Ponsel Kedua

POV Sherly

Aku melangkah kembali ke ruangan dengan langkah yang lebih ringan setelah mencuci muka di kamar mandi. Air dingin berhasil meredakan sebagian gumpalan aneh di hatiku, meski tidak sepenuhnya hilang. Pintu ruanganku sudah terbuka, dan dari jauh aku bisa melihat Pak Ariel duduk di meja kerjanya.

Tapi ada yang… berbeda.

Pak Ariel terlihat fokus mengetik sesuatu di ponselnya—bukan ponsel biasa yang sering kulihat. Warnanya hitam polos, lebih kecil dari ponsel utama yang selalu ia letakkan di atas meja. Aku berusaha tidak memikirkan apa-apa, sampai saat aku melangkah di dekat mejanya, pandanganku sekilas menangkap bagaimana raut wajah Pak Ariel berubah. Panik.

Tiba-tiba saja, dengan gerakan terburu-buru, beliau menyembunyikan ponsel itu ke laci mejanya. Hampir refleks, aku memperlambat langkahku. Apa itu? Ponsel kedua? Sejujurnya, bukan hal aneh jika seseorang punya lebih dari satu ponsel. Aku juga sering melihat rekan-rekan lain menggunakan dua ponsel untuk urusan pribadi dan pekerjaan.

Tapi… kenapa Pak Ariel tampak panik?

Sebuah tanda tanya besar berputar di pikiranku seketika. Sebenarnya aku ingin sekali bertanya, "Kenapa disembunyikan, Pak?" tapi lidahku mendadak kelu. Lagipula, siapa aku sampai bisa mempertanyakan apa-apa soal Pak Ariel? Itu kan hak pribadinya. Namun, tetap saja, semakin aku berusaha menepis rasa penasaran ini, semakin kuat justru ia melekat di benakku.

Aku duduk kembali di kursiku sambil menjangkau ponselku yang tadi kuisi daya. Tapi sebelum sempat kuambil, suara Pak Ariel memecah lamunanku.

"Sherly, sini sebentar." Nada suaranya tegas, tapi ada sesuatu di baliknya—mungkin sekadar formalitas biasa, atau entahlah. Aku menoleh cepat dan menemukan tatapannya sudah tertuju padaku.

Aku bangkit dari kursiku dan berjalan mendekat. Di mejanya, sebuah laporan terbuka di layar laptop. "Ini…" katanya sambil menunjuk grafik di halaman itu, "menurut kamu, ada bagian yang perlu kita revisi nggak? Saya rasa bagian ini masih kurang solid."

Aku berdiri di sampingnya, menunduk untuk melihat lebih dekat. Laporan, angka, grafik—hal-hal biasa yang kami diskusikan setiap hari. Aku memaksakan pikiranku untuk fokus pada laporan itu, meski pikiranku melayang ke momen aneh barusan.

Tadi, ketika aku masuk, Pak Ariel terlihat sibuk dengan ponsel misteriusnya, lalu buru-buru menyembunyikannya. Apa yang sebenarnya ia sembunyikan? Dan kenapa ia mendadak ingin mendiskusikan laporan ini seakan-akan sedang mencoba mengalihkan sesuatu?

Aku berusaha menenangkan pikiranku. Ini cuma perasaanku saja. Beliau tetap terlihat seperti biasa—tenang, profesional, fokus. Tapi aku merasa ada yang berubah. Entah apa.

"Sherly?" Suaranya kembali membuyarkan lamunanku.

"Oh, iya, Pak. Saya lihat dulu ya bagian ini…" Aku buru-buru menatap layar dengan lebih serius. Mataku menelusuri grafik, mencoba mencerna angka-angka di sana, tapi jauh di dalam kepalaku, satu pertanyaan terus berputar:

Apa yang tadi Pak Ariel sembunyikan?

***

Suara deru mesin mobil dan alunan musik lembut dari radio menemani perjalanan pulang sore ini. Aku duduk di kursi belakang, sementara Pak Ariel duduk di samping Pak Agus, sopir pribadinya, yang selalu mengantar kami ke mana-mana. Pak Ariel memang jarang membawa mobil sendiri, dan entah kenapa hari ini beliau memilih duduk di depan, mungkin karena ingin mengobrol dengan Pak Agus seperti biasanya.

Aku menyandarkan kepala ke jendela, berusaha menikmati perjalanan sambil membiarkan pikiranku kosong. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang terasa sedikit berbeda hari ini. Sejak kejadian di kantor tadi, aku memang mencoba melupakan berbagai tanda tanya kecil yang muncul—tentang ponsel itu, tentang reaksi panik Pak Ariel. Namun, semakin aku mencoba menepis, semakin rasa penasaran itu diam-diam mengintip.

Aku menghela napas panjang, lalu meraih ponselku dari dalam tas. Tidak ada suara dering atau notifikasi baru, aku hanya merasa perlu mengeceknya saja. Layar menyala, menampilkan beberapa notifikasi. Salah satunya dari Dwi—chat yang belum sempat kubaca sejak tadi.

"Hai, Sherly. Kamu baik-baik aja, kan?"

Aku tersenyum tipis membaca pesan itu. Dwi selalu seperti ini, sesekali muncul dengan pesan-pesan singkat yang terasa tulus. Entah bagaimana, meskipun tidak banyak yang kutahu tentang Dwi, percakapan kami selalu membuatku merasa tenang—seperti punya seseorang yang diam-diam memperhatikan dari jauh.

Jariku dengan cepat mengetik balasan sederhana.

"Hai, Dwi! Aku baik-baik aja kok, alhamdulillah. Kamu gimana?"

Kutatap layar sejenak, menunggu tanda 'typing' atau apapun, tapi tidak ada. Mungkin Dwi sedang sibuk atau ada hal lain yang lebih penting. Tidak apa-apa, pikirku. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Aku menyimpan ponsel kembali di pangkuan, menatap ke luar jendela sambil menikmati pemandangan jalanan yang mulai gelap. Dari sudut mataku, kulihat Pak Ariel masih berbincang santai dengan Pak Agus di depan. Wajahnya tampak lebih santai dibandingkan beberapa hari terakhir. Aku ikut tersenyum tipis—saat-saat seperti ini selalu terasa menenangkan, seolah semuanya berjalan dengan baik.

***

Malam itu, saat aku sudah berganti pakaian dan duduk di kamar, tiba-tiba aku ingat balasan chat Dwi. Aku buru-buru meraih ponsel dari atas meja dan mengecek aplikasi chat. Tidak ada balasan sama sekali. Chat terakhirku masih centang dua abu-abu.

Aku menggigit bibir pelan. "Mungkin Dwi sibuk… atau kehabisan paket data?" pikirku mencoba menenangkan diri. Aku tahu Dwi bukan tipe orang yang sering lama membalas chat, tapi siapa tahu? Semua orang punya kesibukannya masing-masing.

Meski sudah mencoba berpikir positif, aku tidak bisa membohongi diri sendiri kalau ada sedikit rasa khawatir. Dwi memang terasa asing—aku tak pernah benar-benar tahu tentangnya selain dari chat yang ia kirimkan. Bahkan pertemuan singkat kami di rumah sakit dulu masih samar di pikiranku. Tapi anehnya, aku selalu merasa Dwi seperti sosok yang bisa dipercaya.

Aku menaruh ponsel ke sisi bantal, lalu berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Pikiranku masih sesekali melayang, antara Dwi yang tak kunjung membalas chat dan kejadian tadi sore di kantor.

Ah, sudahlah… mungkin besok pagi Dwi akan membalas chatku. Lagipula, aku terlalu capek hari ini untuk memikirkan hal-hal yang tak pasti. Aku memejamkan mata, berharap tidur bisa membawa semua keraguan ini pergi.

Tapi jauh di dalam hatiku, entah kenapa ada perasaan aneh yang terus mengganggu.

Langit kamar yang gelap terasa begitu tenang malam ini. Aku memandang ke arah jendela dengan perasaan yang sedikit lebih ringan dari siang tadi. Meski lelah, entah kenapa tubuhku enggan segera terlelap. Mungkin karena masih ada yang terasa menggantung di hati, seperti langit tanpa bintang yang belum juga terbuka sepenuhnya.

Aku menarik selimut hingga ke dada, merapatkan ponsel yang tergeletak di samping bantal. Dalam diam, pikiranku berputar—tentang hari ini, tentang Pak Ariel, tentang bagaimana hatiku merasa aneh tanpa alasan yang jelas. Aku menutup mata sejenak, berusaha melelapkan diri. Tapi sebelum benar-benar tenggelam dalam kantuk, ponselku bergetar pelan.

Sebuah pesan masuk.

Aku membuka mata, menatap layar dengan pandangan setengah sadar. "Nomor baru?" gumamku pelan. Alis sedikit berkerut, rasa penasaran memaksa jemariku segera membuka notifikasi itu.

Sherly, ini aku, Dwi. Ponselku hilang, jadi untuk sementara aku pakai ponsel Mama.

Aku memandang pesan itu lama, memastikan namanya tidak salah kubaca. Dwi? Sejenak aku merasa bingung, lalu cepat-cepat senyumku terbit. Perasaan lega menyelimuti hati—ini dari Dwi. Aku memang menunggu kabarnya sejak tadi sore. Kekhawatiran kecil yang tak beralasan akhirnya runtuh.

Oh, Dwi! Syukurlah kamu baik-baik saja. Aku sempat khawatir. Kamu kehilangannya di mana?

Aku mengetik dengan cepat, jemari terasa ringan. Tak butuh lama, pesan darinya kembali masuk. Percakapan kami mengalir seperti biasanya. Sesederhana bertukar kabar dan bertanya-tanya hal remeh, tapi cukup membuatku merasa seperti ditemani. Ada kenyamanan di setiap jawabannya, meskipun kami hanya saling mengirim kata-kata tanpa suara.

Waktu berlalu tanpa terasa. Setengah jam, mungkin. Aku tidak menghitung. Hingga akhirnya, balasan dari Dwi berhenti. Kutatap layar ponsel beberapa saat, menanti… tapi tak ada lagi tanda centang biru atau getaran kecil.

Aku menyandarkan tubuhku ke bantal, tersenyum tipis. "Dia pasti sudah tidur…" bisikku, mencoba memahami. Dwi pernah bercerita tentang kebiasaannya tidur lebih awal. Pukul sembilan malam, katanya, tubuhnya seperti punya alarm alami yang memaksanya beristirahat. Itu memang waktu yang tidak biasa untuk orang seusia kami, tapi aku mengerti. Kondisinya tidak seperti kebanyakan orang, dan aku tidak pernah mempermasalahkan itu.

"Selamat tidur, Dwi…"

Aku berbisik pelan, meski ia tak mungkin mendengarnya. Perlahan, kurebahkan ponsel di sisi bantal. Perasaanku jauh lebih tenang sekarang, seperti ada sesuatu yang utuh di dalam hati.

Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Malam ini tidak terasa sepi. Ada pesan-pesan sederhana dari Dwi yang menemaniku sebelum terlelap—cukup untuk membuatku tertidur dengan senyum kecil yang masih menggantung di wajah.

Dan dalam keheningan, aku pun tenggelam dalam mimpi yang lembut.

***