Rasa Lelah & Kesakitan

POV Dwi

Ponselku bergetar saat aku baru saja melangkah keluar dari lift. Nama "Bang Leon" muncul di layar, membuatku sedikit ragu sebelum akhirnya menjawab.

"Halo, Bang. Ada apa?" tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap datar.

Suara Bang Leon terdengar agak terburu-buru di seberang sana. "Dek, Sherly barusan memergoki abang Leonmu ini."

Langkahku terhenti. Jantungku langsung berdegup kencang. "Sherly?" ulangku pelan, seolah memastikan aku tidak salah dengar.

"Iya, adik abang yang bernama Dwi, dia tadi nyapa abang di parkiran. Aduh, dek…, dia kayaknya curiga. Jadi abang bilang ke dia kalau abang ke situ cuma buat ngecek lowongan kerja. Kamu hati-hati, jangan sampai dia lihat kamu di kantor. Kalau sampai ketahuan..." Bang Leon tidak melanjutkan kalimatnya, tapi aku tahu apa yang ia maksud.

"Aku ngerti, Bang," sahutku cepat. "Makasih udah ngasih tahu. Aku akan hati-hati."

Aku segera mematikan panggilan itu tanpa menunggu jawaban. Sambil menghela napas panjang, aku berbalik arah, kembali ke lorong menuju lift. Langkahku tetap terlihat tenang, tapi pikiranku sudah penuh dengan berbagai kemungkinan.

Sherly. Dia ada di sini. Dan dia bertemu Bang Leon. Apa dia tahu sesuatu?

Dadaku mulai terasa nyeri. Sensasi yang tidak asing, tapi tetap saja menyakitkan. Aku berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, berusaha mengatasi rasa sakit itu. "Tenang!" gumamku pelan. "Jangan sampai terlihat aneh. Jangan panik."

Aku menekan dada kiriku dengan tangan, berharap rasa nyeri itu akan mereda. Rasanya seperti ada beban yang menghimpit, bukan hanya fisik, tapi juga mental. Aku sudah menjaga semua ini dengan baik selama tiga tahun. Tidak mungkin semuanya hancur begitu saja sekarang.

Saat rasa nyeri sedikit berkurang, aku melanjutkan langkah, menyusuri lorong dengan kepala tertunduk. Aku mencoba mengalihkan pikiranku, memikirkan hal-hal logis yang harus aku lakukan sekarang.

Kalau Sherly bertanya, aku harus punya jawaban. Jawaban yang masuk akal. Tapi... apa aku benar-benar bisa terus menyembunyikan semuanya darinya?

Aku menelan ludah, merasa dilemparkan kembali ke situasi lama yang selalu ingin aku hindari. Tidak mudah menjadi Dwi. Tapi jauh lebih sulit menjadi seseorang yang harus menyembunyikan siapa dirinya, terutama dari seseorang seperti Sherly.

***

POV Sherly

Saat kembali memasuki gedung, langkahku melambat. Ada sesuatu yang tiba-tiba melintas di pikiranku—Juan. Aku menyadari bahwa aku belum melihatnya hari ini. Mengingat bagaimana dia terakhir kali terlihat begitu murung dan tegang, aku merasa cemas. Aku tidak ingin dia membawa beban terlalu lama.

Tanpa pikir panjang, aku mengarahkan langkahku menuju ruangannya. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja, bahkan jika itu hanya sekadar melihatnya dari kejauhan. Tapi saat aku sampai di sana, ruangannya kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaannya.

Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan pikiranku yang mulai berlarian. "Mungkin dia sedang di luar," gumamku pelan, mencoba menghibur diri. Namun seorang staf IT yang melewati ruangan Juan memberitahuku bahwa dia sedang berada di ruang rapat, mengikuti pertemuan penting.

Aku menghela napas panjang, rasa khawatirku perlahan memudar. "Baguslah," pikirku. Setidaknya dia ada di sini dan sedang menjalankan tugasnya. Itu artinya dia mulai kembali ke rutinitasnya. Aku mungkin tidak melihatnya langsung, tapi mengetahui dia sudah kembali bekerja memberikan rasa lega tersendiri.

Langkahku terhenti sesaat di depan ruangannya yang kosong. Ada rasa syukur kecil di hatiku, sekaligus harapan besar bahwa Juan akan baik-baik saja. "Mungkin nanti, aku akan sempat berbicara dengannya," ujarku dalam hati sebelum berbalik pergi, melanjutkan pekerjaanku yang tertunda.

Saat kembali ke ruangan, langkahku terhenti begitu melihat Pak Ariel sedang membereskan meja kerjanya. Gerakannya terlihat sedikit lambat, seperti seseorang yang berusaha menutupi kelelahan yang sebenarnya.

"Sherly," sapanya pelan ketika menyadari kehadiranku. "Saya merasa cukup lelah hari ini. Sepertinya saya akan pulang dan istirahat di rumah."

Aku menatapnya dengan cemas. Wajahnya terlihat lebih pucat daripada biasanya. Tanpa berpikir panjang, aku mengangguk. "Baik, Pak. Saya temani ke bawah."

Dia tersenyum kecil, mengangguk, lalu melangkah menuju pintu. Aku mengikutinya dengan langkah yang sedikit lebih cepat, memastikan ia tidak terlalu memaksakan diri.

Saat kami sampai di resepsionis, petugas di sana memberikan kunci mobil Pak Ariel. Aku mengernyit, rasa bingung langsung melintas di benakku. "Pak Agus ke mana, Pak?" tanyaku tanpa bisa menahan rasa ingin tahu. Biasanya, Pak Agus adalah orang yang mengemudikan mobil Pak Ariel.

"Pak Agus sedang membawa rombongan anak magang ke kantor cabang," jawabnya tenang.

"Oh…" Aku mengangguk pelan, tapi kemudian pertanyaan lain muncul di pikiranku. "Jadi, Bapak akan menyetir sendiri?"

Pak Ariel tersenyum kecil, seperti berusaha menenangkan kekhawatiranku. "Iya, Sherly. Tidak apa-apa, saya bisa mengemudi sendiri."

Tapi itu bukan jawaban yang membuatku tenang. Tanpa pikir panjang, aku langsung berkata, "Kalau begitu, biar saya saja yang mengantar Bapak pulang."

Dia terlihat terkejut sejenak, lalu buru-buru menggeleng. "Tidak perlu. Saya baik-baik saja, sungguh." Nada suaranya terdengar sedikit gugup, seolah berusaha meyakinkanku, tapi justru itu membuatku semakin curiga bahwa ia sedang memaksakan diri.

Aku menghela napas, mencoba memikirkan solusi lain. "Kalau begitu, bagaimana kalau Bapak memesan taksi online saja? Setidaknya lebih aman daripada menyetir sendiri."

Pak Ariel terdiam sesaat, seperti sedang mempertimbangkan usulku. Aku menatapnya dengan ekspresi serius, berharap ia menerima saran itu. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa cukup lama, dia mengangguk. "Baiklah, kalau itu membuatmu tenang."

Aku merasa lega mendengar jawabannya. Kami melanjutkan langkah menuju parkiran. Meski masih khawatir, aku tahu setidaknya ia tidak akan mengambil risiko yang tidak perlu.

***

POV Ariel

Aku mencoba memejamkan mata, berharap bisa menenangkan tubuhku yang terasa pegal dan sakit di seluruh bagian. Rasa lelah yang tidak bisa lagi aku hindari semakin membebani, dan aku hanya ingin sedikit waktu untuk benar-benar berhenti sejenak dari semuanya. Tapi, tiba-tiba pikiranku melayang kepada Sherly. Wajahnya terbayang jelas di pikiranku, seperti potret yang tak bisa lepas. Aku teringat bagaimana ia terlihat di penginapan hutan pinus itu, saat aku harus berjuang menahan rasa sakit. Momen yang seharusnya bisa menjadi kenangan indah, tapi malah terasa kacau karena tubuhku yang mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan.

Aku menarik napas pelan, mencoba menenangkan diri, tapi sepertinya pikiranku terus terjebak pada Sherly. Ada sesuatu dalam diriku yang ingin kembali ke saat itu, saat semuanya terasa lebih sederhana meski aku tahu itu bukan saat yang tepat. Aku ingin sekali ada di sana, bersama Sherly, jauh dari semua beban.

Tiba-tiba, pintu kamarku terbuka lagi, dan suara Bara yang ceria membuat aku kembali ke kenyataan. "Om, nanti malam kita ke Horizon View Cafe, ya!"

Aku sedikit terkejut, dan seketika itu juga tubuhku terasa semakin berat. "Kamu mau lihat pemandangan kota malam hari dari atas sana?" Aku bisa mendengar semangat dalam suara Bara.

Aku menatapnya, mencoba memberi senyuman meski rasa sakit semakin menusuk. "Maaf, Bara. Om nggak bisa pergi malam ini," jawabku dengan nada ringan, berharap Bara tidak terlalu kecewa.

Tapi Bara tak mudah menyerah. "Tidak bisa, om! Semua orang harus pergi! Mama, Papa, Kak Amira, om Ariel, kakek, nenek, dan semua yang ada di rumah!" katanya dengan penuh semangat, dan seketika aku merasa terharu.

Aku tertawa pelan, meski perutku terasa semakin nyeri. "Oke, oke. Om ikut, tapi ada syaratnya. Om harus istirahat dulu, biar bisa pergi bareng kamu semua."

Bara tersenyum lebar, senang dengan jawabanku, dan segera berlari keluar kamar. Semangatnya menulari aku, dan untuk sesaat aku merasa sedikit lebih ringan.

Aku menatap pintu yang kini tertutup, merasa sedikit lega. Aku tahu, apapun yang terjadi, aku harus tetap berusaha untuk hadir bagi mereka, terutama untuk Bara.