POV Sherly
Siang itu terasa seperti ulangan dari hari kemarin. Aku kembali melihat Pak Ariel pergi bersama Bu Kirana, kali ini menuju ruangan divisi IT. Kabarnya, mereka akan memahami sistem lama di sana, mencari kelemahan, dan menetapkan kebutuhan baru untuk proyek besar yang sedang dikerjakan. Aku hanya bisa mengamati dari kejauhan, berpura-pura sibuk dengan dokumen di mejaku, meski sejujurnya perasaanku sedang kacau.
Kenapa aku merasa tidak nyaman setiap kali melihat mereka bersama? Pertanyaan itu terus menghantui pikiranku, seperti awan gelap yang tak mau pergi. Aku mencoba menenangkan diri dengan memikirkan hal lain. Mataku beralih ke kotak bekal makan siang yang masih tertutup di atas meja. Aku ingat bekal kemarin yang aku buat khusus untuk Pak Ariel—akhirnya aku yang memakannya sendiri di sore hari karena dia tak sempat menyentuhnya.
Perasaan itu kembali muncul. Akankah hari ini berakhir sama? Aku menarik napas panjang, mencoba mengusir sesak yang menggumpal di dada, tapi hasilnya nihil. Perasaan ini begitu kuat, seolah mencekamku dari dalam.
Jam istirahat tiba, dan aku memutuskan untuk menunaikan sholat Zuhur berjamaah di masjid perusahaan. Setidaknya di sana aku bisa melarikan diri sejenak dari pikiran yang terlalu berisik ini. Masjid kecil itu mulai dipenuhi oleh karyawan yang juga ingin mengambil jeda di tengah padatnya pekerjaan. Aku menempatkan diriku di barisan tengah, mencoba khusyuk dan fokus pada niat sholatku.
Namun, di tengah suasana khidmat itu, mataku menangkap sosok yang tak asing di saf depan. Pak Ariel.
Dia melaksanakan sholat dengan tenang, wajahnya sedikit pucat seperti biasa, tapi gerakannya tetap anggun dan penuh kesungguhan. Seketika, hatiku bergetar. Ada perasaan hangat yang menyelimuti, perasaan senang hanya karena bisa melihatnya berada di sini.
Kenapa seperti ini? Aku bertemu dengannya hampir setiap hari di kantor, bahkan sering berbicara langsung dengannya. Tapi kenapa hanya dengan melihatnya seperti ini, dari kejauhan, aku merasa berbeda? Ada sesuatu yang sulit aku jelaskan.
Sholat Zuhur selesai, tapi pikiranku masih tak kunjung reda. Dalam hati aku mengucap doa agar perasaan ini tidak mengganggu kewarasanku, agar aku tetap bisa mengontrol diri di hadapan Pak Ariel. Tapi semakin aku mencoba melupakan, semakin perasaan itu melekat erat.
Apa ini yang disebut rindu? Atau hanya sekadar rasa kagum yang berlebihan? Aku benar-benar tidak mengerti.
Aku melipat mukena dengan rapi dan memasukkannya ke dalam tas kecilku. Suasana masjid mulai sepi, orang-orang bergegas ke luar. Aku sempat melirik ke arah tempat wudhu pria, tapi tidak ada tanda-tanda Pak Ariel di sana. Mungkin dia masih berbincang dengan Ibu Kirana, pikirku, mencoba menenangkan diri meski rasa kecewa kecil menyelinap di hatiku.
Aku kembali ke ruanganku dengan langkah pelan, sedikit berharap Pak Ariel sudah ada di sana. Tapi harapan itu pupus begitu aku membuka pintu dan melihat kursinya masih kosong. Lagi-lagi kosong. Aku duduk, membuka bekal makan siangku, dan menatap kotak makan kedua yang masih utuh, rapi seperti saat aku menyiapkannya tadi pagi.
"Kenapa selalu begini?" gumamku pelan sambil mengetukkan ujung sendok ke sisi kotak makan. Aku memaksa tersenyum, mencoba menertawakan diriku sendiri yang, entah kenapa, memasang harapan berlebih pada hal sekecil ini.
Waktu terus berjalan, dan menit-menit menuju akhir istirahat siang terasa semakin menghimpit. Aku tidak benar-benar lapar, tapi aku tahu tubuhku butuh energi untuk sisa hari ini. Kuambil satu sendok makanan dari kotak bekalku, lalu berhenti.
Mataku kembali tertuju pada kotak makan yang lain, yang seharusnya untuk Pak Ariel. Kemarin, aku memakannya sendiri saat sore menjelang. Apakah hari ini akan seperti itu lagi? Rasanya konyol sekali memikirkan hal ini, tapi... aku tidak bisa mengabaikan perasaan yang menggantung di dadaku.
Aku menarik napas dalam, mencoba mengusir perasaan gelisah ini. Tapi usahaku sia-sia. Entah kenapa, aku merasa sedikit... kosong.
Aku kembali memandang kotak makan itu, kini dengan ekspresi ragu. "Apa gunanya aku membuat ini kalau dia tidak akan memakannya?" pikirku, tapi dalam hati, aku tahu jawabannya. Aku hanya ingin membuatnya senang, memberinya perhatian kecil di tengah hari-harinya yang melelahkan.
Namun, Pak Ariel tidak datang. Dan aku, seperti kemarin, terpaksa makan siang sambil mengobrol dengan diriku sendiri. Aku mencoba fokus pada makanan di depanku, tapi tak sekali pun aku merasa puas dengan rasa atau suasana hari ini. Rasanya hambar. Semua terasa... kurang.
POV Ariel
Ketika aku melangkah kembali ke ruanganku sore ini, rasanya seperti pulang ke tempat yang paling menenangkan di tengah hari yang melelahkan. Mataku langsung menangkap Sherly yang duduk di mejanya, sibuk dengan pekerjaannya. Senyuman hangat terukir di wajahku tanpa bisa kutahan. Aku menyapanya, tapi Sherly hanya menoleh sekilas dan membalas dengan nada yang kalem—terlalu kalem, menurutku.
Aku duduk di kursiku, mencoba menarik napas dalam-dalam untuk mengembalikan energiku yang terkuras sepanjang hari. Baru saja aku hendak membuka berkas di mejaku, mataku tertuju pada sebuah bekal yang tertata rapi di meja Sherly. Aku tahu pasti itu bekal yang ia siapkan untukku, seperti kemarin.
"Sherly, itu bekalnya buat saya, kan?" tanyaku, mencoba memulai percakapan.
Namun, reaksinya membuatku tersentak sedikit. Sherly tidak langsung menyerahkannya, malah balik bertanya, "Bapak sudah makan siang tadi?"
Aku mengangguk dengan singkat. "Sudah."
Kalimat selanjutnya dari Sherly keluar dengan nada yang berbeda, lebih dingin dari biasanya. "Bekalnya mungkin sudah terlalu dingin untuk dimakan sekarang. Lagi pula, Bapak kan sudah makan siang. Biar nanti saya saja yang makan bekalnya sendiri."
Aku terdiam, mencoba membaca apa yang sebenarnya dirasakan Sherly. Meski ia tidak menunjukkannya secara langsung, aku tahu ada rasa kecewa di balik kata-katanya. Aku mungkin telah mengecewakannya karena bekal kemarin—dan hari ini—hanya tergeletak begitu saja tanpa aku sempat menyentuhnya.
Aku tahu bagaimana menghadapi situasi seperti ini. Kak Liese sering memperlihatkan ekspresi serupa ketika aku membuatnya kecewa. Aku mendekat ke meja Sherly, membungkukkan badan sedikit hingga wajahku sejajar dengan wajahnya.
"Maaf, Sherly," ucapku dengan tulus. Aku tidak memberikan alasan, tidak mencoba membela diri, hanya menyampaikan permintaan maaf dengan penuh penyesalan.
Sherly yang tadinya terus menatap layar komputer akhirnya menoleh. Tatapan itu menusuk ke dalam hatiku, namun tak lama kemudian ia menghela napas pelan. "Bapak tidak perlu minta maaf, kok," katanya, kali ini dengan senyum kecil yang lembut.
Ia mengambil bekal di mejanya dan menyerahkannya kepadaku. Ada kehangatan di balik gerakan sederhana itu, seolah ia memberikan kesempatan kedua tanpa berkata apa-apa. Aku menerimanya dengan senang hati dan segera membuka tutupnya. Aroma yang keluar membuatku tersenyum lebar.
"Wah, hari ini menunya luar biasa," pujiku sambil menatap Sherly, berharap bisa mencairkan suasana lebih jauh.
Namun, sebelum aku sempat berkata lebih banyak, Sherly tiba-tiba meminta izin untuk ke kamar mandi. Aku hanya bisa mengangguk, meski hatiku penuh tanda tanya.
Tatapanku mengikuti punggungnya yang menjauh. Ada sesuatu yang aneh. Sherly tidak seperti biasanya. Apa aku benar-benar membuatnya marah? Atau ada hal lain yang ia rasakan tapi tidak bisa ia ungkapkan?
Di meja, bekal itu tetap terbuka. Tapi pikiranku kini jauh dari makanan di depanku. Aku hanya ingin tahu—apa yang sebenarnya Sherly rasakan?