POV Sherly
Pintu ruangan itu terbuka dengan suara beep singkat, menandakan akses ID card digunakan. Aku menegakkan punggung secara refleks, jemariku berhenti di atas keyboard. Dan seperti dugaanku—Ibu Kirana lagi.
"Halo, Bu Risti!" sapanya ceria, dengan senyum khas yang selalu ia bawa ke mana-mana. Nada suaranya ramah dan percaya diri, seperti sudah menjadi ciri khas setiap kali beliau datang.
Bu Risti, yang sedang sibuk memilah dokumen, mengangkat kepala dan membalas dengan ramah, "Oh, Ibu Kirana. Selamat siang."
"Good afternoon, Bu," balasnya dengan aksen ringan, senyumnya bertahan hingga langkahnya membawa Ibu Kirana langsung menuju meja Pak Ariel. Langkah yang mantap, dengan ritme yang teratur. Tidak tergesa-gesa, tapi juga tidak terlampau santai. Seolah beliau tahu betul bahwa kedatangannya memang penting.
Aku menarik napas panjang, berusaha menahan rasa tak nyaman yang kembali menjalar. Entah kenapa, setiap kali beliau muncul, ruangan ini terasa lebih sempit dari biasanya.
"Pak Ariel, ini saya bawa revisi anggaran proyek yang kemarin kita bicarakan," katanya sambil mengeluarkan berkas dari tangannya dan meletakkannya di atas meja Pak Ariel.
Pak Ariel, yang sedari tadi fokus pada laptopnya, menoleh dan tersenyum tipis. "Oh, baik, Bu Kirana. Silakan duduk."
Kenapa harus selalu duduk? Batinku getir sambil menatap layar monitor yang isinya mulai tak jelas lagi bagiku.
Kursi di samping meja Pak Ariel bergeser pelan. Dari ujung mataku, kulihat Ibu Kirana duduk dengan anggun, rapi, dan profesional. Tatapannya fokus, suaranya jelas, tapi entah bagaimana, sering sekali tatapannya melesat ke arahku. Hanya sepersekian detik, cukup cepat untuk terlewatkan oleh Pak Ariel, tapi aku tahu.
"Pak, I've reviewed the cost breakdown in point four. Ada potensi penghematan besar if we renegotiate with the vendor," katanya sambil menunjuk detail dalam berkas itu.
Pak Ariel tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Menarik, Bu Kirana. Ini bisa jadi solusi. Nanti kita coba bicarakan dengan tim procurement."
Lalu Ibu Kirana tertawa kecil. Sebuah tawa yang bagiku terdengar… tidak perlu. "Exactly, Pak. Kalau tidak, budget-nya bisa overrun, and I don't think you'd want that kind of report to reach the directors, right?"
Pak Ariel ikut tersenyum samar, seolah terbawa suasana ringan yang dibangun oleh Ibu Kirana. "You're right. Baik, nanti kita koordinasikan."
Aku berdeham kecil, pura-pura sibuk mengetik sesuatu di layar, padahal telingaku tak bisa tidak mendengar percakapan mereka. Bukannya curiga, tapi kenapa harus intens seperti ini? Sejak kapan revisi anggaran jadi perlu diskusi hampir setiap hari?
Mataku melirik jam di sudut layar laptop. Sudah hampir satu minggu kehadiran Ibu Kirana terasa seperti acara wajib yang tak terhindarkan. Kalau begini terus, bisa-bisa mereka jadi rekan duet paling kompak di kantor ini—dan bukan cuma soal pekerjaan.
Aku berusaha fokus pada pekerjaanku, meski dalam hati rasanya sudah ingin mengangkat tangan dan berkata, "Bu Kirana, saya bisa bantu kok. Biar saya saja yang bolak-balik ke sini bawa revisi proyeknya." Tapi tentu saja, aku tidak mungkin melakukan itu. Aku bukan siapa-siapa untuk bicara seperti itu.
"Kalau begitu, nanti sore saya koordinasikan lagi, ya, Pak Ariel," suara Ibu Kirana menginterupsi lamunanku. Aku kembali berdeham kecil untuk menyamarkan kekesalan yang mulai naik ke permukaan.
Aku tidak perlu melihat ke arah mereka untuk tahu apa yang terjadi—senyum tipis Pak Ariel, tatapan percaya diri Ibu Kirana, percakapan yang selalu seimbang dan profesional itu. Tapi tetap saja, rasanya tidak adil.
Ketika Ibu Kirana akhirnya berdiri dan menyusun berkasnya lagi, aku berharap kali ini kehadirannya akan singkat. Tapi sebelum keluar, dia masih sempat memutar kepala ke arahku dan menyapa dengan senyum tipis. "Sherly, don't forget the weekly report, okay?"
"Iya, Bu. Segera," jawabku dengan senyum yang kupaksakan.
Pintu tertutup lagi dengan bunyi klik. Ruangan kembali sepi, tapi aku masih merasa keberadaannya belum benar-benar hilang. Tatapannya, senyumnya, semuanya membuatku ingin berteriak, "Saya sudah muak!"
Tapi aku hanya bisa mengembuskan napas panjang, menatap layar laptop kosong, dan berbisik dalam hati—
Sampai kapan ini akan terus terjadi?
***
Aku menarik napas dalam, menahan godaan untuk menoleh ke jam dinding yang menggantung di ujung ruangan. Sudah jam istirahat, dan seperti yang kuduga—tidak ada tanda-tanda Pak Ariel masuk ke ruangannya. Sama sekali. Pagi tadi, saat aku sengaja tidak membawa bekal, ada perasaan puas yang entah dari mana asalnya. Mau makan sendirian? Silakan. Aku bosan jadi orang yang menunggu.
"Cuma bekal doang," gumamku pagi tadi sambil menutup rapat kotak makan kosong di meja dapur. Tidak ada gunanya membawa kalau akhirnya tidak disentuh—lagi.
Setelah sholat Zuhur di mesjid, aku memutuskan langsung menuju kafeteria. Langkahku mantap, tidak terganggu pikiran apakah Pak Ariel ikut sholat atau tidak. Bukan urusanku. Fokusku hanya satu: makan enak dan memanjakan diri dengan sesuatu yang segar. Hatiku juga butuh itu, bukan cuma tubuhku.
Kafeteria siang ini cukup ramai. Antrean sudah memanjang, tapi aku memilih berdiri di sana, sabar menunggu giliranku. Dari balik suara obrolan pelan dan suara alat masak, aroma parfum dengan jejak rempah-rempah tiba-tiba menyentak hidungku. Seperti sebuah alarm halus, memicu memori yang pernah ada. Aku menegang sejenak, berusaha menepis pikiran yang tiba-tiba muncul—nama yang sangat kukenal.
"Sherly?"
Benar saja.
Aku menoleh perlahan, berhadapan langsung dengan senyuman lebar Juan yang tampak begitu senang melihatku. Matanya berbinar seperti seseorang yang menemukan sesuatu berharga di tengah keramaian.
"Hai, Sherly! Sendirian?" tanyanya antusias.
Aku mengangguk, sedikit tersenyum, berusaha menyembunyikan kelegaan aneh yang muncul di dada. Kehadirannya rasanya seperti sebuah pelarian yang kuperlukan—tidak kusangka, tapi sangat kubutuhkan.
"Makan bareng, yuk?" lanjutnya tanpa menunggu jawabanku.
Aku mengangguk lagi, kali ini lebih cepat. "Boleh."
Entah kenapa, tidak ada penolakan dalam pikiranku. Aku butuh teman—bukan seseorang yang membuatku terus menunggu tanpa kepastian.
***
Kami duduk di sudut kafeteria yang agak sepi. Juan mengobrol seperti biasanya: hangat, terbuka, dengan caranya yang selalu berusaha membuatku nyaman. Hari ini, tidak seperti biasanya, aku benar-benar mendengarkannya. Juan bercerita tentang betapa sibuknya ia minggu ini, tentang ibunya yang memintanya pulang lebih cepat, tentang rencana akhir pekan untuk "kabur sebentar dari rutinitas".
"Kamu harus ikut, Sher. Ajak ibumu juga, sekalian healing," ucap Juan dengan nada santai, tapi matanya memancarkan harapan.
Aku menatapnya sejenak, mencoba memproses ajakannya. Ke tempat hiburan bersama keluarganya? Bukankah itu berarti melibatkan aku lebih jauh? Tapi... kenapa tidak?
"Serius, Sher. Kamu terlalu banyak kerja. Kamu sama ibumu pasti butuh suasana baru."
Aku tersenyum tipis. Tawaran itu tiba-tiba terasa menggiurkan—seolah memberiku celah keluar dari semua perasaan menyesakkan yang akhir-akhir ini menumpuk.
Pak Ariel dan Bu Kirana. Dua nama yang belakangan ini entah kenapa begitu mengganggu pikiranku. Seminggu terakhir, kebersamaan mereka terasa terlalu sering, terlalu nyata. Bahkan jika aku berusaha berpikir positif—bahwa itu hanya urusan pekerjaan—hatiku tetap sulit menerima. Ada rasa tidak nyaman, ada nyeri kecil yang kucoba abaikan, tapi malah makin terasa.
Apa aku yang melebih-lebihkan semuanya? Apa ada yang spesial dari kedekatanku dengan Pak Ariel selama ini? Aku mulai ragu. Aku mulai minder. Bu Kirana adalah wanita yang sempurna—setara dengan Pak Ariel. Aku? Siapa aku?
Mungkin selama ini aku hanya berkhayal.
"Gimana?" Suara Juan memecah lamunanku. "Mau, kan? Besok kita bisa berangkat pagi."
Aku mengangguk. "Iya, sepertinya menarik."
Juan terlihat terkejut, tapi senyumnya langsung melebar. "Beneran? Wah, seru! Ajak ibumu ya, Sher. Nanti ibu dan adikku juga bisa kenalan sama kalian."
Aku mengiyakan tanpa berpikir panjang. Di satu sisi, aku merasa Juan begitu ringan untuk diajak bicara—tidak seperti... seseorang yang bahkan tidak bisa kumengerti maksudnya akhir-akhir ini.
Aku mendengar Juan terus bercerita, tapi sebagian diriku masih bertanya-tanya: apa yang kulakukan ini benar? Tapi mungkin, aku hanya butuh ini. Sebuah momen untuk membebaskan diri dari beban perasaan yang selama ini kutahan. Juan terlihat tulus, dan mungkin... sudah saatnya aku mulai "melihat" ke arahnya.
Mungkin, dia bisa menjadi seseorang yang lebih dari sekadar teman.
***