk tangan, mereka tampak sefrekuensi, bahkan baru saja bertemu.
Sementara itu, Nayla, adik perempuan Juan yang ceria, mengalihkan pandanganku. Matanya yang berbinar langsung tertuju pada roller coaster di kejauhan. Raut wajahnya penuh semangat, seperti anak kecil yang ingin sekali mendapat mainan baru. "Bang Juan, ayo kita naik itu!" pintanya sambil mengguncang lengan Juan.
Juan, dengan senyum nakalnya, hanya menggeleng pelan. "Enggak, Nay. Cari yang lain aja," jawabnya, tenang tapi tegas. Nayla langsung memasang wajah cemberut, mulutnya mengerucut seperti anak kecil yang tak diberi permen. Aku hampir tertawa melihat tingkahnya, tapi kemudian Nayla berbalik menatapku.
"Kak Sherly, temenin aku dong," pintanya, nada manjanya terdengar jelas. "Please, ya?"
Aku paling tidak bisa menolak permintaan dengan cara seperti itu. Aku mengangguk, nyaris tanpa pikir panjang, dan Nayla langsung bersorak riang. Kami pun berjalan menuju antrian roller coaster, meninggalkan Juan bersama ibu-ibu kami.
Saat kami mengantri, aku mencoba mencairkan suasana. "Nayla, kamu kuliah di mana?" tanyaku, mencoba membuka obrolan.
"Psikologi, Kak," jawabnya sambil tersenyum bangga.
Aku tertegun sejenak. Psikologi? Instingku langsung berbicara. "Psikologi? Karena Bang Juan, ya?" tanyaku, nada suaraku lebih rendah, hampir seperti bisikan.
Nayla tiba-tiba berhenti tersenyum. Dia menatapku dengan mata membulat, seolah tidak percaya. "Kak Sherly tahu soal itu?" tanyanya, suaranya pelan namun penuh keterkejutan.
Aku mengangguk kecil. "Dia pernah cerita sedikit. Tidak banyak, tapi aku tahu dia punya gangguan kecemasan."
Nayla tampak ragu sesaat, lalu menarik napas panjang. "Abang enggak pernah cerita ke orang lain kecuali yang dia percaya. Kalau dia cerita ke Kak Sherly... itu berarti Kak Sherly termasuk orang yang spesial buat dia."
Aku terdiam. Rasa hangat aneh mengalir di dadaku mendengar kata-kata Nayla. Namun, sebelum aku sempat merespons, Nayla melanjutkan.
"Jadi gini, Kak. Dulu waktu kami masih kecil, Ayah baru pulang dari tugas di pasukan perdamaian. Ayah sempat mengalami trauma berat. Dia sering marah-marah, bahkan enggak jarang... memukul. Bang Juan waktu itu masih 13 tahun. Tapi dia selalu bilang kalau dia sanggup menahan semuanya, asal Ayah enggak menyakiti aku atau Ibu."
Aku tercekat mendengar ceritanya. Nayla terus bercerita, suaranya lirih tapi jelas. "Setelah bertahun-tahun, Ayah akhirnya mulai sembuh. Tapi bekas luka di hati Abang enggak hilang begitu saja. Dia selalu mencoba kelihatan kuat, Kak, tapi aku tahu dia masih sering kesulitan mengendalikan rasa cemasnya."
Aku melihat mata Nayla mulai berkaca-kaca. Dia mengedip cepat, berusaha menahan air matanya. "Aku masuk psikologi, Kak, karena aku ingin lebih mengerti apa yang dia alami. Aku pengin bantu Abang."
Hatiku terasa berat mendengar cerita itu. Juan, dengan segala sikap tenangnya, ternyata memikul beban yang begitu besar. Rasanya tidak adil dia harus terus membawa luka itu sampai sekarang.
Saat akhirnya kami naik ke roller coaster, aku mencoba mengalihkan pikiranku. Tapi sia-sia. Perasaan campur aduk terus menghantui. Ketika kereta mulai bergerak, dan angin dingin menerpa wajahku, aku hanya bisa memikirkan Juan.
Juan, dengan senyum sabarnya. Dengan tatapan matanya yang sering terlihat penuh beban. Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan untuknya. Tapi, untuk pertama kalinya, aku merasa ingin menjadi seseorang yang bisa dia andalkan. Bukan hanya sebagai teman, tapi seseorang yang benar-benar membuatnya merasa aman, tanpa perlu menyembunyikan apa pun.
Saat roller coaster melaju turun dengan kecepatan penuh, perutku terasa berputar, tapi hatiku bergetar karena alasan yang berbeda. Rasanya... aku ingin melihat Juan sembuh. Aku ingin dia bahagia, tanpa bayangan masa lalu yang terus menghantuinya. Bukankah dia juga berhak untuk itu?
***
Aku berjalan pelan keluar dari wahana roller coaster, perutku sedikit mual meskipun aku tahu ini bukan pertama kalinya aku menaiki permainan seperti ini. Di sebelahku, Nayla tampak penuh semangat. Ia terus bercerita tentang pengalaman barusan, tangannya bergerak-gerak heboh sambil tertawa kecil. Aku berusaha mendengarkan, tapi setengah pikiranku terpecah ke arah lain.
Mataku tertuju pada Juan yang berdiri agak jauh, sibuk mengambil foto ibu-ibunya di komidi putar. Cahaya matahari siang menyinari wajahnya, menonjolkan senyum ceria yang tampak begitu alami. Aku memperhatikan dia cukup lama, menyadari sesuatu yang baru. Juan... dia seperti seseorang yang berusaha menyebarkan kebahagiaan kepada semua orang, tetapi bukan untuk dirinya sendiri.
Pikiranku memutar ulang ingatan tentangnya. Juan selalu tampak kuat, dengan senyuman yang seolah tak pernah pudar, tetapi kini aku tahu ada luka di balik itu. Luka yang ia sembunyikan dengan sangat baik. Bagaimana bisa seseorang yang membawa beban seperti itu tetap berusaha menjadi terang untuk orang lain? Aku tiba-tiba merasa kagum—dan sedih pada saat yang sama.
Saat aku hampir mendekatinya, sebuah teriakan bocah terdengar. "Balonku! Balonku terbang!" Refleks, aku menoleh ke arah suara itu. Tapi pandanganku justru terhenti pada sosok pria berkacamata yang berdiri di dekat pohon, membelakangi arahku. Ada sesuatu tentangnya—tentang punggung tegap itu dan kacamata yang ia kenakan—yang langsung menarikku ke pikiran tentang Pak Ariel.
Dadaku terasa sesak, rindu itu menyeruak begitu saja, tanpa permisi. Aku menunduk, mencoba mengalihkan perhatian, tapi rasanya semakin sulit untuk melupakan apa yang muncul di kepalaku. Aku melihat ke jam tangan. Jika perkiraanku benar, sekarang pasti ia sedang menyelesaikan kontrol rutin di rumah sakit. Atau mungkin... sudah selesai dan ia sedang istirahat.
Di detik itu, keinginan untuk menghubunginya tumbuh begitu kuat. Rasanya aneh, tapi aku ingin tahu kabarnya—mungkin hanya untuk memastikan dia baik-baik saja. Namun, logikaku cepat memotong keinginan itu. Aku ini hanya bawahannya. Tidak sopan rasanya jika aku mengirim pesan di luar urusan kerja.
Tapi hati kecilku berbisik lain. Seakan mengabaikan semua logika, aku mengeluarkan ponsel dari tas kecilku. Jempolku berhenti di atas layar, menimbang-nimbang kata-kata yang sebaiknya kutulis. Aku ingin terdengar wajar, tidak berlebihan, tapi juga tidak kaku. Apa yang harus kutanyakan? Bagaimana menutupi niatku yang sebenarnya?
Setelah beberapa detik berpikir, aku akhirnya mengetik sesuatu. Assalamualaikum, Pak. Bagaimana kontrolnya? Apakah lancar? Pesan itu singkat, lugas, dan aku harap tidak menimbulkan kesan yang salah.
Kupandangi layar sejenak sebelum menekan tombol kirim. "Apakah aku terlalu berlebihan?" gumamku pelan. Tapi sebelum aku sempat berubah pikiran, jari-jariku sudah bergerak sendiri, mengirim pesan itu.
Aku menarik napas panjang, menggenggam ponsel erat-erat sambil menunggu. Hatiku berdebar lebih cepat dari biasanya, seolah aku baru saja melakukan sesuatu yang melanggar aturan tak tertulis. Apa dia akan membalas? Apa dia menganggapku aneh? Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku, dan aku hanya bisa menunggu dengan perasaan campur aduk.
***