POV Kirana
Malam itu, aku duduk di sofa ruang tamu apartemenku, memandang keluar dari jendela besar yang menampilkan gemerlap lampu kota. Apartemen ini tidak besar, tapi cukup nyaman untukku. Didesain dengan gaya minimalis modern, setiap sudutnya tertata rapi. Dinding berwarna putih bersih dihiasi beberapa lukisan abstrak yang kubawa dari New York. Di sudut ruangan, ada tanaman hijau kecil yang memberiku sedikit sentuhan alami di tengah kesibukan kota ini. Aku menyukai ruanganku ini – simpel, sophisticated, dan jelas mencerminkan siapa aku.
Sambil memegang segelas red wine yang tersisa setengah, pikiranku melayang ke kejadian siang tadi. Ariel. Pria itu punya sesuatu yang berbeda. Tatapan matanya yang serius, cara dia berbicara dengan tenang tapi penuh keyakinan. Oh, he's sharp. Dia bukan tipe pria yang bicara tanpa berpikir; setiap kalimatnya punya arah, punya tujuan. Itu sesuatu yang langka.
Aku menyandarkan kepala di sofa, menutup mata sejenak. "Is he the one?" gumamku pada diri sendiri sambil tersenyum tipis. Ariel adalah tipe pria yang selama ini kucari. Elegan, pintar, dan penuh kendali – qualities yang jarang kutemukan di sini. Aku tidak keberatan memulai langkah pertama. Lagipula, why should I wait?
Telepon di meja samping sofa bergetar, memecah lamunanku. Kulihat layar telepon, "Dad". Aku mengangkatnya dengan cepat.
"Hi, Dad," sapaku dengan nada ceria.
"Hi, Kirana," suara Papa terdengar hangat dari seberang sana. "How's there? How are you settling in?"
"That's good," jawabku sambil beranjak berdiri dan berjalan menuju dapur, meletakkan gelas anggurku di atas meja. "Work is… interesting. There's a lot to do, but I like it. It's challenging, just like I expected."
Papa tertawa kecil. "I know you love challenges. Tapi kamu benar-benar suka di sana? I mean, do you feel… at home?"
Aku terdiam sebentar, mencoba merangkai jawabanku. "It's different from the States, of course. Tapi aku merasa nyaman di sini. People are warm, and the opportunities are huge. Plus, I think it's good to reconnect with my roots."
"Hmm… well, itu bagus kalau kamu merasa nyaman. Tapi jangan lupa, kalau kamu butuh apa-apa, we're always here for you," katanya dengan nada lembut.
Aku tersenyum. Papa memang selalu begitu, suportif tanpa terlalu mengatur. "Thanks, Dad. But I'm doing fine. Actually, I feel… inspired."
"Oh? By what?"
Aku tertawa kecil. "Banyak hal. Tapi, salah satunya, mungkin ada orang di kantor yang menarik perhatian."
"Oh really? Tell me more," goda Papa.
"It's nothing serious," jawabku sambil tersenyum lebar. "Hanya seseorang yang… terlihat punya potensi. Dia beda dari orang lain, a real gentleman. Tapi aku masih harus memastikan."
Papa tertawa. "Well, take your time. As long as he's worth it."
"I will, Dad. Don't worry about me," kataku, merasa percaya diri. "Anyway, I should let you go. It's late here."
"Alright, Kirana. Take care, and good luck with your projects. Don't hesitate to call if you need anything."
"Will do. Goodnight, Dad."
Aku menutup telepon dan meletakkannya kembali di meja. Sejenak, aku berdiri di tengah apartemen, membiarkan pikiranku mengalir lagi ke Ariel. Aku tahu aku tidak bisa langsung mengambil kesimpulan, tapi ini bukan pertama kalinya aku merasa yakin untuk mencoba sesuatu. Sebagai seseorang yang terbiasa hidup di lingkungan liberal seperti Amerika, aku tahu bahwa menunggu bukanlah strategiku. If I want something, I'll go and get it.
Aku tersenyum sendiri sambil berjalan ke kamar, merapikan dokumen proyek yang akan kubawa esok hari. Ini hanya awal. Kalau Ariel memang seperti yang kulihat hari ini, maka aku tidak keberatan melangkah lebih jauh untuk mengetahuinya.
***
POV Sherly
Pagi itu, seperti biasa, Pak Ariel datang menjemputku di depan rumah. Mobil hitamnya berhenti dengan mulus, dan aku segera masuk ke dalam. Beliau menyapaku dengan senyuman ringan sambil mengenakan kacamata yang menambah kesan serius di wajahnya. Sepanjang perjalanan, sesekali kami mengobrol ringan seperti biasa.
Namun, setengah perjalanan menuju kantor, suasana obrolan berubah. Pertanyaan yang keluar dari mulut Pak Ariel membuatku sedikit terkejut.
"Sherly, bekal hari ini apa?" tanyanya tiba-tiba, nada suaranya ringan, tapi terdengar seperti ia benar-benar penasaran.
Aku mengerjap sesaat, merasa aneh karena biasanya beliau menanyakan ini nanti, saat makan siang, sesaat sebelum membuka kotak bekal yang kubawa. "Rendang ayam, Pak," jawabku akhirnya, berusaha menyembunyikan kebingunganku.
Pak Ariel mengangguk pelan, matanya tetap fokus pada jalan di depan. "Hmm, rendang ayam. Kedengarannya enak sekali. Nanti siang saya nggak sabar mau coba."
Aku hanya tersenyum kecil, meski dalam hati pertanyaan itu terasa… tidak biasa. Apa mungkin beliau sedang lapar lebih awal? Tapi tidak, rasanya bukan itu alasannya.
"Sherly," beliau melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih santai, "sesekali, bagaimana kalau kita makan siang di luar? Saya rasa akan menyenangkan mencoba suasana yang berbeda."
Aku menoleh sedikit, mencoba membaca ekspresi wajahnya. "Makan di luar, Pak? Hmm… boleh juga. Tapi bukannya biasanya Bapak sibuk di jam makan siang?"
Beliau tertawa kecil. "Ya, memang, tapi nggak ada salahnya kan mencoba? Saya rasa sesekali perlu menyegarkan pikiran."
Aku mengangguk pelan. Ide itu terdengar menarik, meskipun aku merasa aneh mendengar ajakan seperti itu di pagi hari, apalagi dari Pak Ariel yang biasanya lebih suka rencana yang terstruktur. Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela, melihat jalanan yang mulai ramai dengan aktivitas pagi.
"Ngomong-ngomong, saya juga masih ingin mengajak kamu ke tempat wisata lain," kata Pak Ariel lagi, memecah keheningan. "Sebagai pengganti waktu itu, yang… yah, saya rasa nggak bisa dibilang sukses karena saya malah kelelahan."
Aku langsung teringat momen itu. Perjalanan kami waktu itu memang terganggu karena kondisi fisik beliau yang kelelahan akibat tumor jinak di hatinya. Tapi bagiku, itu tidak pernah terasa sebagai gangguan. Aku merasa justru momen itu membuat kami lebih saling memahami.
"Pak Ariel, saya nggak merasa terganggu waktu itu," jawabku jujur, menoleh ke arahnya. "Tapi kalau nanti ada kesempatan lagi, ya, mungkin saya akan ikut. Itu pun kalau Bapak tidak terlalu sibuk."
Beliau tersenyum, senyuman kecil yang membuat sudut matanya sedikit mengerut. "Kita lihat saja nanti. Tapi saya janji, kali ini saya akan pastikan semuanya berjalan lebih lancar."
Aku tidak menjawab lagi, hanya tersenyum kecil. Perjalanan kami kembali diisi oleh obrolan ringan lainnya, tapi hatiku terasa aneh. Ada sesuatu yang berbeda pagi ini, sesuatu yang sulit kujelaskan. Percakapan kami terasa lebih… intens, meski dalam balutan kehangatan seperti biasa. Seolah-olah ini adalah bayangan kecil dari sesuatu yang lebih besar.
Aku membuang napas perlahan, mencoba menenangkan pikiranku. Mungkin aku hanya terlalu banyak berpikir. Atau mungkin… ini pertanda bahwa sesuatu akan berubah di antara kami. Entah itu baik, atau buruk, aku belum tahu.