Bimbang

POV Sherly

Perjalanan pulang sore itu terasa sedikit berbeda dari biasanya. Pak Ariel, yang biasanya duduk di depan bersama Pak Agus, memilih duduk di sampingku di kursi belakang. Aku bisa merasakan jarak yang begitu dekat di antara kami, namun ada dinding tak kasat mata yang terus membatasi kami.

"Besok sudah weekend," ucapnya, memulai percakapan dengan nada santai. "Kamu ada rencana apa, Sher?"

Aku sempat tertegun. Mengapa Pak Ariel tiba-tiba menanyakan hal ini? Apakah dia tahu sesuatu? Ataukah ini hanya sekadar basa-basi? Pikiranku melayang sejenak sebelum aku berhasil menyusun jawaban.

"Saya ada rencana pergi bersama Ibu ke taman hiburan," jawabku. Itu bukan kebohongan, tapi tetap saja rasanya ada yang kusembunyikan.

Pak Ariel mengangguk pelan, lalu tersenyum kecil. "Bagus kalau begitu. Senang mendengar kamu punya waktu untuk bersantai." Nada suaranya terdengar tulus, tapi entah kenapa aku merasa tidak nyaman. Rasa bersalah menyelinap di hatiku.

Aku buru-buru berusaha mengalihkan fokus pembicaraan. "Kalau Pak Ariel sendiri? Ada rencana apa?"

Dia mendesah kecil, lalu menjawab dengan nada ringan, tapi aku bisa merasakan ada beban di balik suaranya. "Besok saya ada jadwal kontrol ke rumah sakit. Sepertinya akhir pekan saya ya begitu-begitu saja." Dia tertawa kecil, namun tawa itu tidak benar-benar sampai ke matanya. "Kadang saya pikir, kapan ya saya bisa benar-benar libur seperti orang lain."

Dadaku terasa sesak mendengarnya. Kata-katanya sederhana, tapi menusuk hingga ke inti perasaanku. Aku merasa begitu egois. Bagaimana bisa aku membicarakan rencana liburanku, sementara dia harus berurusan dengan rumah sakit? Apa yang sebenarnya aku pikirkan?

Tanpa sadar, aku mengucapkan permintaan maaf. "Pak Ariel... maaf."

Dia menatapku, tampak bingung. "Kenapa minta maaf, Sher?"

Aku sendiri tidak tahu harus menjawab apa. "Ehm, ya, nggak tahu. Pokoknya maaf saja," jawabku sambil memaksakan senyum dan berusaha mengganti topik. "Kalau gitu, sekarang gimana kondisinya, Pak? Apa sudah membaik?"

Ekspresinya melembut. Dia menatapku dengan cara yang membuatku merasa hangat sekaligus... nyaman. "Luka operasinya sudah mulai mengering," katanya perlahan. "Tapi saya masih belum benar-benar pulih. Ada kalanya saya merasa... lelah. Tapi ya, apa boleh buat."

Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Aku hanya diam, membiarkan kata-katanya bergema di ruang kecil itu.

Lalu, dengan nada yang lebih lembut, dia melanjutkan, "Sher, kalau suatu saat saya butuh bantuan, kamu mau kan... ada di samping saya?"

Permintaannya sederhana, tapi cara dia mengatakannya terasa begitu jujur, begitu tulus. Aku bisa merasakan sesuatu dalam dirinya—seolah ada dinding yang perlahan retak dan mulai runtuh. Itu adalah sisi Pak Ariel yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Tanpa berpikir panjang, aku menjawab, "Tentu saja, Pak. Saya akan selalu siap membantu. Jangan khawatir soal itu."

Dia tersenyum kecil, dan untuk pertama kalinya aku melihat ekspresi lega yang begitu nyata di wajahnya. Rasanya... aneh. Di satu sisi, aku merasa senang bisa memberikan ketenangan padanya. Tapi di sisi lain, aku merasa seperti sedang menyentuh sesuatu yang rapuh, sesuatu yang dia coba lindungi selama ini.

Dan saat mobil terus melaju melewati lampu-lampu kota yang mulai menyala, aku hanya bisa berharap bahwa aku memang benar-benar bisa menjadi seseorang yang dia butuhkan, kapan pun itu.

***

Makan malam bersama Ibu berlangsung seperti biasa—tenang dan sederhana, hanya kami berdua di meja makan kecil yang sudah menjadi tempat banyak percakapan ringan selama bertahun-tahun. Tapi malam ini, kepalaku terasa berat oleh pertanyaan yang terus berputar. Haruskah aku benar-benar pergi besok? Rasanya semakin lama aku memikirkannya, semakin besar keraguanku. Juan memang mengajakku dengan niat baik, tapi mengapa aku merasa seperti telah mengkhianati sesuatu, atau… seseorang?

Aku menundukkan kepala, memainkan ujung sendokku tanpa selera untuk melanjutkan makanan. Pikiran tentang Pak Ariel kembali muncul. Senyumnya yang teduh, tawa pahitnya, dan permintaan sederhananya tadi di mobil—semua itu seperti mengisi celah yang sebelumnya kosong dalam diriku. Namun di sisi lain, aku merasa tidak seharusnya terikat, apalagi merasa bersalah atas keputusan kecil seperti ini. Tapi tetap saja, perasaan itu ada di sana, menancap tanpa permisi.

"Gimana di kantor hari ini, Sher?" Suara Ibu membawaku kembali ke dunia nyata.

Aku mendongak, mencoba mencari jawaban yang paling umum. "Baik, Bu. Ya… cukup sibuk seperti biasa," jawabku dengan senyum tipis, meski hatiku masih bergelut dengan pertanyaan yang sama.

Ibu hanya mengangguk dan berdiri, menuju kamarnya tanpa mengatakan apa-apa lagi. Aku mengira percakapan kami sudah selesai, tapi tidak lama kemudian, beliau kembali dengan membawa sesuatu di tangannya—sebuah map cokelat yang tampak tua.

"Ini dokumen tentang kakek Darman," ujar Ibu sambil menyerahkan map itu padaku.

Aku menerimanya dengan rasa ingin tahu yang perlahan menggantikan kegelisahanku. Membuka map itu, aku langsung disambut oleh beberapa lembar dokumen dan foto-foto hitam putih. Salah satu fotonya menampilkan seorang pria dengan postur tinggi, wajahnya panjang, dan rahang yang tegas. Aku memiringkan kepala, memperhatikan lebih dalam. Ada sesuatu yang… berbeda.

"Kakek… ini seperti punya darah Eropa, ya, Bu?" tanyaku pelan, masih menatap foto itu.

Ibu duduk di sampingku, ikut mengamati. "Hm, iya juga. Rahangnya, ya? Dan tubuhnya yang tinggi," jawabnya setelah beberapa saat.

Aku mengangguk pelan. Foto itu seakan bercerita tentang masa lalu yang asing, sesuatu yang tidak pernah aku tahu sebelumnya. Aku melanjutkan membaca dokumen-dokumen lain di dalam map—ada surat gadai tanah, dan bahkan surat pernyataan cerai. Rasanya aneh melihat semua itu. Seolah aku sedang membaca kehidupan seseorang yang jauh berbeda dari apa yang aku kenal selama ini.

"Bu, boleh aku simpan dokumen ini?" tanyaku setelah menutup map itu kembali.

Ibu tersenyum kecil, mengangguk. "Ya, simpan saja. Siapa tahu kamu butuh nanti."

Aku membawa map itu ke kamarku, dan begitu sampai di dalam, aku langsung membaringkan diri di tempat tidur sambil memegang map itu di dada. Pikiran tentang Juan, rencana ke taman hiburan, bahkan rasa bersalahku pada Pak Ariel… semua itu menguap. Ada rasa penasaran yang baru muncul, tentang kakekku dan garis keluarga yang selama ini jarang sekali aku pikirkan.

Malam itu, aku tenggelam dalam rasa ingin tahu yang berbeda—sebuah keinginan untuk mengenal siapa sebenarnya diriku, dari mana aku berasal, dan apa yang bisa aku temukan dari masa lalu keluargaku. Semua rencana esok hari terasa jauh, tak lagi sepenting sebelumnya.

***

Pagi itu terasa berat, seperti ada yang menekan dadaku sejak aku membuka mata. Ponsel di meja kecil di samping tempat tidur bergetar, menampilkan nama Juan di layar. Aku sudah menduga ini. Tapi tetap saja, rasanya tidak mudah menghadapi panggilan itu.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Halo, Juan."

"Sher, kamu sudah siap? Aku jemput satu jam lagi, ya?" Suaranya terdengar ceria, penuh semangat yang malah membuatku semakin tidak nyaman.

Kata-kata penolakan sudah ada di ujung lidah, tapi sesuatu menghentikanku. Gangguan kecemasan Juan. Aku tahu bagaimana dia selalu berusaha keras untuk terlihat baik-baik saja, bagaimana dia membutuhkan stabilitas dalam setiap interaksinya. Kalau aku menolak sekarang, mungkin itu akan menyakitinya lebih dari yang kubayangkan.

"Hmm, Juan… kemarin aku belum sempat bilang ke Ibu tentang rencananya," jawabku, memilih kata-kata dengan hati-hati. "Aku akan coba bicara dengan Ibu sekarang, nanti aku kabari lagi, ya?"

Juan terdiam sebentar sebelum menjawab. "Oke, nggak apa-apa. Aku tunggu kabarmu, Sher." Suaranya masih terdengar antusias, dan itu membuatku merasa semakin bersalah.

Setelah panggilan itu berakhir, aku hanya duduk di tepi tempat tidur, memandangi ponsel di tanganku. Rasanya seperti ada perang kecil di dalam diriku—antara ingin menolak dengan tegas atau mencoba untuk memenuhi ajakan Juan demi menjaga perasaannya.

Dengan langkah pelan, aku keluar kamar, mencari Ibu yang sedang membuka pintu rolling warung di depan rumah. Pagi ini udara masih sejuk, tapi pikiranku terasa penuh sesak.

"Ibu…" panggilku ragu.

Ibu menoleh, tersenyum seperti biasa. "Ada apa, Sher?"

Aku mendekat, mencoba merangkai kalimat. "Tadi malam Juan ngajak aku dan Ibu buat pergi ke taman hiburan. Dia juga bilang ibunya sama adiknya ikut. Gimana, Bu? Ibu mau nggak?"

Ibu langsung tampak antusias. "Wah, ke taman hiburan? Kapan? Hari ini?"

Aku mengangguk, merasa jantungku semakin berat. "Iya, Bu. Hari ini."

Tanpa ragu, Ibu menjawab, "Ya mau lah. Kapan lagi kita bisa jalan-jalan begini, Sher?"

Melihat responsnya, aku tahu aku tidak bisa menolak lagi. Senyum Ibu membuatku sadar bahwa mungkin aku terlalu memikirkan segalanya. Juan hanya ingin bersenang-senang, Ibu juga senang. Lalu kenapa aku merasa bersalah?

Tapi ingatan tentang Pak Ariel kembali menyelinap, mengingatkan bahwa dia akan berada di rumah sakit hari ini untuk kontrol. Aku menghela napas panjang. Apa yang sebenarnya sedang aku lakukan?

Aku kembali ke kamar dan segera menghubungi Juan. "Juan, aku ikut. Aku akan siap-siap sekarang."

Suaranya langsung berubah lebih ceria. "Serius, Sher? Wah, aku senang banget dengarnya. Aku jemput ya, satu jam lagi!"

Aku hanya bisa tersenyum tipis, meski Juan tidak bisa melihatnya. "Iya, aku siap-siap dulu."

Setelah menutup telepon, aku berdiri di depan cermin di kamarku. Refleksi diriku sendiri menatap balik, dengan ekspresi yang tidak bisa kugambarkan. Ada senyum tipis yang dipaksakan, ada tatapan mata yang penuh keraguan.

"Sherly, kamu benar-benar yakin dengan keputusan ini?" bisikku pada diriku sendiri.

Tidak ada jawaban, hanya hembusan napas panjang yang mengiringi langkahku menuju lemari pakaian. Saat aku memilih baju untuk dikenakan, bayangan Pak Ariel dan senyumnya yang teduh tadi malam tetap memenuhi pikiranku. Aku berharap hari ini berjalan baik, meskipun ada bagian dalam diriku yang merasa sedikit tersesat.

***