Aku Akan Menemukanmu, Dwi!

POV Sherly

Baru semenit berlalu tiba-tiba saja kedatangan bu Risti membuatku refleks menutup dokumen itu dengan cepat. Pak Ariel baru saja pergi meninggalkanku, tergesa-gesa karena panggilan mendadak dari Bu Risti. Sesuatu tentang pertemuan di ruang direktur operasional untuk membahas manajemen risiko. Aku tidak sempat memikirkan lebih dalam, karena dia sudah pergi dan aku kembali diserahkan pada dunia yang lebih nyata: dokumen-dokumen yang menunggu di meja ini.

Aku mulai membuka file tadi, mencari file khusus data karyawan baru dan segera menggulirkan halaman demi halaman, mataku dengan cepat mencari nama yang sudah tertanam dalam ingatanku: Dwi. Aku tahu itu bukan nama lengkapnya, tapi setidaknya "Dwi" sudah cukup untuk memulai pencarian ini.

Namun, apa yang kutemukan justru membuatku terkejut. Nama "Dwi" ternyata tercatat atas nama seorang perempuan—seorang karyawan di divisi hukum dan kepatuhan. Perempuan yang seumuran dengan Juan, yang mulai bekerja pada waktu yang sama dengan dia. Aku merasa dunia seakan berhenti berputar sejenak. Tidak mungkin. Itu tidak bisa benar.

Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri, berpikir bahwa ini hanyalah kesalahan administratif atau mungkin kebetulan belaka. Tapi ada sesuatu yang mengganggu di dalam diriku. Kenapa nama Dwi ada di divisi hukum dan kepatuhan, dan kenapa dia seorang perempuan? Aku tidak percaya ini. Aku teringat kejadian itu, kejadian di rumah sakit—dia yang terbaring lemah dengan masker oksigen menutupi sebagian wajahnya. Tubuhnya kurus, dan kepalanya botak. Aku bisa melihat tubuhnya datar, seperti tubuh laki-laki. Tapi, wajahnya? Aku tidak bisa memastikannya. Masker itu menghalangi pandanganku.

Aku kembali berpikir, mencoba mengingat setiap detail. Kenapa Dwi selalu menghindari telepon? Apakah itu karena suaranya yang mungkin berbeda dari yang kutunggu? Suara perempuan, mungkin. Benar-benar tidak masuk akal, tapi kenapa aku merasa seperti ini? Kenapa rasanya semua mulai terasa terhubung dalam cara yang aneh dan membingungkan? Pikiran-pikiranku berkecamuk, seolah dunia di sekitarku mulai runtuh, dan aku terjebak dalam kebingunganku sendiri.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan Dwi? Dan apakah aku benar-benar mengenalnya?

Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikiranku yang kacau. Semua ini terasa begitu absurd, dan aku tahu aku perlu mencari jawaban—secepatnya. Aku merasa, untuk memastikan teori gilaku ini, aku harus bertemu dengan perempuan bernama Dwi itu secara langsung. Tapi, aku tak bisa hanya melompat begitu saja tanpa mengumpulkan lebih banyak informasi. Ada satu orang yang mungkin bisa memberikan petunjuk lebih lanjut, dan orang itu adalah Juan.

Aku mengambil keputusan untuk menemui Juan terlebih dahulu. Aku berusaha meredakan ketegangan dalam diriku, mencoba untuk tetap tenang dan logis. Aku membutuhkan sesuatu, apapun itu, untuk memastikan apakah semua perasaan kacau ini benar-benar ada alasan atau hanya ilusi belaka. Aku meminta izin kepada Bu Risti untuk pergi ke divisi IT, dengan alasan menanyakan perkembangan realisasi anggaran waktu itu. Bu Risti mengangguk tanpa curiga, dan aku segera keluar dari ruangannya.

Sesampainya di ruangan divisi IT, aku melihat Juan sedang mengobrol dengan Pak Dani, kepala divisi IT. Juan yang melihatku masuk langsung tersenyum, seolah senang melihatku. Aku memperhatikan dia sejenak. Wajahnya tampak lebih segar, dan aku sedikit lega melihatnya dalam kondisi baik. Tapi, dalam sekejap, pikiranku kembali melayang pada gangguan kecemasan yang pernah dia ceritakan. Aku tahu dia rentan, jadi aku berusaha mencari cara bertanya yang tepat, agar dia tidak merasa terbebani. Aku tidak ingin membuatnya merasa tidak nyaman.

Kami mengobrol sejenak, membahas hal-hal sepele sebelum aku memutuskan untuk menyampaikan apa yang ada di pikiranku. "Juan," kataku dengan suara yang cukup tenang, berusaha agar tidak ada ketegangan yang terdengar, "Aku perlu bertemu dengan seseorang di divisi hukum dan kepatuhan, untuk membahas regulasi baru tentang pajak. Kira-kira siapa yang bisa aku temui di sana?"

Tanpa pikir panjang, Juan langsung menyebutkan nama Dwi. "Oh, Dwi. Kamu bisa menemui dia. Dia staf di divisi itu dan seumuran dengan kita," jawabnya dengan percaya diri.

Aku hampir tidak bisa menahan kejutan yang melanda hatiku, tapi berusaha sekuat tenaga untuk tetap terlihat biasa. Aku harus tetap tenang. "Oh, Dwi ya? Kamu kenal dia?" tanyaku, meskipun aku sudah tahu jawabannya.

Juan tampak lebih santai. "Tentu saja, Dwi itu teman kampusku. Kami dulu aktif di organisasi sosial kampus bersama. Sudah lama kami kenal," katanya dengan senyum yang lebar.

Penjelasan itu semakin membuatku terkejut. Temannya di kampus? Aku merasa seperti sedang dikejutkan oleh sebuah kenyataan yang sulit dipercaya, tapi aku berusaha keras untuk menutupinya, agar tidak ada yang mencurigai kegugupanku.

Aku menatapnya sejenak, mencoba meredakan detak jantungku yang semakin kencang. "Oh, begitu. Kalau begitu, bisakah kamu mengantarkanku menemui Dwi? Aku rasa aku perlu berbicara langsung dengannya," kataku dengan nada suara yang berusaha tetap tenang.

Juan, tanpa ragu, langsung setuju. "Tentu, aku akan minta izin dulu ke Pak Dani," ujarnya, sebelum segera meminta izin kepada Pak Dani yang masih berada di sana. Aku mengangguk pelan, meskipun dalam hatiku, aku masih terperangah. Semuanya semakin membingungkan.

Namun, aku tidak punya pilihan selain mengikuti alur ini. Semoga pertemuan dengan Dwi ini bisa memberikan jawaban yang kucari, atau malah semakin memperkeruh segalanya.

***

POV Ariel

Kirana melangkah dengan penuh percaya diri di sampingku, dokumen di tangannya tampak tertata rapi. "Sejujurnya, Pak Ariel, saya agak terkejut dengan laporan terakhir. Ternyata kendala di lapangan lebih kompleks dari yang saya bayangkan."

"Betul, Bu Kirana. Sinkronisasi data memang menjadi tantangan utama kita, terutama jika menyangkut cabang yang jauh dari pusat. Proyek ini butuh pemetaan yang sangat detail," jawabku sambil mencocokkan langkah dengannya.

"Exactly, that's what makes this project so crucial," lanjutnya sambil mengangguk kecil. "And that's also why I need your team's full support—terutama dalam menyiapkan proyeksi anggaran. Saya pikir kita bisa memulai implementasi di salah satu cabang sebagai uji coba. Your thoughts on that?" Ia menoleh sejenak, menunggu tanggapanku.

"Pilihan yang bijak. Saya akan pastikan data dari tim keuangan sudah siap sebelum kita melangkah lebih jauh. Selain itu, kita juga perlu koordinasi dengan divisi IT untuk teknis perangkat lunaknya."

Kirana tersenyum kecil, seolah puas dengan jawaban itu. "Sounds like a solid plan. Tapi saya rasa kita akan sering berkoordinasi ke depannya, Pak Ariel. Jangan bosan ya."

Aku hanya mengangguk ringan. "Koordinasi adalah kunci, Bu Kirana. Kalau ada yang perlu, jangan ragu menghubungi saya."

Percakapan kami terputus saat langkah kami tiba-tiba berhenti di koridor. Di depan, Sherly dan Juan tampak berjalan berlawanan arah. Sherly memegang beberapa dokumen, dan wajahnya menunjukkan fokus yang cukup intens. Tapi yang lebih menarik perhatian adalah interaksi keduanya—Juan yang tampak berbicara dengan semangat, sementara Sherly hanya memberikan senyuman kecil sesekali.

"Tim Anda tampaknya sibuk," kata Kirana, lirih tapi terdengar tajam.

Aku tidak langsung merespons. Pandanganku mengikuti Sherly yang tampak mencuri pandang ke arahku sebelum buru-buru menunduk lagi. Ada sesuatu di cara dia menghindari tatapanku—entah itu kegugupan atau hal lain. Dan itu cukup membuatku berpikir.

POV Juan

Aku melangkah santai di samping Sherly, tapi hatiku nggak tenang. Kami menuju ke divisi hukum dan kepatuhan, dan meskipun aku berusaha menjaga suasana, aku tidak bisa menahan perasaan yang semakin membesar. Aku merasa senang bisa berjalan di samping Sherly, bahkan kalau itu hanya sebentar. Aku tidak bisa menahan senyum kecil yang tersungging di bibirku. Meskipun Sherly terlihat agak canggung, aku merasa ini adalah kesempatan untuk lebih dekat dengan dia. Kami berdua tidak terlalu banyak bicara, tapi hanya berada di dekatnya sudah cukup membuatku merasa lebih baik. Aku senang melihat Sherly di sampingku, rasanya seakan-akan dunia ini milik berdua.

Sesaat sebelum kami sampai, aku melihat Pak Ariel dan Bu Kirana berjalan bersama, tampaknya sedang mengobrol serius. Mereka terlihat nyaman satu sama lain, dan entah kenapa, aku merasa ada semacam kedekatan di antara mereka yang tak bisa aku abaikan.

Ketika Pak Ariel melihat kami, ekspresinya seketika berubah. Ia sepertinya terkejut, matanya sedikit menyipit saat melihat aku berjalan di samping Sherly. Aku merasa ada ketegangan yang muncul begitu kami berpapasan. Apakah dia cemburu? Aku nggak tahu, tapi hatiku justru terasa agak panas saat aku melihatnya menatap kami.

Sherly tampak sedikit canggung, dan aku melihat wajahnya berubah sejenak. "Pak," katanya, sedikit ragu. Aku tidak bisa menahan rasa cemburu yang merayap begitu aku melihat Pak Ariel menatap Sherly seperti itu—rasanya seperti dia berusaha mengendalikan setiap pergerakan Sherly. Aku tahu aku nggak punya hak untuk merasa seperti ini, tapi aku nggak bisa menahan diri. Aku ingin sekali melangkah lebih dekat, ingin memastikan Sherly ada di sisiku, bukan di dekatnya.

Pak Ariel bertanya dengan nada yang agak mencurigakan, "Sherly, kamu kemana?" Aku menahan napas sejenak. Aku merasa ada ketegangan antara mereka, lebih dari yang aku harapkan. Kenapa Pak Ariel begitu peduli? Apakah dia merasa perlu mengontrol Sherly? Aku hanya bisa diam, melihat bagaimana mereka saling berhadapan. Aku tak ingin membuatnya semakin canggung, tapi aku juga merasa terpojok di sini.

Sherly menjelaskan, dan meskipun Pak Ariel menyuruhnya untuk kembali ke ruangannya, aku merasa cemas. Apa yang terjadi di antara mereka? Kenapa aku merasa seperti mereka berdua sudah lebih dekat daripada yang aku duga? Sementara itu, Bu Kirana tampaknya tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi antara kami, dan itu memberi aku sedikit rasa lega. Tapi pada saat yang sama, aku juga merasa seperti ada peluang yang harus aku ambil.

Aku menatap Sherly sejenak, dan meskipun aku berusaha tetap tenang, aku bisa merasakan cemburu itu semakin membesar. Kalau Pak Ariel terus-menerus berada di samping Sherly, bagaimana aku bisa bersaing? Tapi ketika aku melihat Pak Ariel dan Bu Kirana melanjutkan obrolan mereka, ada secercah harapan di hati. Mungkin, hanya mungkin, kalau dia terlalu sibuk dengan Bu Kirana, aku bisa mendapatkan kesempatan lebih dekat dengan Sherly. Aku tidak akan menyerah begitu saja.

***