Bekal Makan Siang

POV Kirana

Aku menyelesaikan dokumen terakhir dengan efisiensi khas yang selalu kubanggakan. Sebuah angka di pojok kanan layar laptopku menunjukkan waktu menjelang siang. Aku mendesah pelan, menyadari satu hal: pikiranku terus kembali pada Ariel. Sosok pria yang, menurutku, adalah kombinasi langka antara otoritas dan kerendahan hati. Dan sekarang, aku memiliki alasan sempurna untuk menemuinya.

Aku meraih ID card yang tergantung di leherku, melangkah keluar dengan percaya diri. Sepatu hak tinggiku mengetuk lantai marmer, mengisi koridor dengan suara yang tegas namun elegan. Langkahku terhenti di depan ruangan Ariel.

Aku mendorong pintu dengan santai, memanfaatkan ID card untuk membuka kunci elektroniknya. "Good morning, Bu Risti," sapaku singkat kepada sekretaris Ariel yang tampak sibuk di mejanya. "I need to see Pak Ariel about a work-related matter. This won't take long," lanjutku dengan nada formal namun tegas.

Risti hanya mengangguk kecil, dan aku melangkah masuk ke ruangan Ariel tanpa ragu. Dalam pekerjaanku, kepercayaan diri adalah aset utama, dan aku tidak melihat alasan untuk menahan diri.

Di dalam, Ariel duduk di kursinya, sementara Sherly berdiri di dekat meja dengan beberapa dokumen di tangannya. Aku menarik napas singkat, membiarkan kesan pertama ruangan ini menyapu diriku. Aroma kayu halus bercampur dengan sedikit wangi kopi—ruangannya benar-benar mencerminkan kepribadiannya. Elegan, fokus, dan efisien.

"Pak Ariel," panggilku, suaraku terdengar jelas meski aku tidak menaikkannya. Kedua orang itu menoleh ke arahku hampir bersamaan. Aku memberikan senyum tipis dan langsung menyampaikan tujuanku. "Saya butuh waktu sebentar untuk mendiskusikan data analisis awal dari manajer operasional sebelumnya. Ada beberapa poin yang perlu disinkronkan sebelum proyek ini bisa berjalan lebih efektif."

Ariel mengangguk dengan cepat, seperti biasa menyambut profesionalisme yang jelas. "Baik, Bu Kirana. Kita ke ruangan Anda sekarang?"

Aku mengangguk pelan. "It would be more efficient, I think. Semua dokumen pendukung ada di meja saya."

Ariel bangkit dari kursinya, melirik Sherly sekilas. "Sherly, kita lanjutkan pembahasan ini nanti, ya? Saya akan kembali setelah selesai dengan Bu Kirana."

Aku menangkap perubahan kecil di wajah Sherly. Matanya sedikit membesar, lalu kembali normal dalam sekejap. Tapi, aku cukup peka untuk memahami isyarat itu. Mungkin dia merasa terganggu? Oh well. Ini bukan urusanku.

Kami melangkah keluar dari ruangan, Ariel dengan langkah tegas di sisiku. Hanya butuh beberapa detik untuk mencapai ruanganku karena letaknya di ujung koridor yang sama. Ketika kami berjalan, aku tidak bisa menahan diri untuk mencuri pandang ke arahnya. Begitu dekat, aku bisa melihat betapa menariknya aura yang dia miliki—serius namun menenangkan.

Dalam hati, aku merasa semakin yakin bahwa kedekatan ini perlu terus kulanjutkan. Ariel bukan hanya sekadar rekan kerja; dia adalah tantangan yang layak untuk dikejar. And I always love a good challenge.

***

POV Sherly

Jam dinding menunjukkan pukul dua belas kurang lima menit. Sudah cukup lama sejak Pak Ariel meninggalkan ruangan, dan aku masih tak bisa mengenyahkan rasa janggal yang tertinggal. Kenapa rasanya seolah dia pergi begitu jauh, padahal hanya ke ruangan Ibu Kirana? Aku mendesah pelan, menatap dokumen di depanku, mencoba mengalihkan pikiran. Regulasi pajak baru ini cukup menantang, pikirku, harusnya bisa membuatku sepenuhnya tenggelam dalam kerja.

Namun, fokusku terusik lagi ketika Bu Risti melintas di depan meja, menyapaku dengan senyum ramah seperti biasa. "Sherly, saya ke kafetaria dulu, ya, kamu belum makan? Udah mau jam istirahat, loh."

Aku balas tersenyum. "Baik, Bu, iya, sebentar lagi."

Bu Risti mengangguk kecil, lalu berlalu meninggalkan ruangan. Benar saja, seperti biasanya, beliau tidak pernah menawariku untuk ikut makan siang. Dia tahu, aku biasanya akan makan bersama Pak Ariel di ruangan ini. Tapi kali ini, aku hanya bisa melirik kotak bekal di atas mejaku. Ada perasaan ganjil yang sulit kuabaikan, meskipun aku tahu betapa tidak masuk akalnya itu.

Setelah menutup file yang kubaca, aku memutuskan untuk pergi ke masjid perusahaan, mesjid kecil yang terletak di sisi gedung sebelah. Aku membutuhkan ketenangan untuk menata hati, sekaligus menunaikan sholat zuhur. Meski langkah kakiku ringan, pikiran tetap terasa berat. Ada sesuatu yang tidak bisa kujelaskan, seperti ruang kosong yang tak terisi.

Selesai sholat, aku kembali ke ruangan. Namun, Pak Ariel belum juga muncul. Waktu istirahat hampir habis, dan perutku mulai memberi sinyal kelaparan. Aku akhirnya menyerah, membuka bekal makan siangku sendirian. Rendang ayam buatanku sendiri ini biasanya jadi favorit Pak Ariel. Rasanya ada yang hilang saat harus memakannya tanpa komentar khas darinya yang biasanya muncul setelah gigitan pertama.

Waktu berjalan lambat. Satu jam istirahat penuh hampir habis sebelum akhirnya aku mendengar suara langkah kaki Pak Ariel mendekat. Aku segera merapikan bekal yang sudah habis separuh, dan menyambutnya dengan kotak bekal tambahan yang memang kusiapkan untuknya.

"Pak Ariel, ini bekalnya," kataku sambil menyodorkannya dengan senyum kecil.

Namun, jawabannya membuat senyumku sedikit memudar. "Oh, terima kasih, Sherly. Tapi tadi saya sudah makan di ruangan Ibu Kirana. Dia memesan makan siang untuk kami karena kami tidak sempat keluar."

"Oh… ya sudah, Pak." Aku mencoba tersenyum lagi, meskipun ada rasa yang tidak bisa kutepis.

"Saya akan memakannya nanti," jawabnya dengan tenang sambil menerima bekal itu.

Dia kemudian kembali ke mejanya, seperti tidak ada yang terjadi. Aku menarik napas panjang, berusaha menepis perasaan yang sedikit aneh ini. Pak Ariel sudah mulai ramah padaku, ia menghargai setiap usahaku. Aku harusnya bersyukur dia masih mau menerima bekal ini meskipun sudah makan. Mungkin aku hanya terlalu sensitif, pikirku, mencoba menenangkan diri.

Hari kerja kembali berjalan seperti biasanya, meskipun dalam hati kecilku aku tahu ada sesuatu yang berubah hari ini. Dan aku tidak tahu pasti, apakah itu hanya perasaanku saja atau memang ada sesuatu yang lain.

***

Jam di layar komputer menunjukkan pukul tiga sore. Aku baru saja selesai mengetikkan revisi terakhir pada laporan pajak ketika suara pak Ariel memanggil dari meja sebelah. Suaranya terdengar lemah, lebih lemah dari biasanya, dan itu langsung membuat hatiku mencelos.

Aku berdiri cepat, langkahku terasa sedikit gugup ketika mendekati mejanya. Pak Ariel sedang duduk di kursinya, tubuhnya bersandar dengan wajah yang tampak pucat. "Sherly," katanya pelan, "tolong antar saya ke bawah. Saya harus pulang sekarang."

Seketika rasa cemas itu muncul lagi. Perasaan yang selalu datang setiap kali melihatnya seperti ini, begitu rapuh, begitu manusiawi. Aku mengangguk tanpa banyak bicara, tahu bahwa ia tidak punya energi untuk menerima basa-basi.

Aku membantu pak Ariel berdiri. Gerakan tubuhnya terasa berat, meski ia berusaha untuk tetap menjaga keseimbangan. Tangan kirinya menyentuh meja, menopang tubuhnya yang lemah. Aku menahan napas, mencoba tidak menunjukkan rasa khawatir yang mulai menguasai pikiranku.

"Bapak yakin nggak mau tunggu istirahat dulu sebentar?" tanyaku hati-hati.

Dia hanya menggeleng pelan. "Saya harus pulang sekarang. Jangan khawatir, Pak Agus sudah di bawah."

Kata-katanya seolah ditujukan untuk menenangkanku, tapi kenyataannya malah membuat pikiranku semakin kacau. Aku ingat momen seperti ini sebelumnya, pada hari kedua aku masuk kerja di sini. Saat itu alerginya kumat, membuatku panik setengah mati karena aku tidak tahu harus berbuat apa. Lalu ada saat kami pergi ke hutan pinus—aku pikir itu akan menjadi pengalaman menyenangkan, tapi nyatanya sebagian besar waktuku dihabiskan dengan perasaan khawatir melihatnya yang terus kelelahan.

Dan sekarang, momen seperti itu datang lagi. Rasanya seperti lingkaran yang tak berujung.

Aku memegang pintu lift untuknya, membiarkannya masuk lebih dulu. Di dalam lift, aku berdiri sedikit di belakangnya, mengamati gerak-geriknya dengan seksama. Ia bersandar ke dinding lift, matanya terpejam sejenak, seperti mencoba mengumpulkan tenaga.

"Kalau ada apa-apa, Bapak jangan sungkan bilang, ya," kataku pelan.

Dia hanya mengangguk. Tidak ada banyak kata di antara kami, tapi aku tahu betul bahwa kondisinya lebih rumit dari yang aku pahami.

Sampai di lobi, Pak Agus sudah menunggu dengan mobil hitam pak Ariel. Aku membantu pak Ariel masuk ke dalam mobil, memastikan ia duduk dengan nyaman sebelum pintu tertutup. Hanya beberapa saat kemudian, mobil itu melaju, meninggalkan gedung kantor.

Aku berdiri di sana beberapa detik, masih memikirkan apa yang baru saja terjadi. Ada sesuatu yang terasa kosong. Bekal makan siangnya tadi siang bahkan tidak disentuh sama sekali, dan aku tahu itu bukan karena ia tidak suka, tapi karena tubuhnya benar-benar tidak memungkinkan.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan perasaan tak menentu yang terus mengganggu pikiranku. Aku ingin melakukan lebih banyak untuk membantunya, tapi apa? Rasanya seperti aku hanya bisa berdiri di pinggir, melihat dari jauh, tanpa benar-benar mampu membuat segalanya lebih baik.

Dengan langkah pelan, aku kembali ke ruanganku. Entah kenapa, udara kantor terasa jauh lebih sunyi dari biasanya.