Dwi, di Mana Kamu?

POV Sherly

Perjalanan pulang sore itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Mobil yang dikendarai Pak Agus melaju tenang di jalan raya yang mulai lengang. Aku duduk diam di kursi belakang, pandanganku tertuju ke luar jendela. Namun, pikiranku tidak sedang menikmati pemandangan, melainkan dipenuhi oleh ribuan kemungkinan yang berseliweran tanpa henti.

Pertemuanku dengan Bang Leon siang tadi seolah menjadi pemantik dari teka-teki besar yang selama ini aku abaikan. Wajah familier Bang Leon yang muncul di tempat yang tidak terduga, kalimat-kalimatnya yang terkesan gugup, dan jawaban-jawaban yang setengah hati, semuanya membuat satu teori baru bermunculan di kepalaku: Dwi bekerja di perusahaan ini.

"Apa mungkin dia selama ini ada di sini? Di kantor yang sama?" pikirku sambil menggigit ujung kukuku yang mulai kasar. "Kalau iya, kenapa dia tidak pernah menunjukkan diri? Kenapa harus menyembunyikan semuanya?"

Aku mendesah pelan, menahan keinginan untuk langsung memeriksa daftar karyawan perusahaan saat itu juga. Namun, satu hal lain yang juga menggangguku adalah kemungkinan hubungan Dwi dengan Juan. Bagaimana kalau mereka saling mengenal? Bagaimana kalau Juan tahu sesuatu tapi tidak pernah memberitahuku? Juan memang selalu menyimpan sesuatu di balik sikapnya yang santai.

Aku mulai merasa identitas Dwi yang penuh misteri ini perlahan mulai terkuak. Aku tidak tahu apakah ini pertanda baik atau buruk, tapi ada perasaan yang menggelitik di dalam diriku, seperti menemukan potongan puzzle yang hilang. Wajah Dwi yang selalu samar-samar di ingatanku kini terasa semakin nyata. Sosok itu, yang selama ini aku rindukan dalam diam, kini terasa dekat sekali.

"Apa aku bisa benar-benar menemukannya di sini?" gumamku pelan, hampir tidak terdengar.

"Ada yang Nona Sherly katakan tadi?" suara Pak Agus yang berat dan ramah menyela lamunanku.

"Ah, tidak, Pak. Saya hanya menggumam saja," jawabku buru-buru sambil tersenyum kecil.

Pak Agus hanya mengangguk pelan, kembali fokus ke jalan.

Aku kembali pada pikiranku. Besok, aku harus mencari tahu. Entah bagaimana caranya, aku akan meminta data seluruh karyawan kepada bagian HRD. Alasan yang kupikirkan cukup masuk akal: untuk keperluan data keuangan. Sebagai asisten manajer di bagian finansial, itu bukan sesuatu yang aneh.

Aku membulatkan tekadku. Kalau Dwi benar ada di sini, aku pasti akan menemukannya, pikirku sambil mengepalkan tangan. Aku tidak tahu apa yang akan aku katakan jika benar-benar bertemu dengannya, tapi aku tahu satu hal: aku sangat ingin melihat Dwi lagi. Aku ingin bertanya langsung, tanpa perantara. Mengapa harus seperti ini? Mengapa harus menyembunyikan diri?

Tapi, anehnya, aku tidak merasa marah atau kesal. Sebaliknya, aku justru merasa "greget" — ingin sekali menghadapi langsung teka-teki ini. Perasaan itu bercampur aduk dengan harapan dan sedikit kegugupan.

Ketika mobil berhenti di depan rumahku, aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Besok akan jadi hari yang panjang, pikirku sambil membuka pintu mobil. Sebelum melangkah masuk, aku menoleh ke Pak Agus dan mengucapkan terima kasih dengan senyum ramah, lalu berjalan masuk ke dalam rumahku dengan kepala yang masih dipenuhi rencana untuk mengungkap misteri ini.

***

POV Ariel

Pagi itu aku kembali berusaha menata pikiranku dan tubuhku untuk kembali bekerja. Meski belum sepenuhnya pulih, aku tidak ingin melewatkan lebih banyak waktu lagi di rumah. Begitu aku tiba di kantor, aku langsung menuju ruanganku. Semuanya tampak biasa, hingga mataku menangkap Sherly yang sedang duduk di mejanya. Biasanya, dia akan menyapaku dengan senyum kecil dan kalimat ringan, tapi pagi ini berbeda.

Dia terlihat terlalu fokus pada layar komputernya, jarinya sibuk mengetik sesuatu, dan saat aku menyapanya, dia hanya menoleh sebentar sebelum kembali tenggelam dalam pekerjaannya. Sejenak, aku hanya memperhatikan, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Sherly bukan tipe yang pendiam seperti ini. Biasanya, dia responsif, bahkan saat tertekan.

Aku mendekatinya dengan langkah yang sengaja kuperlambat, mencoba membaca suasana. "Sherly," panggilku lembut. Dia mendongak, tapi tatapannya sedikit kosong. "Apa semuanya baik-baik saja?"

Dia tersentak sedikit, seolah tak menyangka aku akan menanyakannya. "Eh, iya, Pak. Baik," jawabnya sambil tersenyum kecil, tapi senyumnya tampak dipaksakan. Sesuatu jelas mengganggu pikirannya.

"Kamu yakin? Kalau ada yang perlu kamu ceritakan, aku di sini untuk mendengar," kataku lagi, mencoba memberikan ruang. Aku tahu pendekatanku kali ini berbeda dari biasanya yang lebih formal dan langsung ke intinya, tapi melihat Sherly seperti ini membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa sendirian menghadapi apa pun yang sedang mengganggunya.

Dia menggigit bibirnya sebentar, kebiasaan kecil yang kutahu muncul saat dia gugup. "Terima kasih, Pak, tapi saya benar-benar baik-baik saja," katanya sambil buru-buru mengalihkan pandangan. Gerak-geriknya seperti menyimpan sesuatu yang tak ingin ia bagi, tapi aku tak mau memaksanya.

"Kalau begitu, jangan terlalu memaksakan diri," kataku. Aku memutuskan untuk memberinya ruang, tapi tetap mengawasi dari jauh. Namun, saat aku berbalik, aku mendengar kursinya bergerak. Ketika aku menoleh, dia sudah berdiri dan mengambil tas kecilnya. "Permisi, Pak, saya ke kamar mandi dulu," katanya sebelum bergegas pergi.

Aku hanya bisa menghela napas kecil. Ada sesuatu yang sedang ia pikirkan, dan aku tak tahu apa itu. Tapi satu hal yang pasti, aku akan menunggu sampai dia siap untuk menceritakannya.

POV Sherly

Aku keluar dari ruangan dengan alasan ke kamar mandi, langkahku sedikit tergesa. Aku hanya ingin menjauh, bukan karena takut, tapi karena tidak tahu bagaimana harus merespons perasaan ini. Jantungku masih berdetak terlalu cepat, seperti berlari mengejar sesuatu yang tak terlihat. Anehnya, di sela-sela kebingungan itu, ada perasaan hangat yang diam-diam mengalir.

Di depan cermin wastafel kamar mandi, aku mencoba mengatur napas. Bayangan diriku terlihat sedikit kacau, wajahku sedikit memerah. "Sherly, apa yang sedang kau rasakan?" Aku bergumam pelan, bahkan diriku sendiri tak yakin dengan jawabannya. Tapi aku tahu, bukan ini fokusku sekarang.

Setelah merasa cukup tenang, aku kembali mengingat rencana yang sudah kususun semalam. Langkah pertama, aku harus mendapatkan data seluruh karyawan di kantor pusat. Dengan keyakinan baru, aku keluar dari kamar mandi dan langsung menuju bagian HRD.

"Pagi, Mbak Desi," sapaku pada petugas HRD. "Saya butuh data singkat seluruh karyawan kantor pusat untuk keperluan laporan keuangan. Bisa dibantu?"

Mbak Desi mengangguk ramah. "Tentu, Mbak Sherly. Tunggu sebentar, ya."

Tak butuh waktu lama, aku sudah memegang dokumen berisi daftar nama kurang lebih 500 karyawan, baik tetap maupun kontrak. Aku mengucapkan terima kasih sebelum bergegas ke divisi keuangan untuk mengambil laporan pajak yang juga sudah kujadwalkan.

Dokumen-dokumen itu kubawa kembali ke ruanganku, sengaja menumpuknya dengan rapi. Aku ingin terlihat seperti sedang mengerjakan tugas biasa, agar Bu Risti dan Pak Ariel tidak curiga. Tapi jauh di dalam pikiranku, rencana ini bukan sekadar untuk pekerjaan. Ini adalah langkah pertamaku untuk menemukan Dwi.

Aku duduk di mejaku, membuka dokumen itu perlahan. Mataku mulai menyisir nama-nama yang tercetak di sana, berharap menemukan petunjuk. "Dwi," gumamku dalam hati. "Di mana kamu?"