Terhubung

POV Ariel

Mobil melaju pelan meninggalkan halaman kantor. Dari kaca jendela, aku sempat melihat Sherly berdiri di depan pintu lobi, masih memandang ke arahku. Aku menutup mata dan menyandarkan kepala pada kursi, tapi bayangannya tetap melekat. Wajahnya tampak khawatir, seperti mencoba menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam.

Aku menghela napas panjang, tapi sesak di dadaku tidak berkurang.

Seperti inikah akhirnya? Aku datang ke kantor dengan harapan bisa bekerja seperti biasa, menjadi seseorang yang bisa diandalkan, bahkan sekadar duduk di ruangan dan mendengar Sherly berbicara. Tapi apa yang kulakukan? Pulang lebih awal, meninggalkan pekerjaan yang belum selesai, meninggalkan Sherly.

Hatiku mencelos. Tubuhku ini... Kenapa kau seperti ini?

Aku mengepalkan tangan, menahan rasa frustasi yang menggelegak di dada. Kenapa tubuh ini tak pernah memberiku kesempatan? Hari ini, aku ingin berbuat lebih, ingin memastikan Sherly merasa nyaman bekerja bersamaku. Aku ingin menjadi tempat ia bisa bergantung. Tapi apa yang terjadi? Aku malah menjadi beban, seperti manusia yang setengah saja hadir.

"Pak, kita langsung ke rumah, ya?" Suara Pak Agus memecah lamunanku.

"Ya," jawabku pendek, hampir seperti bisikan.

Aku kembali memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tapi bayangan Sherly tetap ada di pikiranku. Aku ingat bagaimana ia membantuku tadi, dengan ketulusan yang tak pernah pudar. Aku ingat setiap gerakan kecilnya, suaranya yang lembut ketika menanyakan apakah aku butuh bantuan, bahkan cara ia berdiri di dekat lift—tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk memastikan aku tidak jatuh.

Aku ingin lebih dari itu... Aku ingin ada untukmu, Sherly.

Tapi bagaimana aku bisa? Tubuh ini terus menjadi tembok yang memisahkan kami. Rapuh. Tidak berguna. Tidak layak.

Aku merasakan sesuatu yang panas menyelimuti dadaku, bercampur dengan rasa malu dan kecewa. Aku ingin bisa memberikan lebih, tapi yang bisa kulakukan hanyalah memintanya untuk menolongku, memintanya untuk menunggu... seolah aku hanyalah seseorang yang memanfaatkan kebaikannya.

Kenapa kau harus melihatku seperti ini, Sherly? Kenapa kau harus peduli?

Mobil berhenti di lampu merah, dan aku membuka mata, menatap jalanan yang sibuk di luar. Kehidupan terus berjalan, tidak peduli bagaimana aku terjebak dalam tubuh yang semakin mengkhianatiku.

Apa yang bisa kuperbuat? Bahkan berada di sisinya saja terasa seperti beban yang terlalu berat untuk kubawa. Bagaimana aku bisa mengaku mencintainya jika tubuhku sendiri memaksaku untuk menjauh? Cinta macam apa yang hanya bisa menyakitinya?

Aku menarik napas panjang lagi, mencoba menenangkan pikiran yang semakin kacau. Tapi jawaban atas semua itu tak pernah datang. Yang tersisa hanyalah perasaan kosong—dan penyesalan yang semakin dalam.

***

POV Sherly

Malam itu, setelah menyelesaikan pekerjaanku dan menenangkan diri sejenak, ponselku bergetar. Aku melihat nama Dwi muncul di layar, sebuah nama yang entah bagaimana selalu membawa perasaan campur aduk dalam diriku. Aku mengusap layar untuk membuka chat-nya dan membaca pesan yang baru saja masuk.

Tulisannya langsung membuatku tertegun.

"Sherly, kenapa kamu nggak balas chat-ku terakhir? Aku nggak cerita banyak soal diriku ke kamu, tapi apa itu artinya aku nggak pantas jadi teman kamu? Kamu pernah lihat aku di saat aku bahkan nggak bisa mengenali diriku sendiri, apa itu nggak cukup jadi bentuk kejujuran buat kamu?"

Aku membaca ulang pesan itu beberapa kali, merasakan sesuatu yang berat dalam setiap kata yang dia tulis. Aku bisa merasakan rasa putus asa yang ia sembunyikan di balik pertanyaannya, seperti jeritan tanpa suara yang entah kenapa langsung menggema dalam hatiku.

Perlahan aku bersandar pada sofa, mencoba memahami perasaanku sendiri. Mengapa aku seperti ini terhadap Dwi? Ambisiku untuk membuktikan sesuatu, bahwa dia mungkin adalah teman Juan, terasa begitu kuat hingga aku lupa satu hal penting: dia adalah manusia. Sosok yang pernah kutemui di rumah sakit tiga tahun lalu, dalam keadaan yang begitu rapuh. Wajahnya yang pucat tanpa sehelai rambut, tanpa alis, tanpa bulu mata, masker oksigen yang menyelimuti wajahnya. Semua itu melintas dalam pikiranku, membuat hatiku mencelos.

Apa aku terlalu keras padanya? Apa aku pantas memperlakukannya seperti ini, seolah dia tak lebih dari teka-teki yang harus kupecahkan?

Aku menghela napas panjang, menatap layar ponselku. Pikiranku berperang mencari alasan untuk membenarkan sikapku, tapi... aku tahu. Pada akhirnya, aku harus mengakui bahwa aku salah.

Tanganku mulai mengetik.

"Dwi, maaf ya. Aku nggak bermaksud seperti itu. Aku cuma... aku sadar kalau aku keterlaluan. Maaf banget. Kamu baik-baik saja, kan?"

Pesan terkirim, dan aku menunggu dengan perasaan gelisah. Beberapa detik kemudian, ponselku bergetar lagi.

"Sherly, aku nggak baik. Tapi setelah ngobrol sama kamu lagi, aku harap aku bisa segera merasa lebih baik. Terima kasih sudah balas chat-ku."

Pesan itu membuatku menggigit bibirku pelan. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang terdengar begitu tulus, bahkan mungkin lebih dari itu—tergantung padaku.

Aku mengetik lagi, kali ini mencoba menghiburnya.

"Hari ini memang terasa berat banget, Dwi. Aku juga lagi nggak baik, bos-ku di kantor juga nggak baik. Mungkin hari ini memang bukan hari yang baik buat beberapa orang, ya? Haha. Tapi jangan khawatir, besok pasti lebih baik. Percaya aku, ya."

Kirim.

Aku menatap ponselku, menunggu balasannya, hingga akhirnya Dwi membalas dengan emoji senyum. Itu saja. Tapi aku tahu, itu sudah cukup baginya.

Percakapan kecil ini membuatku sadar, Dwi tidak hanya menunggu balasan dariku—dia menunggu sesuatu yang lebih dari itu. Sesuatu yang bisa memberi alasan untuk bertahan, sesuatu yang mungkin terlihat kecil bagiku, tapi bagi dia terasa seperti segalanya.

Malam itu, aku memutuskan untuk berhenti bersikap keras pada Dwi. Jika keberadaanku bisa menjadi semacam penghiburan untuknya, maka aku akan melakukannya. Bukankah itu yang teman seharusnya lakukan?

Malam itu, setelah obrolan terakhir dengan Dwi di chat berakhir, pikiranku melayang entah ke mana. Percakapan barusan meninggalkan rasa hangat, tapi juga sebuah dorongan lembut yang tak bisa aku abaikan. Seperti ada sesuatu yang tertinggal di sudut hatiku, menunggu untuk kusentuh.

Pak Ariel.

Nama itu muncul begitu saja, tanpa peringatan, menggema dengan jelas. Wajahnya yang tampak lelah tadi siang membayang di pikiranku, dan tanpa pikir panjang, aku meraih ponselku. Jemariku bergerak cepat mencari kontaknya, lalu aku menekan tombol hijau.

Deru napas panjang terdengar di telinga saat panggilanku tersambung. "Assalamu'alaikum," suara berat itu menjawab di seberang sana, terdengar lelah namun tetap hangat, seperti biasa.

"Wa'alaikumsalam, Pak Ariel," jawabku, mencoba terdengar biasa saja. Tapi ada sesuatu di balik suara Pak Ariel yang membuat dadaku sedikit sesak.

"Sherly? Ada apa? Apa ada sesuatu yang mendesak?" Nada terkejutnya terdengar jelas, mungkin dia tidak menyangka aku akan menelepon di jam seperti ini.

Aku tersenyum kecil, meskipun tahu senyumku takkan terlihat. "Oh, tidak ada, Pak. Saya hanya ingin memastikan... bagaimana keadaan Bapak sekarang. Apakah sudah merasa lebih baik?"

Hening sesaat. Lalu terdengar tawa kecil, lemah, tapi cukup untuk membuatku merasa lega. "Terima kasih, Sherly. Saya sudah mendingan sekarang. Kamu tidak perlu khawatir lagi."

Aku menarik napas lega. "Syukurlah, Pak. Tapi, kalau Bapak merasa kurang baik lagi, jangan sungkan untuk istirahat lebih lama. Semua orang di kantor pasti akan memaklumi, termasuk saya."

Pak Ariel hanya bergumam kecil sebagai tanggapan, lalu kami berbasa-basi sejenak. Aku tidak ingin terlalu lama mengganggunya, jadi setelah mengucapkan salam, aku menutup panggilan itu.

Namun, perasaan hangat yang menyusul percakapan itu tetap bertahan. Malam ini, aku merasa seperti telah terhubung kembali dengan dua orang istimewa. Dwi, dengan segala kerentanannya yang membuatku ingin melindungi dan memberinya semangat. Lalu Pak Ariel, dengan sosoknya yang tegar namun rapuh, yang entah kenapa memicu rasa khawatir yang sulit kuabaikan.

Sebelum tidur, seperti biasa, aku menyempatkan diri berdoa. Aku memohon agar Allah memberikan kesehatan untuk Ibu, kekuatan untuk Dwi, dan kesembuhan untuk Pak Ariel. Dua orang itu memang datang ke hidupku dalam bentuk yang berbeda, tapi mereka sama-sama meninggalkan jejak mendalam di hatiku.

"Semoga kalian selalu dikelilingi keberkahan," bisikku pelan. Doa itu kuakhiri dengan rasa syukur, lalu kututup mataku, membiarkan malam menyelimuti dengan kedamaian.